Fariz Salman Alfarisi: Taubat Ka’ab bin Malik ra.

Laman

13/11/11

Taubat Ka’ab bin Malik ra.




Ini merupakan kisah yang sangat berkesan di hati Ka’ab bin Malik. Dia tidak akan pernah dapat melupakan peristiwa ini selama hidupnya.
Ka’ab mengatakan: Aku tidak pernah mangkir dari perang bersama Rasulullah Saw. kecuali pada perang Tabuk. Ceritanya bermula ketika Rasulullah Saw. akan melakukan perang Tabuk. Pada saat itu aku merasa tidak kuat, dan bukan hal yang mudah bagiku untuk mangkir dari perang. Sementara itu Rasulullah Saw. bersama para sahabat berperang di bawah terik matahari yang sangat menyengat. Beliau menghadapi perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, dan musuh yang harus dihadapi berjumlah banyak. Melihat situasi dan kondisi perang yang akan dihadapi begitu berat, kaum muslimin mempersiapkan diri secara matang baik fisik maupun mental. Kala itu banyak kaum muslimin yang hadir, walaupun tanpa instruksi dari para pemimpin mereka, dan sedikit sekali di antara mereka yang tidak hadir. Mereka yang hadir dan berniat untuk tidak berperang mengira bahwa kehadiran mereka tersebut dapat menyelamatkannya dari cercaan Rasulullah Saw. selagi wahyu mengenai itu belum turun.
Pada saat cuaca telah membaik, Rasulullah Saw. bersama kaum muslimin mempersiapkan diri untuk berangkat berperang. Aku pun ingin berbenah diri untuk ikut bersama mereka. Kemudian aku pulang ke rumah, tetapi tidak melakukan apa-apa. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku mampu untuk melakukannya jika aku mau. Perasaan bimbangku terus berlanjut, padahal orang lain sibuk berbenah diri. Pada pagi hari, Rasulullah Saw. dan kaum muslimin telah siap untuk berangkat. Sementara itu aku belum melakukan apa-apa. Aku masih merenung dan bimbang antara pergi dan tidak. Perasaan tersebut terus berlangsung hingga kaum muslimin telah mulai berangkat. Kala itu aku berkeinginan untuk menyusul mereka, tetapi aku tidak sanggup. Ketika Rasulullah Saw. telah keluar dari dalam kota, aku merasa sedih, karena aku tidak melihat orang lain di kota itu kecuali mereka yang dikenal munafik dan yang lemah fisiknya.
Rasulullah Saw. tidak mengingatku hingga sampai di Tabuk. Beliau kemudian bertanya kepada para sahabat: “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?” Salah seorang dari Bani Salmah mengatakan: “Dia terpukau dengan diri dan pakaiannya”. Mu’adz bin Jabal menyela: “Alangkah jeleknya apa yang kamu ucapkan itu. Ya Rasulullah, demi Allah, kami tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan”. Mendengar itu, Rasulullah Saw. hanya terdiam.
Ketika peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba Rasulullah Saw. melihat seseorang yang berpakaian putih yang menjulur panjang. Beliau lantas berkata: “Kamu pasti Abu Khaitsamah”. Dia adalah Abu Khaitsamah Al-Anshari, dia pernah bersedekah satu sha’ kurma ketika orang-orang munafik mengkritiknya.
Ka’ab melanjutkan ceritanya: Ketika mendengar kabar bahwa Rasulullah Saw. telah akan pulang dari perang Tabuk dengan membawa kemenangan, aku merasakan sedih yang luar biasa. Aku mulai berpikir untuk berdusta, apa kira-kia yang dapat menyelamatkanku dari murka Rasulullah? Aku pun tak lupa meminta pertolongan keluargaku untuk memikirkan alasan yang tepat.
Salah seorang keluargaku menyarankan agar aku berterus terang, karena bagaimanapun juga aku tidak akan bisa selamat dari pengawasan Rasulullah Saw.
