Fariz Salman Alfarisi: Juli 2012

Laman

30/07/12

Syi'ah dan sejarah masuknya ke Indonesia


Diawal tahun 1980, ajaran Syi'ah mulai masuk ke Indonesia, meskipun (sebatas yang saya ketahui) ketika itu, pemerintah awalnya menolak kedatangan tokoh-tokoh Syi'ah ke Indonesia untuk memperkenalkan ajaran mereka.Tetapi ada beberapa tokoh di Indonesia ini yang sangat berjasa bagi kelompok Rafidhah ini, diantaranya ada dua orang tokoh. Keduanya berhasil meyakinkan pemerintah bahwa yang datang ini bukanlah murid-murid Khomaini tetapi lawan-lawannya dan mereka tidak membawa ajaran Khomaini. Pemerintah yang memang tidak paham ajaran Syi'ah [2], akhirnya memberikan ijin. Sejak itu, masuklah ajaran Syi'ah ke negeri kita ini. Secara pribadi, ketika itu, saya (penulis) telah mengingatkan kepada sebagian ustadz dan kaum Muslimin bahwa kalau kita tidak menjelaskan masalah Syi'ah ini kepada ummat, maka ajarannya akan berkembang dan masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Namun, sangat disesalkan, mereka tidak mengindahkannya dan tetap menganggap perbedaan antara kita dengan Syi'ah hanya dalam masalah furu'iyyah. Padahal perbedaan kita dengan Syi'ah Rafidhah adalah perbedaan ushul (pokok-pokok agama) dan furu 'yang keduanya tidak mungkin disatukan kecuali kalau salah satunya meninggalkan ajaran agamanya. Di antara perbedaan ushul (pokok) yang sangat mendasar sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka akan menyebabkan seorang itu murtad yaitu: Pertama; keyakinan mereka bahwa al-Qur'an yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang dibaca, yang dihafal dan diyakini sebagai Kitabullah yang diwahyukan kepada hambaNya dan RasulNya Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam melalui perantara

SEPAK TERJANG SYI'AH DI INDONESIA


 Perjalanan kaum Syi'ah di negeri ini semakin jelas.Dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau (tepatnya disebut) dîn (agama) Syi'ah menguasai Iran sebagai agama penguasa setelah pemerintahan Reza Pahlevi runtuh. Setelah terjadi revolusi di Iran di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka ke seluruh negeri Islam dengan mengatas-namakan dakwah Islam. Terutama ke negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ada tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu: Pertama, kaum Muslim terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang Shahihah (benar) yang berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah. Kedua, mayoritas kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur'ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh (benar). Ketiga, kebanyakan kaum muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan untuk seluruh umat

Islam Syariat Semesta Alam


عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidaklah mendengar tentangku (diutusnya aku) seorangpun dari umat ini, baik ia seorang Yahudi maupun Nashrani, kemudian ia mati dan belum beriman dengan apa yang aku bawa (Syari'at Islam) melainkan ia termasuk penghuni neraka. "HR. Muslim 

Pembaca yang dirahmati Allah subhanahu wata'ala, kali ini kita akan mengkaji sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting darinya. Sebuah hadits shahih, yang tidak ada keraguan padanya karena telah diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahih-nya; tepatnya pada bab "Wajibnya Beriman kepada Risalah Nabi Kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk Seluruh Manusia dan terhapusnya Agama-agama dengan Agamanya" . Dari shahabat yang mulia Penghafal Islam Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, semoga Allah meridhainya. Hadits ini adalah salah satu hadits dari hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbicara tentang salah satu prinsip utama dalam Islam, yaitu wajibnya beriman kepada risalah yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bahwa risalah beliau shallallahu alaihi wa sallam terjadi secara umum. Hal ini merupakan perwujudan syahadah (persaksian) bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta'ala. Keumuman Risalah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam Pembaca yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta'ala, dalam hadits yang mulia ini terdapat sebuah berita dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mengandung peringatan dan ancaman sebagai penghuni neraka kepada mereka yang tidak mau beriman dan tunduk kepada syari'at Islam yang dibawa oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam

Adab I'tikaf

Adab-adabnya
 yang hendaknya diperhatikan dan diamalkan oleh para mu'takifin, agar itikaf yang mereka lakukan benar-benar mendapatkan nilai yang maksimal di sisi Allah subnahahu wata'ala. Seiring dengan itu kami juga akan menyebutkan hal-hal yang dibolehkan untuk mu'takif ketika i'tikaf. Tidak lupa kami juga menyebutkan pembatal-pembatal i'tikaf, yang jika seorang mu'takif melakukannya, maka i'tikafnya tidak sah, tentunya dengan harapan agar para mu'takifin bisa menghindar dan menjauh darinya. Semoga bermanfaat.Adab-adab I'tikaf 


1. Sangat disenangi untuk seorang mu'takif (orang yang i'tikaf) untuk menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail, membaca Al-Qur'anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih dari satu kali. 


2. Memperbanyak dzikir kepada Allah ta'ala, istighfar, do'a, dan shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir syar'i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. 


3. Seorang mu'takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. 


4. Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya. 


5. Seorang mu'takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah] 


6. Seorang mu'takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu'takifin yang lain. 

13/07/12

Peranan Wanita dalam Islam




Persamaan gender yang banyak didengung-dengungkan oleh kaum barat, ternyata telah merasuk ke tubuh kaum muslimah umat ini. Mereka telah tertipu dengan pemikiran kaum barat, bahkan tidak sedikit yang mengekor pemikiran tersebut. Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita islam dalam membangun keluarga atau masyarakat? Mari kita simak tulisan berikut, bagaimana seharusnya wanita membangun sebuah keluarga bahkan Negara?
Peranan wanita dalam keluarga
Keluarga merupakan pondasi dasar penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Dan peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum wanita.
Pertama: Wanita sebagai seorang istri
Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istri lah yang bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istri lah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh, tidak ada yang mempunyai pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri yang dicintainya.
Mengenai hal ini, contohlah apa yang dilakukan oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah Radiyallahu anha dalam mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah kepadanya?
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

11/07/12

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo'akan baginya. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Bila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah 'basmalah' serta do'akanlah dengan do'a berkah seraya mengucapkan: 'Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa. '"[1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka'at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: "Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi'in).
1. Hadits dari Abu Sa'id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: "Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya 'Abdullah bin Mas'ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu' anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: 'Kamulah (Abu
Sa'id) yang berhak! ' Ia (Abu Dzarr) berkata: 'Apakah benar demikian?'
'Benar!' jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat.Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, 'Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka'at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan istrimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua ...! '"[2]

09/07/12

PENGERTIAN WAHABI DAN SIAPA MUHAMMAD BIN ‘ABDUL WAHHAB


Oleh
Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rohimahullah

Orang-orang biasa menuduh “wahabi ” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allah semata.

Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba’in An-Nawa-wiyah. Hadits itu berbunyi.
“Artinya : Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepa-da Allah.” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih]
Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya -menurut tradisi- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d![1]” dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdo’a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.”
Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,
“Artinya : Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan.”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur’anul Karim dan sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.[2]. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
“Artinya : Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” [Al-Hujurat: 11]
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah syaikh yang sesungguhnya!”

08/07/12

TATKALA MANUSIA DIPANGGIL BERSAMA IMAMNYA

 (Tafsir Surat Al Isra’: 71-72)

Oleh
Ustadz Ashim Bin Musthafa
يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ ۖ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَٰئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
“(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” [al-Isrâ`/17:71-72]
PENJELASAN AYAT
يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya

Pada hari Kiamat manusia akan dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah al-Hakîm akan meminta pertanggungjawaban dari setiap mukallaf berkaitan dengan apa yang telah dikerjakan di dunia. Mereka dipanggil bersama dengan imam mereka pada hari penghisaban amal para hamba.
Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, berdasarkan ayat di atas setiap umat akan dipanggil bersama dengan imam dan pemberi petunjuk mereka, yaitu para rasul dan penerus-penerusnya. Kemudian setiap umat maju dengan dihadiri oleh rasul yang pernah menyerunya. Amalan mereka kemudian dicocokkan dengan kitab yang pernah diserukan oleh rasul, apakah sesuai atau (justru) bertentangan?[1]
Penafsiran di atas merujuk ke sejumlah keterangan dari beberapa ulama tafsir dari kalangan generasi salaful-ummah telah dikutip para penulis kitab-kitab tafsir. Imam ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Mujâhid rahimahullah, bahwa makna “imam” ialah nabi mereka [2]. Dengan redaksi lain Qatadah rahimahullah mengartikannya dengan para nabi mereka. Sehingga pengertiannya, para umat akan datang menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama para nabi mereka.
Pendapat ini –seperti yang dipaparkan oleh asy-Syinqîthi rahimahullah [3] – sesuai dengan oleh firman Allah Ta’ala:
“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” [an-Nisâ`/4:41].

Konsep Ta'wil Dalam Islam


Apa yang dimaksud dengan buta dalam ayat 72 Surat Al Isra

Yang dimaksud dengan buta di hari akhirat dalam ayat, “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Qs. Al-Isra [17]:72)  dan ayat-ayat semisalnya, “Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.  Ia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu adalah seorang yang melihat?” (Qs. Thaha [20]: 123-124) bukanlah kebutaan fisik seperti yang terjadi di dunia. Yang dimaksud buta di sini adalah  orang-orang yang memang sengaja menjadikan dirinya buta sekalipun mereka  menyaksikan tanda-tanda Allah dan kebenaran Nabi  dan Ahlubaitnya, lalu menerima kebenarannya, toh dengan begitu ia juga tidak beriman kepadanya.
Hati mereka tidak bisa mengimaninya, seolah-olah  mata  mereka buta terhadap hakikat kebenaran.  Mereka juga sebetulnya sering terlibat dalam wacana-wacana keagamaan namun,  tapi tidak ada bedanya dengan orang yang tidak melihatnya  dan tidak ada bedanya dengan orang-orang yang tidak mendengarnya, karena itu mereka tidak mau mengikrarkan keimanan dan itulah yang dimaksud buta versi al-Quran.
Di hari akhirat, balasan itu dalam bentuk tajassum amal (penjelmaan amal-amal). Kebutaan hati  akan menjadi siksaan atasnya di hari akhirat. Ia menjadi buta di padang mahsyar; ia tidak bisa melihat keindahan Tuhan, cahaya orang-orang yang beriman dan karunia-karunia firdaus.  Mereka juga tidak akan menemukan jalan yang akan mengantarkannya  pada surga.
Namun saat diseret ke neraka  mereka bisa melihat siksaan - untuk  menambah intensitas siksaan atas diri mereka.  Mereka bisa  melihat bermacam-macam siksan  seperti ketika mereka bisa melihat di dunia yang digunakan bukan untuk melihat kebenaran tapi malah berpaling pada kebatilan dan dunia dengan segala pesonanya.

06/07/12

Bacaan dan Do'a Waktu Berbuka Puasa

Dan Kelemahan Hadits Fadlilah Puasa
Di bawah ini akan saya turunkan beberapa hadits tentang dzikir atau do'a di waktu berbuka puasa, kemudian akan saya terangkan satu persatu derajadnya sekalian. Maka, apa-apa yang telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan lagi, dan mana yang telah saya nyatakan syah (shahih atau hasan) bolehlah saudara-saudara amalkan. Kemudian saya iringi dengan tambahan keterangan tentang kelemahan beberapa hadits lemah tentang keutamaan puasa yang sering dibacakan di mimbar-mimbar khususnya di bulan Ramadhan.
HADITS PERTAMA
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi SAW apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul 'Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui).
(Riwayat: Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya 'Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu'jamul Kabir).
Sanad hadits ini sangat Lemah/Dloif
Pertama:
Ada seorang rawi yang bernama: Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang sangat lemah.
1.    Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dlo'if
2.    Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
3.    Kata Imam Ibnu Hibban : pemalsu hadits
4.    Kata Imam Dzahabi : di dituduh pemalsu hadits
5.    Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
6.    Kata Imam Sa'dy : Dajjal, pendusta.
Kedua :
Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani, dll.
Periksalah kitab-kitab berikut :

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani



Beliau adalah Pembaharu Islam (mujadid) pada abad ini. Karya dan jasa-jasa beliau cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu Hadits. Beliau telah memurnikan Ajaran islam terutama dari hadits-hadits lemah dan palsu, meneliti derajat hadits.
Nasab (Silsilah Beliau)Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani.Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota Albania yang lampau.Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadaasp ilmu dan ahli ilmu. Ayah al Albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari `at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya.Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab.Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum `iyah al-Is` af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida `iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur `an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur.Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.

Keutamaan Shalawat 8 Lafazh Shalawat yang Shahih


عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله: «من صلى علي صلاة واحدة, صلى الله عليه عشر صلوات, وحطت عنه عشر خطيات, ورفعت له عشر درجات» رواه النسائي وأحمد وغيرهما وهو حديث صحيح.Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu' alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa) nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat / tingkatan (di surga kelak) "[SHAHIH. Hadits Riwayat An-Nasa'i (no. 1297), Ahmad (3/102 dan 261), Ibnu Hibban (no. 904) dan al-Hakim (no. 2018), dishahihkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah, al-Hakim rahimahullah dan disepakati oleh adz-Dzahabi, rahimahullah juga oleh Ibnu hajar rahimahullah dalam "Fathul Baari" (11/167) dan al-Albani rahimahullah dalam "Shahihul adabil mufrad" (no. 643). ].Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan anjuran memperbanyak shalawat tersebut [Lihat "Sunan an-Nasa'i" (3/50) dan "Shahiihut targiib wat tarhiib" (2/134)], karena ini merupakan sebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda dari Allah Ta'ala [Lihat kitab "Faidhul Qadiir" (6/169)]. Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:● Banyak bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan tanda cinta seorang muslim kepada beliau Shallallahu' alaihi wa sallam [Lihat kitab "Mahabbatur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bainal ittibaa' walibtidaa '" (hal. 77).], karena para ulama mengatakan: "Barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya" [Lihat kitab "Minhaajus Sunnatin nabawiyyah" (5/393) dan "Raudhatul Muhibbiin" (hal. 264).].
● Yang dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau Shallallahu' alaihi wa sallam yang shahih (yang biasa dibaca oleh kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-shalawat bid ' ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang belakangan, seperti shalawat nariyah, Badriyah, Barzanji dan shalawat-shalawat bid'ah lainnya.Karena shalawat adalah ibadah, maka Persyaratan diterimanya harus ikhlas karena Allah Ta'ala semata dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [Lihat kitab "Fadha-ilush Shalaati wassalaam" (hal. 3-4), tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu .]. Juga karena ketika para sahabat radhiyallahu 'anhuma bertanya kepada beliau Shallallahu' alaihi wa sallam: "(Ya Rasulullah), sungguh kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, maka bagaimana cara kami mengucapkan shalawat kepadamu?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: " Ucapkanlah: Ya Allah, bershalawatlah kepada (Nabi) Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarga beliau ... dst seperti shalawat dalam tasyahhud [SHAHIH. Riwayat Bukhari (no. 5996) dan Muslim (no. 406)].
● Makna shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah meminta kepada Allah Ta'ala agar Dia memuji dan mengagungkan beliau Shallallahu' alaihi wa sallam di dunia dan akhirat, di dunia dengan memuliakan peneyebutan (nama) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memenangkan agama dan mengokohkan syariat Islam yang beliau bawa. Dan di akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memudahkan syafa'at beliau kepada umatnya dan menampakkan keutamaan beliau pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk [Lihat kitab "Fathul Baari" (11/156)].
● Makna shalawat dari Allah Ta'ala kepada hamba-Nya adalah rahmat, pengampunan, pujian, kemualian dan keberkahan dari-Nya [Lihat kitab "Zaadul masiir" (6/398).]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta'ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:{هو الذي يصلي عليكم وملائكته ليخرجكم من الظلمات إلى النور وكان بالمؤمنين رحيما}"Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman " (QS al-Ahzaab: 43).
Lafazh bacaan sholawat yang paling sederhana yang sesuai dalil2 yang shahih adalah:اللهم صل وسلم على نبينا محمدAllahumma shollii wa sallim 'alaa nabiyyinaa Muhammad."Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad).[SHAHIH. HR. At-Thabrani dengan dua isnad, keduanya baik. Lihat Majma 'Az-Zawaid 10/120 dan Shahih At-Targhib wat Tarhib 1/273].Kemudian terdapat riwayat-riwayat yang Shahih dalam delapan riwayat, yaitu:1. Dari jalan Ka'ab bin 'Ujrahاللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد"Allaahumma sholli 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad kamaa shollaita 'alaa ibroohiim wa' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid, Allaahumma baarik 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad kamaa baarokta 'alaa ibroohiim wa' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid"."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia "[SHAHIH, HR. Bukhari 4/118, 6/27, dan 7/156, Muslim 2/16, Abu Dawud no. 976, 977, 978, At Tirmidzi 1/301-302, An Nasa-i dalam "Sunan" 3/47-58 dan "Amalul Yaum wal Lailah" no 54, Ibnu Majah no. 904, Ahmad 4/243-244, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 900, 1948, 1955, Al Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/148 dan yang lainnya]2. Dari jalan Abu Humaid As Saa'diyاللهم صل على محمد وعلى أزواجه وذريته كما صليت على إبراهيم, وبارك على محمد وعلى أزواجه وذريته كما باركت على إبراهيم, إنك حميد مجيدAllaahumma sholli 'alaa Muhammadin wa' alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shol laita 'alaa ibroohiim, wa baarik' alaa Muhammadin wa 'alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarokta' alaa ibroohiim innaka hamiidum Majiid."Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada istri-istri beliau dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan istri-istri beliau dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia "[SHAHIH, HR. Bukhari 4/118, 7/157, Muslim 2/17, Abu Dawud no. 979, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/49, Ibnu Majah no. 905, Ahmad dalam "Musnad" nya 5/424, Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/150-151, Imam Malik dalam "Al Muwaththo '1/179 dan yang lainnya].3. Dari jalan Abi Mas'ud Al Anshariyاللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيدAllaahumma sholli 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad kamaa shol laita 'alaa aali ibroohiim, wa baarik' alaa Muhammad wa 'alaa aali Muhammad kamaa baarokta' alaa aali ibroohiim fil 'aalamiina innaka hamiidum Majiid."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim pada semesta alam, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"[SHAHIH, HR Muslim 2/16, Abu Dawud no. 980, At Tirmidzi 5/37-38, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/45, Ahmad 4/118, 5/273-274, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1949, 1956, Baihaqi dalam "SUnanul Kubra" 2/146, dan Imam Malik dalam "Al Muwaththo '(1/179-180 Tanwirul Hawalik Syarah Muwaththo'"]4.dari jalan Abi Mas'ud, 'Uqbah bin' Amr Al Anshariy (jalan kedua)للهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيدAllaahumma sholli 'alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa' alaa aali Muhammad kamaa shol laita 'alaa ibroohiim wa' alaa aali ibroohiim, wa baarik 'alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa' alaa aali Muhammad kamaa baarokta 'alaa ibroohiim wa' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad yang ummi dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Dan berkahilah Muhammad Nabi yang ummi dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi ) Maha Mulia "[SHAHIH, HR. Abu Dawud no. 981, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no. 94, Ahmad dalam "Musnad" nya 4/119, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1950, Baihaqi dalam "Sunan" nya no 2/146-147, Ibnu Khuzaimah dalam "Shahih" nya no711, Daruquthni dalam "Sunan" nya no 1/354-355, Al Hakim dalam "Al Mustadrak" 1/268, dan Ath Thabrany dalam "Mu'jam Al Kabir" 17/251-252]5. Dari jalan Abi Sa'id Al Khudriاللهم صل على محمد عبدك ورسولك كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيمAllaahumma sholli 'alaa Muhammadin' abdika wa rosuulika kamaa shol laita 'alaa aali ibroohiim, wa baarik' alaa Muhammad wa 'alaa aali Muhammad kamaa baarokta' alaa ibroohiim."