A. Wudhu.
Wudhu
adalah bentuk bersuci yang diwajibkan untuk menghilangkan hadast kecil misalnya
buang air kecil, buang air besar. keluar angin, tidur nyenyak dan karena makan
daging unta.
1. Keutamaan Wudhu.
1. Keutamaan Wudhu.
Artinya:
“Dan dari 'Umar radiAllahu’anhu sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: 'Barang siapa berwudhu dan ia membaikkan wudhunya, niscaya
dosa-dosanya akan keluar dari tubuhnya bahkan akan keluar pula dari bawah
kuku-kukunya” HR. Muslim
2. Tata Cara Wudhu
- Berniat wudhu
dalam hati, tanpa diucapkan dengan lisan, sebab Nabi Shalallahu ‘alalhi
wasallam belum pernah mengucapkan niat dengan lisan dalam wudhu, sholat,
bahkan tidak pula dalam ibadah-ibadah yang lain. Karena Allah SWT
mengetahui apa yang ada di dalam hatinya.
- Mengucapkan
'Bismillah'.
- Membasuh kedua
telapak tangan tiga kali.
- Berkumur dan
istinsyaq ( memasukkan air kedalam lubang hidung dan mengeluarkannya
kembali) sebanyak tiga kali.
- Membasuh muka
tiga kali, batas samping dari telinga ke telinga, batas atasnya hingga
tempat tumbuhnya rambut di kepala dan batas bawah hingga ujung janggut.
- Membasuh kedua
tangan tiga kali, dari ujung jari sampai ke siku, dimulai dari tangan
kanan lalu tangan kiri.
- Mengusap kepala
satu kali, yakni membasuh kedua tangan dengan air lalu mengusapkannya
dari depan kepala hingga bagian belakang lalu menjalankannya kembali ke
depan.
- Mengusap kedua
telinga satu kali, yakni dengan memasukkan kedua telunjuk ke lubang
telinga sedang kedua ibu jari membasuh bagian luar telinga.
- Membasuh kedua
kaki tiga kali, dari ujung jari-jari kaki hingga kedua mata kaki, dimulai
dari kanan lalu kiri.
B. Mandi Besar
Mandi
adalah suatu bentuk kewajiban bersuci dari hadats besar seperti jinabat (keluar
air mani ) dan haidh.
Tata Cara Mandi Besar:
1
. Niat mandi besar dalam hati, tidak perlu diucapkan.
2 . Membaca 'Bismillah'.
3 . Melakukan wudhu secara sempurna.
4 . Membasuh kepala dengan air, jika telah merata lalu menyiram seluruh kepala tersebut dengan air sebanyak tiga kali.
5 . Membasuh seluruh badan.
2 . Membaca 'Bismillah'.
3 . Melakukan wudhu secara sempurna.
4 . Membasuh kepala dengan air, jika telah merata lalu menyiram seluruh kepala tersebut dengan air sebanyak tiga kali.
5 . Membasuh seluruh badan.
C. Tayammum.
Tayammum
adalah suatu bentuk kewajiban bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti
dari wudhu dan mandi besar, diperuntukkan baqi orang yang tidak mendapatkan air
atau akan mendapatkan madhorot ( bahaya) jika menggunakan air.
Tata Cara Tayammum:
Berniat
untuk tayammum yang ia lakukan, apakah sebagai wudhu atau sebagai mandi besar.
Lalu menepukkan tangan ke tanah ( debu ) atau ke dinding yang berdebu kemudian
mengusapkannya ke muka dan kedua telapak tangannya.
D. Mengusap Khuff ( Sepatu Boot)
Yang
dimaksud dengan khuff adalah sejenis sepatu boot terbuat dari kulit atau
sejenisnya. Sedangkan yang dimaksud jaurob adalah kaus kaki yang terbuat dari
kapas dan sejenisnya.
a . Hukum mengusap khuff dan jaurob
serta dalilnya dari AlQur'an dan As-Sunnah.
Mengusap
khuff hukumnya adalah sunnah dan diteladankan oleh Rasululah Shalollohu 'alaihi
wasallam. Oleh karena itu, bagi orang yang memakainya, mengusap atas keduanya
adalah lebih utama dari pada menanggalkannya untuk membasuh kaki.
Adapun
dalilnya adalah hadits Mughirah bin Syu'bah Radhiallahu 'anhu:
Artinya
Dari Mughirah bin Syu'bah bahwasannya Nabi Shallollohu 'alaihi wasallam
berwudhu, Mughirah berkata lalu aku menunduk untuk melepas kedua khuff Nabi
Shallollohu 'alaihi wasallam. Maka beliau barkata: “Biarkanlah......... karena
sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci, lalu beliau mengusap
bagian atas kedua khuffnya.”
b . Syarat-syarat Mengusap Khuff.
- Memakai keduanya
dalam keadaan suci.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ShalAllahu 'alaihi wasallam kepada Mughirah bin Syu'bah:
Artinya : 'Biarkanlah......... karena sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci'. - Kedua khuff atau
jaurob itu harus, dalam keadaan suci.
Jika terdapat najis maka tidak boleh mengusap atas keduanya.
