Masalah ke-49:
Sunah
mengindahkan suara pada waktu membaca Al-Qur’an. Para
ulama Salaf dan Khalaf daripada sahabat dan tabi’in serta para ulama Anshar (Baghdad, Bashrah dan
Madinah) dan imam-imam muslimin sependapat dengan sunahnya mengindahkan suara
ketika membaca Al-Qur’an. Perkataan dan perbuatan mereka berkenaan dengan
perkara tersebut amat mansyur, maka kami tidak perlu memetik sesuatu pun
satu-persatunya. Dalil-dalil berkenaan dengan perkara tersebut sudah dimaklumi
orang-orang terkemuka ataupun orang awam. Antara lain seperti hadits berikut
ini:“Hiasilah Al-Qur’an dengan suarama.”
“Orang ini telah diberi seruling.”
“Orang ini telah diberi seruling.”
Atau hadits yang artinya: “Tidak Allah mendengar….” dan hadits:
“Sungguh Allah lebih mendengar….”
Kesemuanya
telah dikemukakan dalam bab terdahulu. Demikian pula berkenaan dengan keutamaan
tartil pada hadits Abdullah bin Mughaffal, berkenaan dengan membaca Al-Qur’an
oleh Nabi saw dengan perlahan-lahan. Dan seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqqash
dan hadits Abu Lubabah ra bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
tidak melagukan Al-Qur’an, maka dia bukan dari golongan kami.”(Riwayat Abu Dawud)
Berkenaan dengan isnad Sa’ad terdapat
perselisihan yang tidak sampai mengganggu.
Mayoritas ulama berkata: “Tidak melagukan” artinya “tidak mengindahkan
suaranya.”
Begitu juga hadits daripada Al-Barra’ ra artinya:“Aku
mendengar Rasulullah saw membaca dalam sembahyang Isyak surat Wattiini waz-zaitun dan aku tidak
mendengar seorang pun yang lebih bagus suaranya daripada Baginda.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
Para ulama berkata: “Sunah
membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus dan tertib selama tidak melampaui
batas. Jika sampai malampui batas hingga menambah atau menyembunyikan satu
huruf, maka perbuatan itu haram. Manakala membaca dengn lahn (irama/pelat),
maka Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam suatu pendapat: “Aku tidak
menyukainya.”
Para sahabat kami menyatakan
itu bukan dua pendapat, tetapi ada perincian berkenaan dengannya. Jika
keterlaluan sehingga melampaui batas, itulah yang tidak disukainya, jika tidak
sampai melampaui batas maka tidak makruh.
Imam
Al-Mawardi berkata dalam kitabnya Al-Haawi berkata: “Membaca dengan lahn
(irama/pelat) yang dibuat-buat, jika mengeluarkan lafaz Al-Qur’an dari
bentuknya dengan memasukkan harakat-harakat di dalamnya atau mengeluarkan
harakat-harakat daripadanya atau memendekkan yang panjang dan memanjangkan yang
pendek atau memanjangkan hingga menyembunyikan sebagian lafaznya dan menyamakan
artinya, maka perbuatan itu haram dan pembacanya menjadi fasik serta orang yang
mendengarnya pun ikut berdosa. Karena itu bermakna ia mengalihkannya dari jalan
yang lurus ke jalan yang bengkok.”
Allah berfirman:“Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak kebengkokan (di dalamnya)….”(Aurat Az-Zumar: 28)
AlMawardi berkata: “Jika tidak sampai terjadi lahn yang keluar
dari lafaznya dan membacanya secara tartil, maka dibenarkan karena lahnnya itu
menambah kebagusannya.” Ini adalah pendapat Qadhil Qudrat.
Seperti halnya membacaan dengan lahn yang diharamkan, adalah musibah
bagi sebagian orang bodoh dan jahil yang
membacanya untuk jenazah dan di sebagian majelis. Ini adalah bid’ah haram dan
setiap pendengarnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Mawardi. Demikian
jugalah setiap orang yang sanggup menghilangkan atau melarangnya berdosa jika
tidak melakukannya. Saya telah berusaha sekuat tenaga ketika membuat itu dan
berharap dari anugerah Allah Yang Maha Pemurah agar memberikan petunjuk untuk
menghilangkannya dari orang yang demikian itu dan menjadikannya dalam
kesembuhan.
Asy-Syafi’i berkata dalam Mukhtasar Al-Muzani, bahwa dia indahkan
suaranya dengan cara apapun ketika membaca Al-Qur’an, dia berkata: “Cara yang
lebih baik adalah membaca dengan perlahan-lahan dan suara lembut.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abu
Hurairah ra bahwa dia membaca “Idzasy-syamsu kuwwirat” dengan suara lembut
seperti meratap.
Dalam Sunan Abu Dawud, dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah:
“Bagaimana pendapatmu jika suaranya tidak bagus?” Dia menjawab: “Hendaklah dia
elokkan suaranya sedapat mungkin.”
Malasah ke-50:
Sunah
mencari guru Al-Qur’an yang baik dan bagus suaranya. Ingatlah bahwa para jamaah
ulama Salaf, meminta para pembaca Al-Qur’an yang bersuara bagus agar membacanya
sedang mereka mendengarnya. Anjuran melakukan ini disetujui oleh para ulama dan
itu adalah kebiasaan orang-orang baik dan ahli ibadah serta hamba-hamba Allah
Yang sholeh. Perbuatan itu adalah sunnah dari Rasulullah saw.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Rasulullah saw berkata kepadaku, ‘Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah aku wajar membaca Al-Qur’an untukmu sedang kepadamu ia diberitakan?’ Nabi saw menjawab, ‘Sesungguhnya aku ingin mendengarnya dari orang lain.’ Kemudian aku bacakan kepadanya An-Nisa’ hingga ketika sampai pada ayat ini:“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”(QS An-Nisa 4:41)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Rasulullah saw berkata kepadaku, ‘Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah aku wajar membaca Al-Qur’an untukmu sedang kepadamu ia diberitakan?’ Nabi saw menjawab, ‘Sesungguhnya aku ingin mendengarnya dari orang lain.’ Kemudian aku bacakan kepadanya An-Nisa’ hingga ketika sampai pada ayat ini:“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”(QS An-Nisa 4:41)
Beliau kemudian berkata, ‘Cukuplah bagimu sekarang.’ Kemudian
aku menoleh kepadanya. Ternyata kedua matanya berlinang air mata.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
Diriwayatkan
oleh Ad-Darimi dan lainnya dengan sanad-sanad mereka dari Umar Ibnu Al-Khattab ra
bahwa dia berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Ingatlah kami kepada Tuhan
kamu.” Kemudian Abu Musa membaca Al-Qur’an di dekatnya. Athar-athar berkenaan
dengan hal ini sudah dimaklumi. Telah meninggal dunia sejumlah orang sholeh
dengan sebab membaca Al-Qur’an oleh orng yang mereka minta untuk
membacakannnya. Wallahua’lam.
Para ulama telah menganjurkan
agar memulai majelis hadits Nabi saw danm mengkhatamkannya dengan bacaan
sebagian ayat-ayat Al-Qur’an oleh
pembaca yang bagus suaranya. Kemudian, pembaca di tempat-tempat ini, hendaklah
membaca ayat-ayat yang sesuai dengan majelisnya.
Hendaklah dia membaca ayat-ayat yang membangkitkan harapan dan
menimbulkan rasa takut, mengandung nasihat-nasihat, menyebabkan zuhud terhadap
keduniaan, menimbulkan kesukaan kepada akhirat dan persiapan untuknya serta
pendek angan-angan dan kemuliaan budi pekerti.
Masalah ke-51:
Jika
pembaca memulai dari tengah surat
atau berhenti di tempat yang bukan akhirnya, agar memulai permulaan kalam yang
saling berkaitan antara satu sama lain (dan berhenti pada kalam berkenaan),
serta tidak terikat dengan bagian-bagiannya karena bisa terjadi di tengah kalam
yang berhubungan seperti bagian (juzuk) yang terdapat dalam Firman Allah swt:
“Dan (haram juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami…”(QS
An-Nisa 4:24)
Dan
firman Allah swt:“Dan aku tidak membebaskan driku (dari kesalahan)…”(QS Yusuf 12:53)
“Maka tidak ain jawaban kaumnya….”(QS
An-Naml 27:56)
“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah
swt dan Rasul-Nya….”(QS Al-Ahzab 33:31)
Dan firman Allah swt:“Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal dunia) suatu
pasukan pun dari langit….”(QS Yaasin 36:28)
“Kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang kiamat….”(QS Fushshilat 41:47)“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat….”(QS Az-Zumar 9:48)
“Ibrahim bertanya, ‘Apakah urusanmu, wahai para utusan.’”(QS Adz-Dzaariyaat 51: 31)
Demikian jugalah dalam firman Allah swt:“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah swt dalam beberapa hari yang
tertentu….”(QS Al-Baqarah 2:203)
“Katakanlah, ‘Ingatlah aku khabarkan kepadamu apa yang lebih baik daripada yang
demikian itu….”(QS Ali-Imran 3:15)
Maka semua itu dan yang seumpanya, sepatutnya pembaca Al-Qur’an
tidak memulai dengannya dan tidak berhenti di situ karena itu berkaitan dengan
yang sebelumnya. Janganlah keliru karena banyaknya pembaca yang lalai dan tidak
memperhatikan adab-adab ini dan tidak pula memikirkan makna-maknanya.
Ikutilah pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah
dengan isnadnya dari As-Sayyid yang mulai Al-Fudhail bin ‘Iyadh ra katanya:
“Janganlah merasa kesepian di jalan kebenaran karena sedikit pengikutnya dan
jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang rusak dan janganlah mengganggumu
karena kurangnya orang-orang yang menempuhnya.”
Untuk makna inilah para ulama berkata: “Membaca suatu surat yang pendek secara
lengkap lebih baik daripada membaca sebagian surat panjang seperti surat pendek karena kadang-kadang sebagian orang
tidak mengetahui hubungannya dalam sebagian keadaan.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abdullah
bin Abul Huzail ra. seorang tabi’in terkenal, katanya: “Mereka tidak suka
membaca sebagian ayat dan meninggalkan sebagiannya.”
Masalah ke-52:
Makruh
membaca Al-Qur’an dalam beberapa keadaan. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an disunahkan
secara mutlak, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu dilarang oleh syarak.
Saya sebutkan sebagian yang saya ingat secara ringkas tanpa menyebut dalil-dalilnya
karena cukup mansyur.
Makruh membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukuk, sujud dan tasyahud
serta keadaan-keadaan sembahyang lainnya, kecuali jika berdiri. Makruh membaca
lebih dari Al-Fatihah bagi makmum dalam keadaan sembahyang yang dikeraskan bacaannya
jika dia mendengar bacaan imam. Dan makruh pula membavanya dalam keadaan duduk
di tempat buang hajat dan dalam keadaan mengantuk. Juga dihukumkan makruh
mambacanya jika menemui kesukaran, demikian pula dalam keadaan khutbah bagi
orang yang mendengarnya.
Tidaklah dihukumkan makruh bagi orang yang tidak mendengarnya,
bahkan diutamakan untuk membacanya.
Inilah pendapat yang terpilih dan sahih.
Diriwayatkan daripada Thawus berkenaan dengan hukum makruhnya
dan Ibrahim berpendapat tidak makruh. Bisa digabung antara kedua pendapat itu
dengan apa yang kami katakan sebagaimana disebutkan oleh sahabat kami.
Tidak maktuh membaca Al-Qur’an ketika thawaf. Ini adalah madzhab
kami dan madzhab sebagian besar ulama. Ibnu Mundzir menceritakannnya dari
‘Atha’, Mujahid, Ibnul Mubarak, Abu Thaur dan Ashabur Ra’yi.
Diceritakan dari Hasan Al-Bashri, Urwah bin Zubair dan Malik,
mengenai makruhnya membaca Al-Qur’an ketika thawaf. Pendapat yang lebih sahih
adalah pendapat pertama. Telah dijelaskan sebelumnya tentang perselisihan
berkenaan dengan membaca Al-Qur’an di tempat mandi dan di jalan serta orang
yang di mulutnya ada najis.
Masalah ke-53:
Termasuk
bid’ah-bid’ah apa yang dilakukan oleh orang-orng bodoh yang mengimani orang banyak
dalam sembahyang Tarawih ketika membaca surat
Al-An’aam pada rakaat terakhir pada malam ketujuh dengan menyakini bahwa hal
itu mustahab (sunah).
Maka
mereka kumpulkn hal-hal yang tercela, antara lain menyakininya sebagai mustahab
dan menyebabkan orang awam beranggapan seperti itu. Di antaranya menjadikan
rakaat kedua lebih panjang dari rakaat pertama, sedangkan yang sunah adalah
memanjangkan rakaat pertama.
Diantaranya
memanjangkan sembahyang terhadap para makmum. Juga bacaan surat yang amat laju.
Termasuk
bid’ah-bid’ah yang menyerupai ini adalah pembacaan sajdah dalam sembahyang
Subuh hari Jumaat, tetapi nukan sajdah Alif Laam Mim Tanziil. Sedangakan yang
sunah adalah membaca Alif Laam Mim Berita pada rakaat pertama dan surat Hal Ataa pada
rakaat kedua.
Masalah ke-54:
Masalah-masalah
aneh yang perlu diketahui. Di antaranya ialah apabila membaca surat, kemudian anging mengganggunya
(menguap), maka hendaklah dia menghentikan bacaanya hingga sempurna keluarnya,
kemudian kembali membaca. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dan
lainnya dari Atha’ dan itu adalah adab yang baik.
Diantaranya
ialah apabila seseorang menguap, dia hentikan bacaannya hingga selesai menguap,
kemudian meneruskan bacaan. Mujahid berkata: “Itu adalah baik.”
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri ra, Katanya: Rasulullah saw bersabda:“Jika seseorang dari kamu menguap, hendaklah dia menutup mulutnya dengan tangannya karena syaitan akan masuk.”(Riwayat Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri ra, Katanya: Rasulullah saw bersabda:“Jika seseorang dari kamu menguap, hendaklah dia menutup mulutnya dengan tangannya karena syaitan akan masuk.”(Riwayat Muslim)
Diantaranya
apabila membaca Firaman Allah ‘Azza wa Jalla:“Kaun Yahudi berkata:
‘Uzair putera Allah swt’ dan kaum Nasrani berakata,
‘Al-Masih putera Allah swt.”(QS At-Taubah 9:30)
“Dan kaum Yahudi berkata: Tangan Allah swt terbelnggu.”(QS. Al-Maidah 5:64)“Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak…”(QS Maryam 19:88)
Dan ayat-ayat lain yang seumpama itu. Maka hendaklah dia
memperlahankan suaranya ketika membacanya. Demikianlah yang dilakukan oleh
Ibrahim An-Nakha’ ra.
Di antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dengan
isnad dhaif dari Asy-Sya'b’ bahwa dikatakan kepadanya, jika manusia membaca:
“Sesungguhnya Allah swt dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi.”(QS Al-Ahzab 33:56)
Dia pun mengucapkan sholawat untuk Nabi saw Asy-Sya’bi menjawab:
“Ya”.
Diantaranya
ialah disunahkan baginya mengucapkan apa yang
diriwayatkan oleh Abu Hurtairah ra daripada Nabi saw bahwa Baginda
bersabda: “Barangsiapa membaca (Wattiini waz-zaituuni) dan sehingga pada
(Alaisa Allah
swtu bi ahkamil haakimiin), hendaklah dia mengucapkan: Balaa wa ana
‘alaa
dzaalika minays-syaahidiin.”(Riwayat
Abu Dawud dan Tirmidzi, dengan isnad dhaif)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Tirmidzi berkata: “Hadits ini
diriwayatkan dengan isnad ini, dari orang badui dari Abu Hurairah.” Dia
berkata: “Dan tidak disebut namanya.”
Ibnu Abi Dawud dan lainnya meriwayatkan dalam hadits ini,
sebagai tambahan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi:
“Barangsiapa membaca akhir surat Al-Qiyamah, (Alaisa dzaalika bi qaadirin ‘alaa an yuhyiya al-nautaa), hendaklah dia mengucapkan: ‘Balaa wa ana asyhadu’. Dan Barangsiapa membaca (Fa bi ayyi hadiithin ba’dahu yu’minuun), hendaklah dia mengucapkan, ‘Aamantu billahi.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair dan Abu Musa
Al-Asy’ari’ra bahwa apabila seseorang dari mereka membaca: Sabbihisma rabbikal
a’laa mereka mengucapkan Subhaan Rabbiyal A’laa (Maha Suci Tuhanku Yang Maha
Tinggi). Diriwayatkan dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia mengucapkan pada ayat
itu Subhaana Rabbiyal a‘laa tiga kali. Diriwayatkan dari pada Abdullah bin
Mas’ud ra bahwa dia sembahyang dan membaca akhir surat Bani Israil. Kemudian dia ucapkan
Alhamdullilahi ladzii lam yattakhidz waladan.
Salah seorang sahabat kami telah menyebut bahwa sunah
mengucapkan dalam sembahyang apa yang telah kami kemukakan dan dalam hadits Abu
Huarairah berkenaan dengan ketiga surat
itu. Demikian jugalah disunahkan mengucapkan lainnya dari yang kami sebutkan
dan yang semakna dengannya. Wallahua’lam.