Pada pagi harinya Rasulullah Saw. pergi ke masjid. Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, beliau melakukan shalat dua raka’at. Kemudian beliau duduk bersama orang-orang yang berkumpul di dalam Masjid. Ketika itu orang-orang yang tidak ikut berperang mulai berdatangan. Satu persatu memberikan alasan atas ketidakikutan mereka dalam berperang. Jumlah mereka lebih dari delapan puluh orang. Rasulullah Saw. menerima alasan mereka dan memintakan ampunan kepada Allah SWT serta menyerahkan sepenuhnya keterusterangan ucapan mereka kepada-Nya. Ketika aku datang dan memberi salam, aku melihat Rasulullah Saw. tersenyum sinis. Beliau berkata: “Kemari”. Aku pun berjalan menghampirinya, hingga aku duduk di hadapannya. Beliau kemudian bertanya: “Apa yang menyebabkanmu tidak ikut berperang? Bukankah kamu telah membeli punggungmu?”. Aku menjawab: “Ya Rasulullah, demi Allah, jika saja bukan engkau yang aku hadapi, niscaya aku pasti akan selamat dari murkanya dengan suatu alasan. Begitu lama aku merenung antara berdusta dan tidak. Demi Allah, aku tahu bahwa kalaupun pada hari ini aku bisa berdusta dan engkau menerimanya, tetapi Allah akan membuatmu murka kepadaku. Dan apabila aku berkata jujur, maka pasti engkau akan murka kepadaku, dan aku hanya menunggu keputusan dari Allah. Demi Allah, aku tidak mempunyai alasan. Aku tidak kuat untuk berperang, dan bukanlah hal yang mudah untuk meninggalkan perang bersamamu”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Adapun yang ini telah berkata jujur. Berdirilah hingga Allah memberikan keputusan tentang perkaramu”. Aku pun berdiri, dan beberapa orang dari Bani Salmah menyusulku. Mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak pernah mendengar kamu berbuat dosa sebelum ini. Kamu tidak mengutarakan alasan sebagaimana yang diutarakan oleh mereka yang tidak ikut berperang. Padahal kalau kamu menyampaikan alasan, niscaya Rasulullah akan memintakan ampunan untukmu, sehingga dosamu terampuni”. Mereka terus-menerus membujukku, sehingga hampir saja aku kembali menghadap Rasulullah untuk menyampaikan alasan yang dusta. Aku bertanya kepada mereka: “Selain aku, apakah ada yang berkata jujur?”. Mereka menjawab: “Ya, dua orang mengatakan sepertimu”. Aku bertanya lagi: “Siapa mereka?”. Mereka menjawab: “Mirarah bin Rabi’ah Al-‘Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi, mereka berdua adalah orang shaleh yang ikut pada perang Badar”.
Sejak itu, Rasulullah Saw. melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga. Orang-orang pun mulai menjauhi kami. Mereka berubah sikap terhadap kami, sehingga aku merasakan seakan-akan tidak berpijak di atas muka bumi. Peristiwa ini terus berlangsung hingga lima puluh malam lamanya.
Kedua rekanku, yaitu Mirarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah duduk termenung di rumahnya sambil menangis. Sementara aku mencoba untuk tetap bergaul dengan orang-orang. Aku ikut shalat bersama dan berkeliling ke pasar-pasar. Tetapi tidak seorang pun yang mengajakku berbicara. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Saw. dan memberi salam sambil menunggu apa gerangan yang akan dilakukan oleh beliau terhadapku, apakah beliau akan menjawab salamku atau tidak? Ketika beliau selesai shalat dan melihatku, aku melihat beliau memalingkan mukanya.
Cobaan semacam itu terus menerpaku hingga suatu saat aku berjalan menelusuri rumah demi rumah, dan akhirnya aku sampai ke rumah Abu Qatadah, sepupuku, dia adalah orang yang paling aku cintai. Aku segera memberi salam, tetapi dia tidak menjawabnya. Maka aku berkata: “Wahai Abu Qatadah, aku bersumpah demi Allah, apakah kamu tahu bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?”. Abu Qatadah hanya terdiam. Aku pun mengulanginya hingga tiga kali. Dia kemudian berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hal itu”. Tak terasa kedua mataku mengucurkan air mata. Aku segera berpaling dan kembali menelusuri perkampungan. Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba seorang petani asal kota Syam yang menjual hasil pertaniannya di kota Madinah berteriak: “Siapa yang bisa menunjukkan Ka’ab bin Malik?”. Orang-orang serta-merta menunjuk ke arahku. Petani tersebut segera menghampiriku seraya menyerahkan surat yang ia bawa dari raja Ghasan. Isi surat itu adalah: “Amma ba’du. Aku dengar bahwa sahabatmu telah menjauhimu, dan Allah tidak menjadikan bagimu tempat yang hina. Maka kami telah mempersiapkan sarang untukmu”. Ketika aku selesai membaca surat tersebut, aku mengatakan bahwa ini juga adalah cobaan, dan aku pun segera membakarnya.
Pada hari keempat puluh, wahyu yang ditunggu tidak kunjung turun. Saat itu utusan Rasulullah Saw. datang kepadaku dan berkata: “Rasulullah menyuruhmu untuk mengasingkan istrimu”. Aku bertanya: “Apa yang harus aku lakukan, apakah menceraikannya?”. Dia menjawab: “Tidak, tetapi kamu cukup mengasingkannya dan tidak boleh mendekatinya”. Kabar tersebut juga diterima oleh kedua kawanku. Aku mengatakan kepada istriku: “Pulanglah ke rumahmu, tinggallah dulu untuk sementara waktu bersama mereka hingga Allah memutuskan masalah ini”.
Mendengar kabar tersebut, istri Hilal bin Umayah menjumpai Rasulullah Saw. seraya berkata: “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayah adalah seorang kakek yang lemah, ia tidak mempunyai seorang pembantu pun. Bolehkah aku melayaninya?”. Rasulullah Saw. menjawab: “Tidak, dia tidak boleh dekat denganmu”. Dia kemudian berkata lagi: “Demi Allah, dia tidak bisa berbuat apa-apa”. Semenjak itu, istri Hilal tidak pernah berhenti menangis hingga turunnya wahyu yang memutuskan perkara kami.
Sebagian keluargaku menyarankan untuk meminta izin sebagaimana yang dilakukan oleh istri Hilal. Aku katakan kepada mereka: “Rasulullah tidak akan mengizinkannya. Entah apa yang akan dikatakan beliau kepadaku, sementara aku adalah seorang yang masih muda”.
Sepuluh malam aku telah lewati sejak itu, sehingga genaplah lima puluh malam aku telah lewati masa-masa sulit dalam hidupku, yaitu semenjak Rasulullah Saw. melarang orang-orang untuk berbicara kepadaku.
Pada pagi hari kelima puluh, aku melaksanakan shalat shubuh di belakang rumahku, dan ketika duduk, aku mendengar suara yang berteriak di atas bukit: “Wahai Ka’ab, bergembiralah”. Mendengar teriakan itu, aku segera bersujud, karena aku tahu bahwa itu merupakan tanda cobaan yang menerpaku telah berakhir. Ketika melaksanakan shalat shubuh, Rasulullah Saw. memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa Allah telah mengampuni dosa kami bertiga. Orang-orang pun segera menghampiri kami dan mengucapkan selamat. Bahkan ada yang memacu kudanya agar dapat menjumpaiku lebih cepat, dan orang-orang yang sebelumnya tidak menjawab salamku pun berdatangan menghampiriku. Aku sendiri dengan terengah-engah mendaki bukit yang menjadi sumber suara. Orang yang berteriak di atas bukit itu menyongsongku dan mengucapkan selamat. Sebagai tanda terima kasih dan kegembiraan yang meluap-luap, aku menanggalkan dua lapis bajuku dan kemudian diberikan kepadanya, padahal demi Allah, pada saat itu aku tidak mempunyai baju lagi selain itu. Kemudian aku meminjam dua baju dan memakainya. Lantas aku pergi menghadap Rasulullah Saw. Sementara itu, orang-orang secara berbondong-bondong mendatangiku dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubatku hingga aku sampai di masjid. Ketika itu Rasulullah Saw. sedang duduk dikelilingi oleh orang-orang yang hadir. Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidillah bergegas menghampiriku dan menjabat tanganku serta mengucapkan selamat. Saat itu tidak seorang pun dari kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah. Aku tidak akan pernah melupakannya. Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw., aku melihat di wajahnya terpancar perasaan gembira. Beliau bersabda: “Ini adalah hari yang paling berbahagia bagimu semenjak ibumu melahirkanmu”. Aku bertanya: “Apakah ini datang darimu ya Rasulullah, atau dari Allah?”. Beliau menjawab: “Dari Allah”. Aku melihat pancaran sinar dari wajah beliau yang menandakan beliau merasakan kebahagiaan seperti yang aku rasakan.
Ketika duduk bersimpuh di hadapan Rasulullah Saw., aku berkata: “Ya Rasulullah, sebagai bukti taubatku, aku akan sedekahkan sebagian dari hartaku di jalan Allah dan Rasul-Nya”. Beliau bersabda: “Peganglah sebagian hartamu, karena itu lebih baik bagimu”. Kemudian aku memegang panah yang pernah aku gunakan dalam perang Khaibar seraya berkata: “Ya Rasulullah, Allah telah menyelamatkanku karena sebuah kejujuran, maka sebagai bentuk taubatku, sejak sekarang aku tidak akan berbicara kecuali berbicara yang jujur”. Semenjak itu, tidak ada seorang pun yang mendapatkan cobaan dari Allah atas kejujuran ucapannya seberat dan seindah cobaan yang aku alami. Dan sejak itu, aku tidak pernah sengaja berkata dusta. Aku selalu berdoa semoga Allah senantiasa menjagaku dari ucapan yang dusta.
Mengenai taubatku yang indah itu, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar“ (QS. At-Taubah: 117-119).
Ka’ab melanjutkan ceritanya: Semenjak memeluk Islam, aku tidak pernah merasakan kenikmatan yang tiada taranya selain kejujuranku terhadap Rasulullah Saw. mengenai ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk, sehingga aku tidak celaka sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang berdusta. Mengenai perbuatan dan akibat yang dialami oleh orang-orang yang berdusta tersebut, Allah SWT berfirman: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu“ (QS. At-Taubah: 95-96).
Kata “khalafu” yang terkandung dalam QS. At-Taubah: 118 yang telah disebutkan sebelumnya bukan berarti kami bertiga meninggalkan perang, tetapi kata tersebut mengandung arti penangguhan atas keputusan Allah terhadap perkara kami. (HR. Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar