Ini merupakan kisah yang sangat berkesan di hati Ka’ab bin Malik. Dia
tidak akan pernah dapat melupakan peristiwa ini selama hidupnya.
Ka’ab mengatakan: Aku tidak pernah mangkir dari perang bersama
Rasulullah Saw. kecuali pada perang Tabuk. Ceritanya bermula ketika Rasulullah
Saw. akan melakukan perang Tabuk. Pada saat itu aku merasa tidak kuat, dan
bukan hal yang mudah bagiku untuk mangkir dari perang. Sementara itu Rasulullah
Saw. bersama para sahabat berperang di bawah terik matahari yang sangat
menyengat. Beliau menghadapi perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, dan
musuh yang harus dihadapi berjumlah banyak. Melihat situasi dan kondisi perang
yang akan dihadapi begitu berat, kaum muslimin mempersiapkan diri secara matang
baik fisik maupun mental. Kala itu banyak kaum muslimin yang hadir, walaupun
tanpa instruksi dari para pemimpin mereka, dan sedikit sekali di antara mereka
yang tidak hadir. Mereka yang hadir dan berniat untuk tidak berperang mengira
bahwa kehadiran mereka tersebut dapat menyelamatkannya dari cercaan Rasulullah
Saw. selagi wahyu mengenai itu belum turun.
Pada saat cuaca telah membaik, Rasulullah Saw. bersama kaum muslimin
mempersiapkan diri untuk berangkat berperang. Aku pun ingin berbenah diri untuk
ikut bersama mereka. Kemudian aku pulang ke rumah, tetapi tidak melakukan
apa-apa. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku mampu untuk melakukannya
jika aku mau. Perasaan bimbangku terus berlanjut, padahal orang lain sibuk
berbenah diri. Pada pagi hari, Rasulullah Saw. dan kaum muslimin telah siap
untuk berangkat. Sementara itu aku belum melakukan apa-apa. Aku masih merenung
dan bimbang antara pergi dan tidak. Perasaan tersebut terus berlangsung hingga
kaum muslimin telah mulai berangkat. Kala itu aku berkeinginan untuk menyusul
mereka, tetapi aku tidak sanggup. Ketika Rasulullah Saw. telah keluar dari
dalam kota, aku merasa sedih, karena aku tidak
melihat orang lain di kota
itu kecuali mereka yang dikenal munafik dan yang lemah fisiknya.
Rasulullah Saw. tidak mengingatku hingga sampai di Tabuk. Beliau
kemudian bertanya kepada para sahabat: “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Salah seorang dari Bani Salmah mengatakan: “Dia terpukau dengan diri dan
pakaiannya”. Mu’adz bin Jabal menyela: “Alangkah jeleknya apa yang kamu ucapkan
itu. Ya Rasulullah, demi Allah, kami tidak mengetahui tentangnya kecuali
kebaikan”. Mendengar itu, Rasulullah Saw. hanya terdiam.
Ketika peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba Rasulullah Saw. melihat seseorang
yang berpakaian putih yang menjulur panjang. Beliau lantas berkata: “Kamu
pasti Abu Khaitsamah”. Dia adalah Abu Khaitsamah Al-Anshari, dia pernah
bersedekah satu sha’ kurma ketika orang-orang munafik mengkritiknya.
Ka’ab melanjutkan ceritanya: Ketika mendengar kabar bahwa Rasulullah
Saw. telah akan pulang dari perang Tabuk dengan membawa kemenangan, aku
merasakan sedih yang luar biasa. Aku mulai berpikir untuk berdusta, apa
kira-kia yang dapat menyelamatkanku dari murka Rasulullah? Aku pun tak lupa meminta
pertolongan keluargaku untuk memikirkan alasan yang tepat.
Salah seorang keluargaku menyarankan agar aku berterus terang, karena
bagaimanapun juga aku tidak akan bisa selamat dari pengawasan Rasulullah Saw.
Pada pagi harinya Rasulullah Saw. pergi ke masjid. Seperti biasa, setiap
pulang dari perjalanan, beliau melakukan shalat dua raka’at. Kemudian beliau
duduk bersama orang-orang yang berkumpul di dalam Masjid. Ketika itu
orang-orang yang tidak ikut berperang mulai berdatangan. Satu persatu memberikan
alasan atas ketidakikutan mereka dalam berperang. Jumlah mereka lebih dari
delapan puluh orang. Rasulullah Saw. menerima alasan mereka dan memintakan
ampunan kepada Allah SWT serta menyerahkan sepenuhnya keterusterangan ucapan
mereka kepada-Nya. Ketika aku datang dan memberi salam, aku melihat Rasulullah
Saw. tersenyum sinis. Beliau berkata: “Kemari”. Aku pun berjalan
menghampirinya, hingga aku duduk di hadapannya. Beliau kemudian bertanya: “Apa
yang menyebabkanmu tidak ikut berperang? Bukankah kamu telah membeli
punggungmu?”. Aku menjawab: “Ya Rasulullah, demi Allah, jika saja bukan
engkau yang aku hadapi, niscaya aku pasti akan selamat dari murkanya dengan
suatu alasan. Begitu lama aku merenung antara berdusta dan tidak. Demi Allah,
aku tahu bahwa kalaupun pada hari ini aku bisa berdusta dan engkau menerimanya,
tetapi Allah akan membuatmu murka kepadaku. Dan apabila aku berkata jujur, maka
pasti engkau akan murka kepadaku, dan aku hanya menunggu keputusan dari Allah.
Demi Allah, aku tidak mempunyai alasan. Aku tidak kuat untuk berperang, dan
bukanlah hal yang mudah untuk meninggalkan perang bersamamu”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Adapun yang ini telah berkata jujur.
Berdirilah hingga Allah memberikan keputusan tentang perkaramu”. Aku pun
berdiri, dan beberapa orang dari Bani Salmah menyusulku. Mereka berkata: “Demi
Allah, kami tidak pernah mendengar kamu berbuat dosa sebelum ini. Kamu tidak
mengutarakan alasan sebagaimana yang diutarakan oleh mereka yang tidak ikut
berperang. Padahal kalau kamu menyampaikan alasan, niscaya Rasulullah akan
memintakan ampunan untukmu, sehingga dosamu terampuni”. Mereka terus-menerus
membujukku, sehingga hampir saja aku kembali menghadap Rasulullah untuk
menyampaikan alasan yang dusta. Aku bertanya kepada mereka: “Selain aku, apakah
ada yang berkata jujur?”. Mereka menjawab: “Ya, dua orang mengatakan
sepertimu”. Aku bertanya lagi: “Siapa mereka?”. Mereka menjawab: “Mirarah bin
Rabi’ah Al-‘Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi, mereka berdua adalah orang
shaleh yang ikut pada perang Badar”.
Sejak itu, Rasulullah Saw. melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan
kami bertiga. Orang-orang pun mulai menjauhi kami. Mereka berubah sikap
terhadap kami, sehingga aku merasakan seakan-akan tidak berpijak di atas muka
bumi. Peristiwa ini terus berlangsung hingga lima puluh malam lamanya.
Kedua rekanku, yaitu Mirarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah duduk
termenung di rumahnya sambil menangis. Sementara aku mencoba untuk tetap
bergaul dengan orang-orang. Aku ikut shalat bersama dan berkeliling ke
pasar-pasar. Tetapi tidak seorang pun yang mengajakku berbicara. Kemudian aku
mendatangi Rasulullah Saw. dan memberi salam sambil menunggu apa gerangan yang
akan dilakukan oleh beliau terhadapku, apakah beliau akan menjawab salamku atau
tidak? Ketika beliau selesai shalat dan melihatku, aku melihat beliau
memalingkan mukanya.
Cobaan semacam itu terus menerpaku hingga suatu saat aku berjalan
menelusuri rumah demi rumah, dan akhirnya aku sampai ke rumah Abu Qatadah,
sepupuku, dia adalah orang yang paling aku cintai. Aku segera memberi salam,
tetapi dia tidak menjawabnya. Maka aku berkata: “Wahai Abu Qatadah, aku
bersumpah demi Allah, apakah kamu tahu bahwa aku sangat mencintai Allah dan
Rasul-Nya?”. Abu Qatadah hanya terdiam. Aku pun mengulanginya hingga tiga kali.
Dia kemudian berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hal itu”. Tak
terasa kedua mataku mengucurkan air mata. Aku segera berpaling dan kembali
menelusuri perkampungan. Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba
seorang petani asal kota Syam yang menjual hasil
pertaniannya di kota
Madinah berteriak: “Siapa yang bisa menunjukkan Ka’ab bin Malik?”. Orang-orang
serta-merta menunjuk ke arahku. Petani tersebut segera menghampiriku seraya
menyerahkan surat
yang ia bawa dari raja Ghasan. Isi surat
itu adalah: “Amma ba’du. Aku dengar bahwa sahabatmu telah menjauhimu,
dan Allah tidak menjadikan bagimu tempat yang hina. Maka kami telah
mempersiapkan sarang untukmu”. Ketika aku selesai membaca surat tersebut, aku mengatakan bahwa ini juga
adalah cobaan, dan aku pun segera membakarnya.
Pada hari keempat puluh, wahyu yang ditunggu tidak kunjung turun. Saat
itu utusan Rasulullah Saw. datang kepadaku dan berkata: “Rasulullah menyuruhmu
untuk mengasingkan istrimu”. Aku bertanya: “Apa yang harus aku lakukan, apakah
menceraikannya?”. Dia menjawab: “Tidak, tetapi kamu cukup mengasingkannya dan
tidak boleh mendekatinya”. Kabar tersebut juga diterima oleh kedua kawanku. Aku
mengatakan kepada istriku: “Pulanglah ke rumahmu, tinggallah dulu untuk sementara
waktu bersama mereka hingga Allah memutuskan masalah ini”.
Mendengar kabar tersebut, istri Hilal bin Umayah menjumpai Rasulullah
Saw. seraya berkata: “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayah adalah seorang kakek yang
lemah, ia tidak mempunyai seorang pembantu pun. Bolehkah aku melayaninya?”.
Rasulullah Saw. menjawab: “Tidak, dia tidak boleh dekat denganmu”. Dia
kemudian berkata lagi: “Demi Allah, dia tidak bisa berbuat apa-apa”. Semenjak
itu, istri Hilal tidak pernah berhenti menangis hingga turunnya wahyu yang memutuskan
perkara kami.
Sebagian keluargaku menyarankan untuk meminta izin sebagaimana yang
dilakukan oleh istri Hilal. Aku katakan kepada mereka: “Rasulullah tidak akan
mengizinkannya. Entah apa yang akan dikatakan beliau kepadaku, sementara aku
adalah seorang yang masih muda”.
Sepuluh malam aku telah lewati sejak itu, sehingga genaplah lima puluh malam aku
telah lewati masa-masa sulit dalam hidupku, yaitu semenjak Rasulullah Saw.
melarang orang-orang untuk berbicara kepadaku.
Pada pagi hari kelima puluh, aku melaksanakan shalat shubuh di belakang
rumahku, dan ketika duduk, aku mendengar suara yang berteriak di atas bukit:
“Wahai Ka’ab, bergembiralah”. Mendengar teriakan itu, aku segera bersujud,
karena aku tahu bahwa itu merupakan tanda cobaan yang menerpaku telah berakhir.
Ketika melaksanakan shalat shubuh, Rasulullah Saw. memberitahukan kepada kaum
muslimin bahwa Allah telah mengampuni dosa kami bertiga. Orang-orang pun segera
menghampiri kami dan mengucapkan selamat. Bahkan ada yang memacu kudanya agar dapat
menjumpaiku lebih cepat, dan orang-orang yang sebelumnya tidak menjawab salamku
pun berdatangan menghampiriku. Aku sendiri dengan terengah-engah mendaki bukit
yang menjadi sumber suara. Orang yang berteriak di atas bukit itu menyongsongku
dan mengucapkan selamat. Sebagai tanda terima kasih dan kegembiraan yang
meluap-luap, aku menanggalkan dua lapis bajuku dan kemudian diberikan
kepadanya, padahal demi Allah, pada saat itu aku tidak mempunyai baju lagi
selain itu. Kemudian aku meminjam dua baju dan memakainya. Lantas aku pergi
menghadap Rasulullah Saw. Sementara itu, orang-orang secara berbondong-bondong
mendatangiku dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubatku hingga aku
sampai di masjid. Ketika itu Rasulullah Saw. sedang duduk dikelilingi oleh orang-orang
yang hadir. Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidillah bergegas menghampiriku dan
menjabat tanganku serta mengucapkan selamat. Saat itu tidak seorang pun dari
kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah. Aku tidak akan pernah melupakannya.
Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw., aku melihat di wajahnya
terpancar perasaan gembira. Beliau bersabda: “Ini adalah hari yang paling
berbahagia bagimu semenjak ibumu melahirkanmu”. Aku bertanya: “Apakah ini
datang darimu ya Rasulullah, atau dari Allah?”. Beliau menjawab: “Dari Allah”.
Aku melihat pancaran sinar dari wajah beliau yang menandakan beliau merasakan
kebahagiaan seperti yang aku rasakan.
Ketika duduk bersimpuh di hadapan Rasulullah Saw., aku berkata: “Ya
Rasulullah, sebagai bukti taubatku, aku akan sedekahkan sebagian dari hartaku
di jalan Allah dan Rasul-Nya”. Beliau bersabda: “Peganglah sebagian hartamu,
karena itu lebih baik bagimu”. Kemudian aku memegang panah yang pernah aku
gunakan dalam perang Khaibar seraya berkata: “Ya Rasulullah, Allah telah
menyelamatkanku karena sebuah kejujuran, maka sebagai bentuk taubatku, sejak
sekarang aku tidak akan berbicara kecuali berbicara yang jujur”. Semenjak itu,
tidak ada seorang pun yang mendapatkan cobaan dari Allah atas kejujuran
ucapannya seberat dan seindah cobaan yang aku alami. Dan sejak itu, aku tidak
pernah sengaja berkata dusta. Aku selalu berdoa semoga Allah senantiasa
menjagaku dari ucapan yang dusta.
Mengenai taubatku yang indah itu, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar,
yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka
hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang
ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi
sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit
(pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat
lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima
taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar“
(QS. At-Taubah: 117-119).
Ka’ab melanjutkan ceritanya: Semenjak memeluk Islam, aku tidak pernah
merasakan kenikmatan yang tiada taranya selain kejujuranku terhadap Rasulullah
Saw. mengenai ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk, sehingga aku tidak
celaka sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang berdusta. Mengenai
perbuatan dan akibat yang dialami oleh orang-orang yang berdusta tersebut,
Allah SWT berfirman: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama
Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka.
Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan
tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka
akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya
kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada
orang-orang yang fasik itu“ (QS. At-Taubah: 95-96).
Kata “khalafu” yang terkandung dalam QS. At-Taubah: 118 yang
telah disebutkan sebelumnya bukan berarti kami bertiga meninggalkan perang,
tetapi kata tersebut mengandung arti penangguhan atas keputusan Allah terhadap
perkara kami. (HR. Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar