Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:
Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang
nama tersebut menjadi simbol golongan tersebut.
Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki
karena amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan tersebut tanpa dikenal
dengan am
al lainnya. Ini merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-cara buatan. Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”. Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”. Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”. Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”. Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:
Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37). Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”. Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya kembali” (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174). Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
al lainnya. Ini merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-cara buatan. Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”. Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”. Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”. Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”. Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:
Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37). Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”. Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya kembali” (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174). Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar