Fariz Salman Alfarisi: Desember 2012

Laman

24/12/12

Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~


Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.”
Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri  mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.

23/12/12

Al-Imam Al-Fudha’il bin ‘Iyadh


Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda,  suatu tempat di daerah Khurasan.
Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.

Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

19/12/12

Memahami Apakah Manusia Ditakdirkan Masuk Neraka dan Surga

Ada sebuah hadits shahih yang mungkin cukup sulit dipahami dan terasa menyesakan dan berat di hati untuk menerimanya. Hadits tersebut berkaitan dengan nasib atau takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi manusia apakah akan bahagia atau celaka serta akhir kehidupan manusia apakah akan menjadi penghuni surga atau neraka. Hadits ini yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada kitab Bada’ul Khalq Bab Dzikrul Mala’ikah no. 3208, kitab Ahaditsul Anbiya no. 3332 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya, pada kitab al-Qadar no. 2643 yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)


Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ashshadiqul mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda,

17/12/12

Hubungan Ilmu Tahsin (Tajwid) dan Ilmu Qira’at


Ilmu Tajwid tidak bisa dilepaskan keberadaannya dari ilmu Qiraat. Keberagaman cara membaca lafazh-lafazh Al Qur’an merupakan dasar bagi kaidah-kaidah dalam Ilmu Tajwid. Ilmu qiraat adalah ilmu yang membahas bermacam-macam bacaan (qiraat) yang diterima dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam dan menjelaskan sanad serta penerimaannya dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Dalam ilmu ini, diungkapkan qiraat yang shahih serta tidak shahih seraya menisbatkan setiap wajah bacaannya kepada seorang imam qiraat.[1]

Asal mula terjadinya perbedaan ini adalah karena bangsa Arab dahulu memiliki berbagai dialek bahasa (lahjah) yang berbeda antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Dan al qur’an yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa kepada Rasulnya Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam menjadi semakin sempurna kemu’jizatannya karena ia mampu menampung berbagai macam dialek tersebut sehingga tiap kabilah dapat membaca, menghafal, dan memahami wahyu Allah.[2]

Qiraat yang bermacam-macam ini telah mantap pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam dan beliau mengajarkannya kepada para shahabat radliallaahu ‘anhum sebagaimana beliau menerimanya dari Jibril ‘Alayhissalaam. Kemudian pada masa shahabat muncul para ahli qiraat Al qur’an yang menjadi panutan masyarakat. Yang termahsyur diantara mereka antara lain Ubay bin Ka’b, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abu Musa Al Asy’ari radliallaahu ‘anhum. Mereka lah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian besar shahabat dan tabi’in.

Melihat Orang Di Bawah Kita



Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain. Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah mendapatkan suatu materi dunia, dia ingin terus mendapatkan yang lebih. Jika baru mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil kijang. Jika sudah memiliki mobil kijang, dia ingin mendapatkan mobil sedan. Dan seterusnya sampai pesawat pun dia inginkan. Itulah watak manusia yang tidak pernah puas.

10/12/12

Biografi: Ustadz Armen Halim Naro



Beliau bernama Armen Halim bin Jasman Naro bin Nazim bin Durin رحمه الله. Lahir di Pekanbaru 20 Oktober 1975. Hari Senin sekitar pukul 09.00. Ayahnya bernama Jasman Naro dan Ibunya bernama Suarti.

Beliau masuk sekolah dasar tahun 1981. Lalu tamat sekolah dasar tahun1987. Kemudian Masuk Pesantren Al-Furqan di jalan Bintan, Pekanbaru. Dibawah pimpinan Buya Jufri Effendi Wahab MA. Yang didirikan pada tahun 1987.

Pada tahun 1988 Pondok Pesantren Al-Furqan pindah ke jalan Duyung, Pekanbaru. Selama di Pondok Pesantren Al-Furqan Ia belajar lebih kurang 3 tahun. Sehubungan dengan kurangnya guru di pondok pesantren waktu itu, disamping beliau rajin dan tekun belajar, maka guru-gurunya merasa minder untuk mengajarnya. Oleh sebab itu, beliau meminta pada Buya Jufri untuk pindah ke Pondok Pesantren An-Nur (Bantul, Jogjakarta) untuk mempelajari Tahfidz Al-Qur'an (Hafalan Al-Qur'an), maka Buya melepas dan memberi izin untuk ke Jogjakarta mempelajari Al-Qur'an, agar setamatnya nanti dapat mengajarkannya di Pondok Al-Furqan.

06/12/12

Apakah Sama Antara Yang Baik Dan Yang Buruk?



Telah menjadi ketetapan Allah Subhanahu wata'ala Yang Mahahakim bahwa pada kehidupan ini ada dua hal yang saling bertolak belakang. Ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang beriman dan ada yang kafir, ada yang bermanfaat dan ada yang bermudarat, dan seterusnya. Semua ini demi semakin sempurnanya ujian yang Allah Subhanahu wata'ala tetapkan bagi hamba-hamba-Nya dalam kehidupan di dunia ini.

Perhatikanlah, bagaimana Allah
Subhanahu wata'ala pada ayat di atas membedakan antara yang khabits atau buruk dan yang thayyib atau baik. Hal ini karena yang khabits adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan merusak. Adapun yang baik adalah sesuatu yang bermanfaat. Tentu berbeda antara keduanya meskipun yang khabits jumlahnya lebih banyak dari yang baik. Begitu pula sesuatu yang khabits tidak bisa bersembunyi selamanya pada sesuatu yang baik. Kalaupun terjadi, suatu saat nanti pasti akan tampak dan terbongkar mana yang baik dan mana yang buruk.