Masalah ke-55:
Bacaan
Al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai Kalam. Ibnu Abi Dauwd menyebutkan adanya
perselisihan berkenaan dengan hal ini. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I ra
bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an dengan tujuan urusan dunia.
Diriwayatkan
dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia membaca dalam sembahyang Maghrib di Mekah,
(Wattini waz zaituuni) dan menguatkan suaranya dan berkata, (Wa haadzal baladil
amiini). Diriwayatkan dari Hukaim bin Sa’ad bahwa seorang lelaki dari
Al-Muhakkamati datang kepada Ali yanbg sedang menunaikan sembahyang Subuh,
kemudian berkata, Lain asyrakta layahbathanna amaluka (jika kamu mempersekutukan-Tuhan-
niscaya akan sia-sialah amalmu. (QS Ar-Ruum 30:60). Maka Ali menjawabnya dalam
sembahyang:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah swt adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah swt itu menggelisahkan kamu).”(QS Ar-Ruum 30:60)
Para sahabat kami mengatakan,
apabila seorang manusia minta izin masuk kepada orang yang sedang sembahyang,
kemudian orang yang sembahyang itu mengatakan: “Udkhuluuha bi salaamin aaminiin
(Masukkal kamu dengan selamat dan aman), maka jika dia maksudkan pembacaan ayat
atau membaca ayat dan pemberitahuan, tidaklah batal sembahyangnya. Jika dia
mekasudkan mmeberitahu dan tidak ada niat membaca ayat, batallah sembahyangnya.
Masalah ke-56:
Jika
dia membaca sambil berjalan, kemudian melalui sejumlah manusia, diutamakan
memutuskan bacaan dan memberi salam kepada mereka, kemudian melanjutkan
bacaannya. Jika dia mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik.
Sekiranya membaca sambil duduk, kemudian ada orang lalu di depannya, maka
dikatakan oleh Imam Abul Hasan Al-Wahidi: “Pendapat yang lebih utama adalah
tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an karena dia sibuk membaca.”
Dan jika berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya,
cukuplah dia menjawab dengan isyarat.” Masih menurut Abu Hasan, “Jika ingin
menjawab dengan lafaz salam, dia bisa menjawabnya kemudian dia mulai membaca
isti’adzah dan meneruskan bacaannya.”
Pendapat yang dikemukakan itu lemah. Hal yang jelas adalah
kewajiban menjawab lafaz. Para sahabat kami
berkata: “Jika orang yang masuk memberi salam pada hari Jumaat dalam keadaan
imam berkhutbah, sedangkan kami mengatakan bahwa diam adalah sunah, maka
wajiblah ke atasnya menjawab salam menurut pendapat yang lebih sahih di antara
dua pendapat. Jika mereka katakan bahwa ini adalah dalam keadaan Khutbah,
sedangkan terdapat perselisihan berkenaan dengan kewajiban diam dan pengharaman
berbicara, maka dalam keadaan pembacaan yang tidak haram berbicara di dalamnya
berdasarkan ijmak adalah lebih utama di samping hukum menjawab salam adalah
wajib.” Wallahua’lam.
Sementara itu, jika dia bersin dalam keadaan membaca, maka
diutamakan mengucapkan, “Alhamdulillah”. Demikian pula halnya di dalam
sembahyang. Sekiranya orang lain bersin sedang dia membaca Al-Qur’an di luar
sembahyang dan orang itu mendoakannya dengan mengatakan “Yarhamukallah.”
Sekiranya pembaca Al-Qur’an mendengar Adzan, dia hentikan
bacaannya dan menjawabnya dengan mengikutinya mengucapkan lafaz-lafaz adzan dan
iqamat, kemudian dia kembali kepada bacaannya. Ini disetujui oleh para sahabat
kami.
Jika dia orang punya keperluan dengannya, sedangkan dia dalam
keadaan membaca Al-Qur’an dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang yang
bertanya dengan isyarat yang dapat difamahmi dan dia yakin bahwa hal itu tidak
mengecewakan hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka
sebaiknya dia menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan. Jika
dia menghentikannya, maka hal itu diharuskan. Wallahua’lam.
Masalah ke-57:
Jika
datang kepada pembaca Al-Qur’an orabg yang berilmu atau terhormat atau orang
tua yang terpandang atau mereka miliki kehormatan sebagai pemimpin atau lainnya,
maka tidaklah mengapa berdiri untuk menghormati DAN memuliakannya, bukan karena
riya dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunah). Berdiri
sebagai penghormatan adalah termasuk dari perbuatan Nabi saw dan perbuatan para
sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya, serta perbuatan para tabi’in
dan ulama yang sholeh setelah mereka.
Telah saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya sebutkan
di dalamnya hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan sunahnya dan yang
melarangnya. Saya jelaskan kelemahan riwayat yang lemah dan kesahihan riwayat
yang sahih daripadanya. Saya sebutkan pula jawaban tentang sangkaan adanya
larangan atas hal itu, padahal tiada larangan di dalamnya.
Saya
jelaskan semua itu dengan memuji Allah maka siapa yang meragukan sesuatu dari hadits-haditsnya,
hendaklah dia mempelajarinya, niscaya dia dapati keterangan yang menghilangkan
keraguannya, insya Allah.
Masalah ke-58:
Hukum-hukum
berharga yang berkaitan dengan membaca Al-Qur’an dalam sembahyang. Saya
sampaikan pembahasan ini secara ringkas karena cukup mansyur dalam kitab-kitab fiqh.
Di antaranya wajib membaca Al-Qur’an dalam sembahyang fardhu berdasarkan ijmak
ulama. Kemudian Malik, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat,
diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Abu Hanifah dan jamaah berkata,
“Tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah untuk selamanya.” Dan katanya: “Tidak
wajib membaca Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir.” Pendapat yang lebih benar
adalah pendapat pertama. Banyak dalil dari Sunnah yang menyokong pendapat itu.
Cukuplah memahami sabda NabI saw dalam hadits sahih:
“Tidak memadai (sah) sembahyang yang tidak dibaca Al-Fatihah di dalamnya.”
“Tidak memadai (sah) sembahyang yang tidak dibaca Al-Fatihah di dalamnya.”
Mereka sependapat atas sunahnya membaca surat sesudah Al-Fatihah dalam dua rakaat
sembahyang Subuh dan dua rakaat pertama dari sembahyang-sembahyang lainnya.
Mereka berlainan pendapat tentang anjuran membacanya pada rakaat ke tiga dan
keempat. Menurut Imam Asy-Syafi’i ada dua pendapat tentang hal itu. Menurut madzhab
baru (aqaul jadid) ialah tidak disunahkan dan menurut madzhab lama (qaul qadim)
disunahkan.
Para sahabat kami mengatakan, jika kami
katakan bahwa ahl itu disunahkan, maka tiada perselisihan bahwa pembacaannya
tidak lebih dari pembacaan dalam dua rakaat pertama. Mereka berpendapat bahwa
pembacaan pada rakaat ketiga dan rakaat keempat adalah sama. Apakah pembacaan
pada rakaat pertama lebih panjang daripada rakaat kedua? Maka ada dua pendapat
berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih kuat (sahih) diantara
keduanya menurut mayoritas sahabat kami adalah tidak lebih panjang. Pendapat
kedua, yaitu yang sahih menurut para pengkaji adalah lebih panjang.
Itulah pendapat yang terpilih berdasarkan hadits sahih:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw lebih memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari pada
rakaat kedua.”
Faedahnya ialah supaya orang yang tertinggal bisa mendapat
rakaat pertama. Wallahua’lam.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, apabila makmum masbuq mendapati dua rakaat
terakhir dari sembahyang Zuhur dan lainnya bersama imam, kemudian dia kerjakan
dua rakaat baginya, maka diutamakan baginya membaca Surat. Mayoritas sahabat kami berkata
demikian ini atas dua pendapat. Setengah dari mereka berkata, ini menurut
pendapat yang menganjurkan pembacaan surat
dalam dua rakaat terakhir. Manakala menurut lainnya tidaklah diutamakan.
Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama supaya sembahyangnya tidak
kosong dari surat.
Wallahua’lam.
Ini hukum imam dan orang yang sembahyang sendiri. Sementara
makmum, maka jika sembahyangnya pelan bacaannya, wajiblah dia membaca
Al-Fatihah dan diutamakan baginya membaca surat.
Jika sembahyang itu bacaannya keras, sedang dia mendengar bacaan imam, tidaklah
disukai baginya membaca surat.
Adapun
tentang kewajiban membaca Al-Fatihah ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat
(sahih) adalah wajib dan pendapat kedua tidak wajib. Jika tidak mendengar
bacaan imam, maka yang sahih adalah wajib membaca Al-Fatihah dan diutamakan
membaca surat.
Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat wajib membaca Al-Fatihah da
tidak sunah membaca Surat.
Wallahua’lam.
Wajib membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dari sembahyang
jenazah. Manakala membaca Al-Fatihah dalam sembahyang nafilah, maka mesti
dilakukan. Para sahabat kami berlainan
pendapat berkenaan dengan penanamannya dalam sembahyang. Al-Qaffal berkata, dia
dinamakan kewajiban. Kawannya Qadhi Husain berkata, dia dinamakan syarat.
Orang lainnya berkata, dia dinamakan rukun dan itulah yang
benar. Wallahua’lam.
Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam semua ini maka
hendaklah dia menggantinya dengan membaca ayat-ayat yang setara dengannya dari Al-Qur’an.
Jika tidak mempu membaca sesuatu, dia berdiri sekedar lamanya bacaan Al-Fatihah
kemudian rukuk. Wallahua’lam.
Masalah ke-59:
Tidaklah
mengapa jika menggabungkan dua surat
dalam satu rakaat. Mengikut riwayat yang terdapat di dalam shahihain (Bukhari
dan Muslim) dari hadits Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Aku telah mengetahui
surat-surat dimana pernah Rasulullah saw menggabungkannya. Dia menyebut dua
puluh surat
dari Al-Mufashshal, setiap dua surat
dalam rakaat. Telah kami kemukakan dari jamaah Salaf pembacaan berkhatam dalam
satu rakaat.
Masalah ke-60:
Para
Ulam muslim sependapat atas sunahnya membaca dengan suara kuat dalam sembahyang
Subuh, Jumaat, dua hari raya dan dua rakaat dari sembahyang Maghrib dan Isyak,
sembahyang Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah mustahab bagi imam dan
orang yang sembahyang sendirian. Sementara makmum, maka ia tidak menguatkan
suaranya sesuai dengan ijmak. Sunah membaca dengan suara kuat dalam sembahyang
gerhana bulan dan tidak membaca dengan keras dalam sembahyang gerhana Matahari,
membaca dengan keras dalam sembahyang Istisqa’ (minta hujan) dan tidak membaca
dengan suara kuat dalam sembahyang jenazah, jika sembahyangnya berlangsung pada
waktu siang, demikian jugalah di malam hari menurut madzhab yang sahih dan
terpilih.
Tidak membaca dengan suara kuat dalam sembahyang nawafil siang
hari kecuali sembahyang Hari Raya dan Istisqa’. Para
sahabat kami berlainan pendapat berkenaan dengan sembahyang nawafil(sunah) di
malam hari. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak membaca dengan suara kuat.
Pendapat kedua membaca dengan suara kuat. Pendapt ketiga, yaitu yang lebih
sahih dan didukung bersama oleh Al-Qadhi Husain dan Al-Baghawi ialah membaca
antara kuat dan pelan.
Sekiranya
tertinggal sembahyang pada waktu malam, kemudian dia mengqadhanya pada waktu
siang atau tertinggal pada waktu siang dan mengqadahnya di malam hari, sama
saja dikira dalam bacaan kuat dan bacaan pelan waktu yang tertinggal itu
ataukah waktu qadha?
Berkenaan
dengan perkara tersebut ada dua pendapat dari pada sahabat kami. Pendapat yang
lebih tepat adalah dikira waktu qadha.
Sekiranya
membaca dengan kuat di tempat bacaan pelan atau membaca dengan pelan di tempat
bacaan kuat, maka sembahyangnya sah, tetapi melakukan perbuatan yang makruh dan
tidak sujud karena lupa.
Ingatlah
bahwa bersuara pelan dalam mereka membaca Al-Qur’an, takbir dan dzikir-dzikir lainnya
adalah dengan mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya dan mesti
diucapkan kalau pendengarannya sehat dan tidak ada penghalangnya. Jika dirinya
tidak mendengar bacaannya, maka tidak sah bacaannya ataupun dzikir-dzikir lainnya
tanpa ada perselisihan.
Masalah ke-61:
Para sahabat
kami berkata, disunahkan bagi imam dalam sembahyang yang kuat bacaannya agar
diam empat kali dalam keadaan berdiri.
1. Diam sesudah takbiratul ihram untuk
membaca doa tawajjuh dan para makmum membaca takbir.
2. Sesudah Al-Fatihah diam sebentar saja antara akhir Al-Fatihah
dan uacapanm Aamiin supaya tidak timbul sangkaan bahwa Aamiin termasuk
Al-Fatihah.
3. Diam lama setelah mengucapkan Aamiin.
4. Setelah membaca surat
untuk memisahkan dengannya antara pembacaan surat dan takbir untuk melakukan rukuk.
Masalah ke-62:
Disunahkan
bagi setiap pembaca, sama saja dalam sembahyang atau di luar sembahyang, jika
selesai membaca Al-Fatihah agar menguacapkan Aamiin. Hadits-hadits berkenaan
dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Telah kami kemukakan dalam bab
sebelumnya bahwa disunahkan memisahkan antara akhir Al-Fatihah dan ucapan
Aamiin dengan diam sebentat. Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah. Tidak
dinafikan memang ada orang yang berpendapat, “Demikianlah, maka jadilah.”
Ada orang yang berpendapat, lakukanlah. Ada orang yang berpendapat artinya tidak ada
seorangpun yang dapat melakukan ini selain Engkau.
Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat artinya “Jangan
sia-siakan harapan kami.” Ada
orang yang berpendapat, artinya adalah “Ya Allah, selamatkanlah kami dengan
kebaikan.” Ada
orang yang berpendapat, ia pelindung dari Allah swt untuk hamba-hamba-Nya
dengan menolak berbagai bencana dari mereka. Ada orang yang berpendapat, ia adalah derajat
di Syurga yang dianugerahkan kepada siapa yang mengucapkannya. Ada orang yang berpendapat, ia adalah salah
satu nama Allah swt Para pengkaji menolak
pendapat ini. Ada
orang yang berpendapat, ia adalah nama Ibrani yang tidak diarabkan. Abu Bakar
Al-Warraq berkata, ia adalah kekuatan untuk berdoa dan permintaan turunnya
rahmat. Ad orang yang berpendapt selain itu.
Terdapat beberapa cara mengucapkan Aamiin. Para
ulama berkata, yang paling fasih adalah Aamiin dengan memanjangkan Hamzah dan
meringankan mim, cara kedua dengan memendekkannya. Kedua pendapat ini mansyur.
Cara ketiga dengan imaalah diserta mad. Al-Wahidi menceritakan hal itu dari
Hamzah dan Al-Kisaa’i. Cara keempat dengan tasydid pada mim disertai mad.
Al-Wahidi menceritakannya dari Al-Hasan dan Al-Husain bin Al-Fudhail.
Katanya: itu ditegaskan oleh apa yang diriwayatkan dari Jaafar
Ash-Shidiq ra, katanya: Artinya adalah kami menuju kepada-Mu sedang Engkau Maha
Pemurah hingga tidak menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini pendapat Al-Wahidi.
Cara keempat ini asing sekali. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai
kesalahan ucapan dari golongan orang awam.
Sebagian dari sahabat kami berpendapat, barangsiapa mengucapkan
cara keempat, batallah sembahyangnya. Ahli bahasa Arab berkata, haknya dalam
bahasa Arab adalah waqaf (berhenti) karena kedudukannya seperti suara. Jika
disambung, huruf nuun diberi harakat fathah karena adanya pertemuan dua sukun
sebagaimana dia diberi harakat fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak diberi
harakat kasrah karena beratnya bacaan kasrah sesudah ya’. Inilah penjelasan
yang berkaitan dengan lafaz Aamiin.
Saya telah menjelaskan hal itu dengan banyak bukti dan pendapat
tambahan dalam kitab Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat.
Para ulama berkata, diutamakan
mengucapkan Aamiin dalam sembahyang bagi imam, makmum dan orang yang sembahyang
sendirian. Imam dan orang yang sembahyang sendirian membaca Aamiin dengan suara
kuat dalam sembahyang yang jahar bacaannya. Mereka berlainan pendapat berkenaan
dengan bacaan kuat oleh makmum. Pendapat yang sahih ialah membaca dengan suara
kuat. Pendapat kedua tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat ketiga membaca
dengan suara kuat jika banyak jumlahnya.
Kalau tidak banyak, maka tidak membaca dengan kuat. Ucapan Aamiin oleh makmum
bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya
sesuai dengan sabda Nabi saw dalam hadits sahih:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Jika imam mengucapkan ‘Wa ladhdhaalliin,’ ucapkanlah ‘Aamiin’ karena
barangsiapa yang ucapan ‘Aamiin’nya bertepatan dengan ucapan ‘Aamiin’ para
malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu.”
Manakala sabda Nabi saw dalam hadits sahih: “Jika imam
mangucapkan Aamiin, maka ucapkanlah Aamiin.” Artinya ialah apabila ingin
mengucapkan Aamiin.
Para sahabat kami berkata,
tidak ada dalam sembahyang suatu tempat yang diutamakan agar ucapan makmum
bersamaan dengan ucapan imam, kecuali dalam ucapan Aamiin. Sementara dalam
ucapan-ucapan lainnya, maka ucapan makmum datang kemudian setelah imam.
Masalah ke-63:
Sujud
Tilawah. Para ulama sependapat atas perintah
melakukan Sujud Tilawah. Mereka berlainan pendapat sama saja perintah itu
merupakan sunah atau wajib?
Mayoritas ulama mengatakan, tidak wajib, tetapi mustahab (sunah).
Ini pendapat Umar Ibnu Al-Khattab ra, Ibnu Abbas, Imran bin Hushairi, Malik,
Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tahur, Dawud dan lainnya.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, hukumnya wajib. Dia berhujah
dengan firman Allah swt:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka,
mereka tidak bersujud.”
(QS Al-Insyiqaaq 84:20-21)
Mayoritas ulam berhujah dengan hadsi sahih dari Umar Ibnu
Al-Khattab ra, “Bahwa dia membaca di atas mimbar pada hari Jumaat surat An-Naml hingga
sampai ayat sajadah, dia turun kemudian sujud dan orang lain pun sujud.
Sehingga pada hari Jumaat berikutnya dia membacanya hingga tiba pada ayat
sajadah, katanya: ‘Wahai para manusia. Sesungguhnya kita melalui tempat sujud,
maka barangsiapa yang sujud, dia telah melakukan sesuatu yang benar. Dan siapa
yang tidak sujud, dia tidak berdosa,’ dan Umar tidak sujud.”
(Riwayat
Bukhari)
Perbuatan
dan perkataan Umar ra di majelis ini adalah dalil yang jelas.
Sementara
jawaban terhadap ayat yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah ra adalah jelas
karena yang dimaksud adalah mencela mereka yang meninggalkan sujud sebagai
ungkapan pendustaan, sebagaimana firman Allah swt sesudahnya:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “Bahkan
orang-orang kafir itu mendustakan (nya)”
(QS Al-Insyiqaaq 84:22)
Diriwayatkan dalam Shahihain dari Zaid bin Thabit ra. “bahwa dia
membca di hadapan Nabi saw. ‘Wa-Najmi’ dan beliau tidak sujud.”
Diriwayatkan dalam Shahihain “bahwa Nabi saw sujud ketika
membaca surat
An-Najm.” Maka semua itu menunjukkan bahwa Sujud Tilawah tidak wajib.
Masalah ke-64:
Penjelasan
tentang jumlah Sujud Tilawah dan tempatnya. Manakala jumlahnya sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah danm mayoritas ulama adalah 14
sajadah, yaitu: Surat Al-A’raaf, Ar-Ra’ad, An-Nahl. Al-Israa’, Maryam, dalam
surat Al-Hajj ada dua sujud, Al-Furqan, An-Naml, Alif Laam Tanziil, Haa Mim
As-Sajadah, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.
Sementara
sajadah dalam surat
Shaad, maka hukumnya mustahab dan tidak ditekankan untuk melakukan sujud.
Diriwayatkan dalah Shahih Muslim dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Sajadah dalam surat Shaad bukanlah
sujud yang ditekankan dan aku telah melihat Nabi saw sujud pada ayat itu. “Ini
adalah madzhab Asy’Asy-Syafi’i dan orang yang berpendapat seperti dia.
Abu
Hanifah berkata, jumlahnya ada 14 sajadah, tetapi dia menggugurkan sajadah
kedua surat
Al-Hajj dan menetapkan sajadah dalam surat
Shaad serta menjadikannya sebagai sajadah yang diharuskan sujud. Diriwayatkan
dari Ahmad ada dua riwayat. Yang satu seperti Asy’Asy-Syafi’i dan yang kedua
ada 15 sajadah dengan tambahan dalam surat
Shaad. Ini adalah pendapat Abul Abbas bin Syuraih dan Abu Ishaq Al-Marzuki dari
pengikut Asy-Syafi’i dan paling terkenal dari keduannya adalah 11 sajadah. Dia
menggugurkan sajadah dalam surat
An-Najm, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.
Ini adalh pendapat lama dari Asy-Syafi’i dan yang sahih adalah
apa yang kami kemukakan. Hadits-hadits yang sahih menunjukkan hal itu. Manakala
tempat Sujud Tilawah terdapat pada:
1. Akhir Surat Al-A’raf:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang disisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan
menyembah Allah swt dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka
bersujud.”
(QS Al-A’raf 7:206)
2. Dalam surat
Ar-Ra’d ialah sesudah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“… pada waktu pagi dan petang hari.”
(QS Ar-Ra’d 13:15)
3. Dalam surat
An-Nahl:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“…dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
(QS An-Nahl 16:50)
4. Dalam Al-Israa’:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“… dan mereka bertambah khusyuk.”
(QS Al-Israa’ 17:109)
5. Dalam Surat Maryam:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“… maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangsis.”
(QS Maryam 19:58)
6. Sajadah pertama dari surat
Al-Hajj ialah:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“…Sesungguhnya Allah swt berbuat apa yang dia kehendaki.”
(QS Al-Hajj 22: 18)
7. Sajadah kedua dalam surat
Al-Hajj:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“…berbutlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.”
(QS Al-Hajj 22:77)
8. Dalam surat
Al-Furqan:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“…dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh dari (iman).”
(QS Al-Furqan 25:60)
9. Dalam surat
An-Naml:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:“… Tuhan Yang Mempunyai ‘Arasy yang agung.”
(QS An-Naml 27:26)
10. Dalam surat Alif Laam Mim Berita:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “… sedang mereka tidak menyombongkan diri.”
(QS As-Sajadah 32: 5)
11. Dalam Surat
Haa Mim:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “…sedang mereka tidak merasa jemu.”
(QS Fushshilat 41:15)
12. Akhir surat
An-Najm:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Maka bersujudlah kepada Allah swt dan sembahlah (Dia).”
(QS An-Najm 53:62)
13. Dalam surat
Al-Insyiqaaq:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “… mereka tidak sujud.”
(QS Al-Insyiqaaq 84:21)
14. Dan bacalah di akhir surat
Al-‘Alaq (QS ke-19)
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan
dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al-‘Alaq 96:19)
Tidak ada perselisihan yang berarti berkenaan dengan suatu
tempatnya, kecuali berkenaan dengan sajadah yang terdapat dalam surat Haa Mim. Dalam
masalah ini para ulama berbeda pendapat. Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya
berpendapat bahwa tempatnya adalah apa yang kami sebutkan, yaitu sesudah
yas-amuuna. Ini adalah madzhab Said Ibnu Musayyab, Muhammad bin Sirin, Abu
Waail Syaqiq bin Salamah, Sufyan Ath-Thauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin
Rahaqaih. Orang lainnya berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah swt In
Kuntum iyyaahu ta’ buduun (QS Fushshilat: 37).
Ibny Nundzir menceritakannya dari Umar Ibnul Khattab, Hasan
Al-Bashri dan para pengikut Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’I, Abu
Shahih, Thalhah bin Masharif, Zubaid Ibnul Harith, Malik bin Anas dan Al-Laith
bin Sa’ad. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, Al-Baghawi
menceritakannya dalam At-Tahdziib.
Semenatara pendapat Abul Hasan Ali bin Said Al-Abdi salah
seorang sahabat kami dalam kitabnya Al-Kifayah berkenaan dengan perselisihan
fuqaha di kalangan kami, bahwa sajadah dalam surat An-Naml ayat 25, adalah pada
firman Allah swt, Wa ya’lamu maayukhfuuna wamaa yu’linuun, berkata bahwa
iniadalah madzhab sebagian besar fuqaha.
Malik berkata, bahwa sajadah itu pda firman Allah swt, Rabbul
‘arsyil ‘azhiim (QS An-Naml: 26)
Pendapat ini yang dipetik dari madzhab kami dan madzhab sebagian
besar fuqaha yang tidak dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan
yang nyata. Inilah kitab-kitab para sahabat kami yang menegaskan bahwa sajadah
itu pada firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘Azhiim.
Masalah ke-65:
Hukum
Sujud Tilawah sama dengan hukum sembahyang, nafilah dalam pensyaratan suci dari
hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka haram Sujud Tilawah
pada orang yang di badan atau bajunya terdapat najis yang tidak dapat
dimaafkan. Dan haram atas orang yang berhadas, kecuali jika dia bertayamum di
suatu tempat yang diharuskan bertayamum.
Diharamkan
pula menghadap selain kiblat, kecuali dalam perjalanan di mana bisa menghadap
selain kiblat dalam sembahyang nafilah. Semua ini disetujui oleh para ulama.
Masalah ke-66:
Jika
membaca sajadah (dalam Surat Shaad), orang yang berpendapat bahwa dalam surat
itu merupakan ketentuan tempatnya Sujud Tilawah, maka dia berkata, bisa sujud
sama saja ketika dia membacanya di dalam sembahyang atau di luarnya sebagaimana
sajadah-sajadah lainnya. Manakala Asy-Syafi’i dan lainnya berpendapat bahwa
pada tempat itu tidak termasuk tempat tujuan Sujud Tilawah, maka mereka
berkata, apabila membacanya di luar sembahyang, diutamakan baginya sujud karena
Nabi saw sujud pada tempat itu sebagaimana kami kemukakan.
Jika
membacanya dalam sembahyang, dia tidak sujud. Jika sujud, sedang dia tidak tahu
atau lupa, tidaklah batal sembahyangnya, tetapi dia lakukan sujud Sahwi. Jika
dia mengetahui, maka pendapat yang shahih adalah batal sembahyangnya karena dia
menambah dalam sembahyang sesuatu yang bukan termasuk dari sembahyang, maka batallah
sembahyangnya. Sebagaimana jika dia lakukan sujud syukur, maka sujud itu
membatalkan sembahyangnya tanpa ada perselisihan.
Pendapat
kedua adalah tidak batal karena berkaitan dengan sembahyang. Sekiranya imamnya
sujud pada sajadah dalam surat
Shaad karena dia meyakininya termasuk sajadah yang ditekankan untuk sujud
sedang makmum tidak menyakininya, maka dia tidak mengikuti imam, tetapi
memsisahkan diri daripadanya atau menunggunya sambil berdiri. Jika menunggunya,
apakah makmum itu melakukan sujud Sahwi? Berkenaan dengan perkara tersebut ada
dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak sujud.
Masalah ke-67:
Berkenaan
dengan orang yang disunahkan untuk Sujud Tilawah. Ingatlah bahwa disunahkan
melakukan Sujud Tilawah bagi pembaca Al-Qur’an yang bersuci dengan air atau
tanah, sama saja dalam sembahyang atau di luarnya. Disunahkan pula bagi orang
yang mendengar dan orang yang mendengar tanpa sengaja. Bagaimanapun Imam Asy-Syafi’i
berkata, bahwa saya tidak menekankan ke atasnya sebagaimana saya tekankan bagi
orang yang mendengar. Inilah pendapat yang shahih.
Imamul Haramain sahabat kami berkata, bahwa orang yang mendengar
tidak perlu sujud. Pendapat yang mansyur adalah pendapat pertama. Tiada bedanya
sama saja pembacanya dalam sembahyang atau di luar sembahyang disunahkan bagi
orang yang mendengar ataupun yang mendengar untuk sujud. Sama saja pembacanya
sujud atau tidak. Inilah pendapat yang shahih dan mansyur menurut para sahabat Asy-Syafi’i,
Abu Hanifah juga menyatakan demikian. Sahibul Bayaan dari Ash-Habusy Asy-Syafi’i
menyatakan, bahwa orang yang mendengar bacaan orang yang membaca di dalam
sembahyang, tidak perlu sujud.
Ash-Shaidalani
sahabat Asy-Syafi’i berkata, bahwa tidak disunahkan sujud, kecuali jika
pembacanya sujud. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Tidak ada
bedanya sama saja pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan
bersuci atau sorang kafir atau anak kecil atau berhadas atau seorang perempuan.
Ini adalah pendapat yang sahih menurut pendapat kami dan Abu Hanifah juga
berkata demikian.
Sebagian
sahabat kami berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang kafir, anak
kecil, orang yang berhadas dan orang yang mabuk. Sejumlah ulama Salaf berkata,
bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang perempuan. Ibnul Munzir
menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq. Pendapat yang lebih benar adalah
apa yang kami kemukakan.
Masalah ke-68:
Tentang
meringkas sujud Tilawah. Yang dimaksud adalah membaca satu atau dua ayat,
kemudian sujud. Ibnul Mundzir menceritakan dari Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri,
Muhammad bin Sirin, An-Nakha’I, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal
itu. Diriwayatkan daripada Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Thsaur bahwa
hal itu tidak ada masalah denganya dan ini sesuai dengan madzhab kami.
Masalah ke-69:
Jika
sembahyang sendirian, dia bisa sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya
dia meninggalkan Sujud Tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah
sesudahnya, maka tidak bisa. Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk tetapi
belum sampai ke batas rukuk, maka bisa melakukan Sujud Tilawah. Jika dia
lakukan dengan mengetahuinya, batallah sembahyangnya. Jika dia sudah merebahkan
dirinya untuk sujud Tilawah, kemudian teringat dan berdiri semula, maka hal itu
bisa.
Sementara
jika orang yang sembahyang sendirian mendengar bacaan seorang pembaca dalam
sembahyang atau lainnya, maka dia tidak bisa sujud karena mendengarnya. Jika dia
sujud dengan mengetahui, batallah sembahyangnya.
Manakala
orang yang sembahyang berjamaah, apabila dai sebagai imam, maka dia seprti
orang yang sembahyang sendirian. Jika Imam Sujud Tilawah karena bacaannya
sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya, batallah
sembahyangnya, Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak bisa sujud. Jika makmum
sujud, batallah sembahyangnya. Bagaimanapun diutamakan baginya untuk sujud jika
selesai sembahyang dan tidak ditekankan.
Sekiranya
imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari
sujud, maka dia dimaafkan atas ketertinggalannya dan dia tidak bisa sujud.
Sekiranya dia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, wajiblah dia sujud.
Sekiranya dia rebahkan diri untuk sujud, kemudian imam mengangkat kepalanya
ketika dia sedang bergerak untuk sujud, maka dia mesti berdiri semula
bersamanya dan tidak bisa sujud.
Demikian
orang lemah yang merebahkan untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari
sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya
imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka dia kembali bersamanya dan tidak
bisa meneruskan sujud.
Sementara jika orang yang sembahyang itu sebagai makmum, maka
dia tidak bisa sujud karena bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain
imamnya. Jika dia sujud, batallah sembahyangnya. Dan makruh baginya membaca
ayat sajadah dan mendengar pada bacaan selain imamnya.
Masalah ke-70:
Waktu
sujud Tilawah. Para Ulama berkata, bahwa sujud Tilawah itu mesti dilakukan
sesudah ayat sajadah yang dibaca atau didengarnya. Jika dia tangguhkan dan
tidak lama selang waktunya, dia bisa sujud. Jika lama selang waktunya, maka
telah berlalu waktu sujudnya dan tidak perlu mengqadha menurut madzhab yang
sahih dan masyhur, sebagaimana sembahyang gerhana matahari tidak bisa di qadha.
Salah seorang sahabat kami berkata, bahwa ada pendapat lemah yang mengatakan
bahwa sujud itu bisa di qadha sebagaimana mengqadha sunah-sunah rawatib,
seperti sunah Subuh, Zuhur dan lainnya.
Kalau pembaca atau pendengarnya berhadas ketika membaca sajadah,
kemudian bersuci dalam waktu yang tidak lama, dia bisa sujud. Jika bersucinya
terlambat hingga lama selang waktunya, maka pendapat yang sahih dan terpilih
yang ditetapkan oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.
Ada
orang yang berpendapat bahwa dia bisa sujud. Ini adalah pilihan Al-Baghawi
sahabat kami. Dia pun bisa menjawab muadzin (orang yang azan) setelah selesai
sembahyang. Hal yang dikira berkenaan dengan lamanya selang waktu dalam hal ini
adalah menurut kebiasaan sebagai madzhab terpilih. Wallahua’lam.
Masalah ke-71:
Jika
seluruh ayat sajadah atau beberapa sajadah dibaca dalam suatu majelis, maka dia
sujud pada setiap sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulangi bacaan
satu ayat dalam beberapa majelis, maka dia sujud untuk setiap kali sajadah
tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulanginya dalam satu majelis, maka ada
beberapa pandangan. Jika tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya
sekali sujud untuk semuanya. Jika dia sujud untuk kali yang pertama, maka ada
tiga pendapat berkenaan dengan puasaerkara tersebut. cara yang lebih sahih
adalah sujud sekali untuk setiap bacaan karena adanya sebab baru setelah
memenuhi hukum yang pertama.