Hal ini sesuai dengan riwayat bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari sholat bersama para sahabatnya dengan memakai sandal, di tengah-tengah sholat tiba-tiba Rasulullah melepas sandal tersebut. Kemudian beliau mengabarkan, “Jibril memberitahu bahwa terdapat kotoran atau najis pada sandal beliau.
Hal ini menunjukkan tidak diperbolehkannya melakukan sholat dengan memakai sesuatu yang kena najis.
Disamping itu, jika najis itu diusap dengan air, maka orang yang mengusapkan akan terkena najis tersebut, sehingga usapan tidak bisa menyucikannya. - Waktu
mengusapnya hanya ketika dalam hadast kecil, tidak ketika sedang jinabat
atau sesuatu yang menyebabkan ia wajib mandi.
Hal ini berdasarkan hadits Shofwan bin Assal ia berkata:
Artinya : 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada kami, jika kami dalam perjalanan, agar tidak menanggalkan khuff selama tiga hari tiga malam, kecuali karena jinabat, bukan karena buang air besar, buang air kecil atau tidur'. Jadi, ia hanya untuk hadast kecil, dan tidak boleh mengusap khuff untuk hadast besar, seperti yang dijelaskan hadits diatas.
Mengusapnya sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh
syari'at Yaitu sehari semalam untuk orang yang mukim ( tidak bepergian ) dan
tiga hari tiga malam bagi musafir.
Hal ini berdasar riwayat Ali-RadhialIahu 'anhu, ia berkata: Artinya: "Nabi Shallallahu'alahi wassalam menetapkan batas waktu untuk orang mukim sehari semalam dan untuk musafir tiga hari tiga malam, yakni dalam mengusapi khuff". (H.R. Muslim) Waktu tersebut dihitung mulai dari awal mengusap khuff sejak hadast dan berakhir setelah 24 jam, ini untuk orang yang bermukim. Dan 72 jam bagi musafir.
Jika kita umpamakan, seseorang bersuci untuk sholat shubuh pada hari selasa dan ia tetap suci hingga lsya' pada hari Rabu dan mengusap pada khuff pada pukul 05 pagi maka permulaan waktunya adalah sejak jam 05 pagi pada hari Rabu tersebut dan berakhir pada pukul 05 pagi pada hari Kamis. Misalnya, ia mengusap khuff pada hari Kamis sebelum pukul 05 pagi, maka ia boleh melakukan sholat Shubuh pada hari kamis itu dengan usapan tersebut. Iapun boleh melakukan sholat sesukanya selama ia masih dalam keadaan suci, karena wudhu itu tidak batal bila batas waktu mengusap khuff berakhir, demikian menurut pendapat ulama yang kuat.
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alahi wassalam tidak membatasi waktu bersuci tetapi hanya membatasi waktu mengusap khuff. Jika ia masih dalam keadaan suci, maka keadaan suci itu tetap berlangsung, sebab memang demikian ketentuan Syari'at, karena itu ketentuan tersebut tidak bisa batal kecuali dengan dalil pula. Dan dalil yang menyatakan batalnya wudhu dengan berakhimya batas mengusap khuff, tidak didapatkan. Padahal sesuatu harus dihukumi seperti hukum yang ada padanya semula sampai terdapat dalil yang membatalkan.
Hal ini berdasar riwayat Ali-RadhialIahu 'anhu, ia berkata: Artinya: "Nabi Shallallahu'alahi wassalam menetapkan batas waktu untuk orang mukim sehari semalam dan untuk musafir tiga hari tiga malam, yakni dalam mengusapi khuff". (H.R. Muslim) Waktu tersebut dihitung mulai dari awal mengusap khuff sejak hadast dan berakhir setelah 24 jam, ini untuk orang yang bermukim. Dan 72 jam bagi musafir.
Jika kita umpamakan, seseorang bersuci untuk sholat shubuh pada hari selasa dan ia tetap suci hingga lsya' pada hari Rabu dan mengusap pada khuff pada pukul 05 pagi maka permulaan waktunya adalah sejak jam 05 pagi pada hari Rabu tersebut dan berakhir pada pukul 05 pagi pada hari Kamis. Misalnya, ia mengusap khuff pada hari Kamis sebelum pukul 05 pagi, maka ia boleh melakukan sholat Shubuh pada hari kamis itu dengan usapan tersebut. Iapun boleh melakukan sholat sesukanya selama ia masih dalam keadaan suci, karena wudhu itu tidak batal bila batas waktu mengusap khuff berakhir, demikian menurut pendapat ulama yang kuat.
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alahi wassalam tidak membatasi waktu bersuci tetapi hanya membatasi waktu mengusap khuff. Jika ia masih dalam keadaan suci, maka keadaan suci itu tetap berlangsung, sebab memang demikian ketentuan Syari'at, karena itu ketentuan tersebut tidak bisa batal kecuali dengan dalil pula. Dan dalil yang menyatakan batalnya wudhu dengan berakhimya batas mengusap khuff, tidak didapatkan. Padahal sesuatu harus dihukumi seperti hukum yang ada padanya semula sampai terdapat dalil yang membatalkan.