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad hambaMu dan RasulMu, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim "[SHAHIH, HR Bukhari 6/27, 7/157, An Nasa-i 3/49, Ibnu Majah no. 903, Baihaqi 2/147, dan Ath Thahawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/73]6. Dari jalan seorang laki2 shabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamاللهم صل على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيدAllaahumma sholli 'alaa Muhammad wa' alaa anggota baitihi wa 'alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shollaita' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid, wa baarik 'alaa Muhammad wa' alaa anggota baitihi wa 'alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarokta' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.Dan berkahilah Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia "[SHAHIH, HR. Ahmad 5/347, Berikut adalah lafazhnya, Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/74], dishahihkan oleh Al Albani dalam "Sifaat sahalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam", hal 178-179].7. Dari jalan Abu Hurairahاللهم صل على محمد و على آل محمد وبارك على محمد و على آل محمد كما صليت وباركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيدAllaahumma sholli 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad wa baarik 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad, kamaa shollaita wa baarokta 'alaa ibroohiim wa' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"[SHAHIH, HR Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/75, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no 47 dari jalan Dawud bin Qais dari Nu'aim bin Abdullah al Mujmir dari Abu Hurairah, Ibnul Qayyim dalam "Jalaa 'ul Afhaam Fish shalati Was Salaami' alaa Khairil Anaam (hal 13) berkata, "Isnad Hadist ini shahih atas syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim), dan dishahihkan oleh Al Albani dalam" Sifaat sahalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ", hal 181 ]8. Dari jalan Thalhah bin 'Ubaidullahاللهم صل على محمد و على آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد و على آل محمد كما باركت على إبراهيم و آل إبراهيم إنك حميد مجيدAllaahumma sholli 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad kamaa shol laita 'alaa ibroohiim wa' alaa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid, wa baarik 'alaa Muhammad wa' alaa aali Muhammad kamaa baarokta 'alaa ibroohiim wa aali ibroohiim innaka hamiidum Majiid."Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia ".[SHAHIH, HR. Ahmad 1/162, An Nasa-i dalam "Sunan: nya 3/48 dan" Amalul Yaum wal Lailah "no 48, Abu Nu'aim dalam" Al Hilyah "4/373, semuanya dari jalan 'Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah, dari bapaknya (Thalhah bin 'Ubaidullah), dishahihkan oleh Al Albani].► Tentang Ucapan صلى ا لله عليه وسلم
Di sunnahkan (sebagian ulama mewajibkannya) mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan:صلى ا لله عليه وسلم"Shallallahu 'alaihi wa sallam"Riwayat2 yang datang tentang ini banyak sekali, diantaranya dari dua hadits shahih di bawah ini:1. Dari jalan Husain bin 'Ali bin Abi Thalib, ia berkata,"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda," Orang yang bakhil (kikir / pelit) itu adalah orang yang apabila namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku (dengan ucapan-red) صلى ا لله عليه وسلم ("shallallahu 'alaihi wa sallam "").[SHAHIH. Dikeluarkan oleh AT Tirmidzi 5/211, Ahmad 1/201 no 1736, An Nasa-i no 55,56 dan 57, Ibnu Hibban 2388, Al Hakim 1/549, dan Ath Thabraniy 3/137 no 2885.2. Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:" Hina dan rugi serta kecewalah seorang yang disebut namaku disisinya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku "". [SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi 5/210, dan Al Hakim 1/549. Dan At Tirmidzi telah menyatakan bahwa hadits ini Hasan].Hadits ke dua ini, banyak syawaahidnya dari jama'ah para shahabat, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kiatb: At Targhib wat Tarhib "(2/506-510) Imam Al Mundzir," Jalaa-ul Afhaam (hal 229-240) Ibnu Qayyim , Al Bukhari dalam "Adabul Mufrad" (no 644, 645), Ibnu Khuzaimah (no 1888), Ibnu Hibban (no 2386 dan 2387 - Mawaarid).

Biografi Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz



Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga seorang ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.
Syaikh mengatakan, “Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abdillah Ali (keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tida

04/07/12

PENGERTIAN BID’AH MACAM-MACAM BID’AH DAN HUKUM-HUKUMNYA


Oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
 PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

KELEMAHAN HADITS 20 RAKA'AT



Dalam kitab Fathul Baari IV:205-206, pada keterangan hadits pertama, Ibnu Hajar mengatakan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat (malam) di bulan Ramadhan 20 raka'at dan beriwitir satu raka'at itu, sanadnya lemah. Hadits ini bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang terdapat dalam shahihain. Dalam hal ini 'Aisyah lebih mengetahui hal ihwal Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam harinya bila dibandingkan dengan yang lain".
Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Imam Az-Zaila'i dalam kitab Nashbur-Raayah : II :153.
Penulis berpendapat : Hadits ini memang lemah sekali, seperti yang dinyatakan Imam Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawaa II:73 yang menyebabkan kelemahannya adalah rawi yang bernama ABU SYAIBAH IBRAHIM BIN 'UTSMAN.
Dalam kitab At-Taqriib Ibnu Hajar menyebut rawi ini sebagai Matrukul Hadits. Penulis telah menelusuri sumber-sumbernya tetapi tidak didapati kecuali melalui jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits ini dalam Al-Mushannaf II:90/2, Abdun bin Hamid dalam Al-Muntakhab Minal Musnad 34:I/1, Thabrani dalam Al-Mu'jamul Kabir III:148 dan Al-Aushath, begitu pula Adz-Dzahabi dalam Al-Muntaqa Minhu III:2 dan Baihaqi dalam Sunannya II:496.
Semua riwayat ini pasti melalui jalan Ibrahim bin 'Utsman dari Hakim dari Muqsam dari Ibnu Abbas secara marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).
Thabrani mengatakan bahwa tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini. Baihaqi menegaskan bahwa Abi Syaibah bersendirian (tafarada bihi) dan ia ini lemah. Begitu pula pernyataan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid III:172 bahwa dia itu lemah.
Yang sebenarnya ia itu sangat lemah sekali, bahkan Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya), maksudnya haditsnya tidak dipakai.
Ibnu Ma'in menyebutnya Laisa bits-tsiqah = tidak termasuk orang kepercayaan. Jurjani menyebutnya "saaqit" = yang gugur, sedangkan Syu'bah mendustakannya dalam suatu cerita/qishah. Bukhari berkata : Sakatu'anhu (Ulama Hadits mendiamkannya).
Pada halaman 118 kitab Ikhtisar fi 'Ulumul Hadits, Ibnu Katsir mengatakan : Bahwa siapa saja yang dikatakan Bukhari "Sakatu'anhu" berarti rawi itu berada dikedudukan yang paling rendah dan jelek (menurut pandangannya).

Perbaikilah Shalat Anda!


Khutbah Jum'at Pertama

الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه كما يحب ربنا ويرضى, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله, صلوات ربي وسلامه عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
Amma ba'du:
Ayyuhal ikhwah fillah ! Bertakwalah kepada Allah SWT dengan takwa yang sebenarnya. Sesungguhnya manusia kini tengah terjebak di dalam timbunan kesibukan dunia yang materialistik bersama aneka macam problema jiwa dan ketegangan syaraf yang ditimbulkan oleh nafsunya, mereka sangat membutuhkan sesuatu yang bisa menghibur perasaannya. Melepaskan beban penderitaannya, dan membangkitkan perasaan tentram di dalam hati dan perasaan tenang di dalam jiwa, jauh dari kesulitan, kegelisahan, dan keresahan. Mana mungkin manusia bisa menemukan hal itu di luar naungan Islam dan ibadah-ibadahnya yang agung, yang merupakan terapi rohani yang mutlak ampuh dan tidak tergantikan oleh terapi materi. Ketahuilah, bahwa ibadah yang memiliki pengaruh terbesar dalam hal itu adalah shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah.
Allah berfirman,

01/07/12

Larangan Meminta Kematian


Tidak seyogianya seseorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika seorang yakin jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa cobaan yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik daripada atasnya. Namun orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan, seperti seseorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung sembuh atau dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang seperti ini dilarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat hendaklah ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku’.” (HR. Al-Bukhari no. 5671)
Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau bahkan sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari beramal dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali kesalahan.
Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah gusar ketika kematian hendak menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi dengan perjalanan yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang belum pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menemui kekasihku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang belum pernah aku sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku saksikan yang seperti itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib- Ibnu Rajab rahimahullah hal. 32 dan lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia’, 6/149-155)