Pendapat kedua, cukuplah baginya sujud setelah bacaan pertama
untuk semuanya. Ini adalah pendapat Ibnu Surajj dan MerekaAzhab Abu Hanifah
rahimahullah. Penulis Al-‘Uddah sahabat kami berkata, inilah yang difatwakan.
Asy-Syeikh Nashr Al-Maqdisi Az-Zaahid sahabat kami memilih pendapat ini.
Pendapat
ketiga, jika selang waktunya berlangsung lama, dia bisa sujud. Kalau tidak,
cukuplah baginya sujud karena sajadah
yang pertama. Jika satu ayat dibaca berulang-ulang dalam sembahyang dan kalau
hal itu dilakukan dalam satu rakaat, maka seperti satu majelis. Kalau
berlangsung dalam dua rakaat, maka dia seperti dua majelis hingga dia ulangi
sujudnya tanpa ada perselisihan.
Masalah ke-72:
Jika
membaca sajadah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, dia bisa sujud
dangan memberi isyarat. Ini adalah madzhab kami, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya. Seorang sahabat Abu Hanifah
berkata dia, tidak perlu sujud. Pendapat yang lebih banar adalah madzhab
mayoritas ulama. Manakala orang yang menaiki kendaraan di tempat menetap, maka
dia tidak bisa sujud dengn memberi isyarat.
Masalah ke-73:
Jika
dia membaca ayat sajadah dalam sembahyang sebelum Al-Fatihah, maka dia bisa
sujud. Lain halnya jia dia membaca dalam rukuk atau sujud, maka dia tidak bisa
sujud. Karena berarti adalah tempat membaca. Sekiranya dia membaca sajadah,
kemudian merebahkan diri untuk sujud, kemudian dia ragu sama saja membaca
Al-Fatihah atau belum, maka dia bisa sujud untuk tilawah. Kemudian dia berdiri
lagi dan membaca Al-fatihah karena Sujud Tilawah tidak bisa ditangguhkan.
Masalah ke-74:
Jika
seseorang membaca sajadah dengan bahasa Parsi, maka menurut pendapat kami tidak
perlu sujud, sebagaimana jika ayat sajadah itu ditafsirkan. Namun Abu Hanifah
berpendapat bisa sujud.
Masalah ke-75:
Jika
orang yang mendengar ayat sajadah itu sujud bersama pembaca, dia tidak terikat
dengannya dan tidak berniat mengikutinya dan dia bisa bangkit dari sujud
sebelumnya.
Masalah ke-76:
Tidaklah
makruh pembacaan ayat sajadah oleh imam, menurut pendapat kami, sama saja dalam
sembahyang yang pelan bacaannya atau dalam sembahyang yang jahar bacaannya dan
dia bisa sujud jika membacanya.
Dalam hal ini Imam Malik berpendapat, bahwa sujud tidak disukai
sama sekali. Abu Hanifah berpendapat, Makruh sujud Tilawah dalam sembahyang
yang pelan bacaannya, bukan sembahyang yang jahar bacaannya.
Masalah ke-77:
Menurut
pendapat kami tidak makruh Sujud Tilawah dalam waktu-waktu yang dilarang
sembahyang. Ini juga merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Salim bin
Abdullah, Al-Qasim, Atha’, Ikrimah, Abu Hanifah, Ashabur Ra’yi dan Malik dalam
salah satu dari dua riwayat. Sejumlah ulama tidak menyukai hal itu. Diantara
mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’id, Ibnul Musayyab dan Malik dalam riwayat
lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Thaur.
Masalah ke-78:
Rukuk tidak bisa
manggantikan kedudukan sujud Tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini mazhab kami dan
madzhab mayoritas Ulama Salaf dan Kalaf. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat,
rukuk bisa menggantikannya. Dalil yang dipakai oleh mayoritas adalah
mengkiaskannya dengan sujud dalam sembahyang. Sementara orang yang tidak
sanggup sujud, maka dia memberi isyarat untuk Sujud Tilawah sebagaimana dia
memberi isyarat untuk sujud dalam sembahyang.
Masalah ke-79:
Tentang
sifat sujud. Ingatlah bahwa orang yang melakukan sujud Tilawah mempunyai dua
keadaan. Yang pertama, di luar sembahyang dan yang kedua di dalam sembahyang.
Manakala
keadaan pertama, maka jika dia ingin sujud, dia niatkan Sujud Tilawah dan
melakukan takbiratul ihram dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua
bahunya sebagaimana dia melakukan takbiratul ihram untuk sembahyang. Kemudian
dia takbir lagi untuk Sujud Tilawah tanpa mengangkat tangan. Takbir yang kedua
ini mustahab, bukan syarat, seperti takbir sujud untuk sembahyang. Sementara
takbir yang pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari
sahabat-sahabat kami.
Pendapat
pertama adalah yang paling tepat yaitu pendapat sebagian besar dari mereka,
bahwa takbir yang pertama (takbiratul ihram) merupakan rukun dan tidak sah
sujud Tilawah kecuali dengannya.
Pendapat
kedua adalah mustahab. Sekiranya takbir itu ditinggalkan sujudnya tetap sah. Ia
adalah pendapat Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini.
Pendapat ketiga tidak mustahab. Wallahua’lam.
Kemudian, jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan berdiri,
dia pun mengucapkan takbiratul ihram, kemudian takbir untuk sujud ketika
merebahkan diri ke tempat sujud. Jika dalam keadaan duduk, maka jamaah daripada sahabat kami berpendapat: Disunahkan
baginya berdiri, kemudian takbiratul Ihram dalam keadaan berdiri kemudian
merebahkan diri untuk sujud, sebagaimana halnya ketika permulaan dalam keadaan
berdiri.
Dalil pendapat ini adalah mengkiaskan takbiratul ihram dan sujud
dalam sembahyang. Orang yang menetapkan ini antara lain imam-imam sahabat kami
Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan AlQadhi Husain dan kedua sahabatnya ini
adalah penulis At-Titimmah dan At-Tahdzib dan Imam Al-Muhaqiq Abul Qasim
Ar-Rafi’i. Imamul Haramainmenceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh Abu Muhammad.
Kemudian
dia mengingkarinya dan berkata, saya tidak melihat dasar dikemukakannya alasan
perkara ini. Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramainini adalah benar. Tidak ada
riwayat yang sahih berkenaan dengan hal ini dari pada Nabi saw dan tidak pula
dari ulama Salaf yang bisa dibuat sandaran. Mayoritas dari sahabat kami tidak
ada yang menyebutnya. Wallahua’lam.
Kemudian
ketika sujud dia mesti memperhatikan adab-adab sujud dalam bentuk (haiah) dan
tasbihnya. Manakala berkenaan dengan haiahnya, maka dia letakkan kedua
tangannya setakat kedua bahunya di atas tanah dan merapatkan jari-jemarinya
serta membentangkannya ke arah kiblat dan membentangkan jari-jemarinya dari
genggaman sebagaimana orang yang melakukan sujud dalam sembahyang. Dia jauhkan
kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya
kalau seorang lelaki. Jika dia seorang perempuan, maka dia tidak menjauhkannya.
Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan
dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat sembahyang) dan tenang dalam
sujudnya.
Sementara tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami
berpendapat, dia bertasbih seperti bertasbih dalam sujud sembahyang. Dia
ucapkan tiga kali Subhana Rabbiyal A’la tiga kali.
Kemudian dia ucapkan:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, kapada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku
berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk
rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya.
Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”
Dan
dia ucapkan Subbuhun Qudduusun Rabbul malaaikati warruuh.
Semia
ini diucapkan orang yang sembahyang dalam sujudnya ketika sembahyang. Para sahabat kami juga berkata, diutamakan mengucapkan:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisi-Mua dan jadikanlah
dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku dan terimalah dia
dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud as.”
Doa
ini khusus bagi sujud ini (Sujud Tilawah), maka patutlah dia selalu dibaca.
Al-Uatad
Isma’il Adh-Dharir berkata dalam kitabnya At-Tafsir bahwa pilihan Asy-Syafi’i
ra dalam doa sujud Tilawah adalah mengucapkan:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.”
(QS Al-Isra’ 17:108)
Petikan dari Asy-Syafi’i ini aneh sekali dan ia adalah baik.
Karena zahir Al-Qur’an menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh pelakunya.
Maka disunahkan menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya dan berdoa
berkenaan dengan urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya. Jika dia
batasi pada sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya. Sekiranya tidak
bertasbih dengan sesuatu apa pun, tercapailah sujudnya seperti halnya sujud
dalam sembahyang.
Kemudian ketika selesai dari bertasbih dan berdoa, dia angkat
kepalanya sambil bertakbir.
Apakah Sujud Tilwah memerlukan salam? Terdapat dua pendapat yang
masyhur dari Asy-Syafi’i. Cara yang lebih sahih dari keduanya menurut mayoritas
sahabatnya ialah dia memerlukan salam karena memerlukan takbiratul ihram dan
menjadi seperti sembahyang jenazah. Di didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dawud
dengan isnadnya yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa apabila membaca
ayat sajadah, dia pun sujud, kemudian memberi salam.
Pendapat kedua, tidak memerlukan salam seperti Sujud Tilawah
dalam sembahyang karena hal itu tidak dinukil dari pada Nabi saw.
Berdasarkan
pendapat pertama, apakah dia memerlukan tasyahud? Terdapat dua pendapat
berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih sahih dari keduanya ialah
tidak perlu tasyahud, sebagaimana tidak perlu berdiri.
Salah seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah dan
berkata, berkenaan dengan tasyahud dan salam ada tiga pendapat:
1. Pendapat yang lebih sahih ialah mesti memberi salam tanpa
membaca tasyahud.
2. Pendapat kedua, dia tidak memerlukan salah satu dari keduanya.
3. Dan pendapat ketiga ialah mesti melakukan keduanya.
Mereka yang berpendapat harus memberi salam, antara lain
Muhammad bin Sirin, Abu Abdurrahman As-Salami, Abul Ahwash, Abu Qalabah dan
Ishaq bin Rahawain.
Mereka yang berpendapat tidak perlu memberi salam, antara lain
Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’I, Yahya bin Wathab dan Ahmad.
Semua ini dalam keadaan pertama, yaitu sujud di luar sembahyang. Keadaan kedua,
yaitu melakukan Sujud Tilawah dalam sembahyang, maka dia tidak perlu
mengucapkan takbiratul ihram dan diutamakan bertakbir untuk sujud dan tidak
mengangkat kedua tangannya serta bertakbir untuk bangkit dari sujud. Inilah
pendapat yang sahih dan masyhur yang didukung bersama oleh mayoritas ulama.
Abu Ali bin Abu Huarirah salah seorang sahabat kami berkata, dia
tidak perlu bertakbir untuk sujud ataupun untuk bangkit dari sujud. Pendapat
yang terkenal adalah pendapat pertama.
Manakala adab-adab dalam haiah dan tasbih dalam Sujud Tilawah
adalah seperti dalam sikap sujud yang lalu di luar sembahyang. Kecuali jika
orang yang sujud itu menjadi imam, maka hendaklah dia tidak memanjangkan
tasbih, kecuali jika dia tahu dari keadaan para makmuk bahwa mereka lebih suka
memanjangkannya.
Kemudian, ketika bangkit dari sujud, dia berdiri dan tidak duduk
untuk diam sejenak tanpa ada perselisihan. Ini adalah masalah yang aneh dan
jarang orang menyebutnya. Di antara yang menyebutnya adalah Al_Qadhi Husain,
Al-Baghawi dan Ar-Rafi’i. Ini berlainan dengan sujud sembahyang.
Pendapat yang sahih dan
disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan terpilih yang tercatat dalam hadits-hadits
sahih riwayat Bukhari dan lainnya adalah anjuran untuk duduk istirahat sesudah
sujud yang kedua dari rakaat pertama dalam setiap sembahyang dan pada rakaat
ketiga dalam sembahyang yang rakaatnya empat.
Kemudian, apabila bangkit
dari Sujud Tilawah, maka harus berdiri tegak. Disunahkan ketika berdiri tegak
adalah membaca sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak, kemudian rukuk
tanpa membaca sesuatu, maka hukumnya bisa.
Masalah ke-80:
Waktu-waktu
terpilih membaca Al-Qur’an. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an yang paling baik adalah
di dalam sembahyang. Manurut madzhab Asy-Syafi’i dan lainnya, bahwa berdiri
lama dalam sembahyang lebih baik daripada sujud yang lama.
Sementara membaca Al-Qur’an di luar sembahyang, maka yang paling
utama adalah pada waktu malam dan dalam separuh terakhir dari waktu malam lebih
baik daripada separuh pertama. Membacanya di antara Maghrib dan Isyak disukai.
Manakala pembacaan pada waktu siang, maka yang paling utama adalah setelah
sembahyang Subuh dan tidak ada makruhnya membaca Al-Qur’an pada waktu-waktu
yang mengandung makan.
Sementara yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mu’adz bin
Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka tidak suka membaca Al-Qur’an sesudah
Ashar. Waktu itu adalah waktu orang Yahudi belajar. Riwayat itu tidak bisa
diterima dan tidak ada dasarnya.
Hari-hari yang terpilih ialah Jumaat, Senin, Kamis dan hari Arafah,
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari bulan
Dzulhijjah; sedang bulan yang paling utama dalah bulan Ramadhan.
Masalah ke-81:
Jika
pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah
dicapainya, maka bertanyalah kepada orang lain. Patutlah dia mengacu dengan apa
yang diriwayatkan daripada Abdullah Abu Mas’ud, Ibrahium An-Nakha’I dan Basyir
bin Abu Mas’ud ra. Mereka berkata, apabila seseorang dari kamu bertanya kepada
saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah dia membaca ayat yang sebelumnya,
kemudian diam dan tidak mengatakan bagaimana bisa begini dan begini, hal itu
akan mengelirukannya.
Masalah ke-82:
Jika
ingin berdalil dengan suatu ayat, maka dia bisa berkata, Qaalallahu Ta’ala
kadza (Allah telah berfirman demikian) dan dia bisa berkata, Allaahu Ta’ala
Yaquulu kadza (Allah berfirman demikian). Tidak ada makruhnya sesuatu pun dalam
hal ini. Ini adalah pendapat yang sahih dan yang terpilih yang didukung bersama
oleh ulama Salaf dan Kalaf.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharif bin Abdullah Ibn
Asy-Syakhiir seorang tabi’in yang masyhur, katanya: Janganlah kamu katakan,
Innallaaha Ta’ala Yaquulu, tetapi katakanlah, InnAllah swta Ta’ala qaala. Apa
yang diingkari oleh Mutharif rahimahullah ini bertentangan dengan apa yang
disebut di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilakukan oleh para sahabat serta
para ulama setelah mereka-mudah-mudahan Allah swt meridhaoi mereka.
Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
(QS Al-Ahzab 33:4)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr ra katanya:
Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Barangsiapa berbuat baik, maka dia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.”
(QS Al-An’am 6:60)
Diriwayatkan dalam shahih Muslim dalam bagian Tafsir; “Lan
Tanaalul birra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuun.”
Abu Talhah berkata:
Terjemahan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(QS Ali-Imran 3:92)
Ini adalah pendapat Abu Thalhah di hadapan Nabi saw
Diriwayatkan dalam hadits sahih dari Masruq rahimahullah,
katanya: Aku berkata kepada Aisyah ra, bukankah Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.”
(QS At-Takwir 81:23)
Maka Aisyah menjawab, tidaklah engkau mendengar bahwa Allah
berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu.”
(QS Al-An’am 6:130)
Atau tidakkah engkau
mendengar bahwa Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengan dia,
kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.”
(QS Asy-Syuura 26:51)
Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
(QS Al-Maidah 5:67)
Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah.”
(QS An-Naml 27:65)
Pendapat ini lebih banyak ditemukan dalam pandangan ulama Salaf
dan Kalaf. Wallahua’lam.
Masalah ke-83:
Adab-adab
berkhatam Al-Qur’an dan segala yang berkaitan dengannya. Dalam bab ini ada
beberapa Masalah:
Masalah
pertama, berkenaan dengan waktunya telah ditentukan bahwa pengkhataman oleh
pembaca sendirian disunahkan untuk dilakukan dalam sembahyang. Ada orang yang
berpendapat, disunahkan melakukan pengkhataman itu dalam dua rakaat sunah Fajar
dan dalam dua rakaat sunah Maghrib, sedangkan dalam dua rakaat Fajar lebih
utama.
Disunahkan
pengkhataman Al-Qur’an sekali khatam di awal siang dalam suatu rumah dan
mengkhatamkn lainnya diakhir siang di rumah lain. Manakala yang mengkhatamkan
di luar sembahyang dalam jamaah yang mengkhatamkan bersama-sama, maka disunahkan
pengkhataman mereka berlangsung di awal siang atau di awal malam sebagaimana
dikemukakan. Awal siang lebih utama menurut sebagian ulama.
Masalah
kedua, diutamakan berpuasa pada hari pengkhataman, kecuali jika bertepatan
dengan hari yang dilarang syarak puasa hari itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Dawud
dengan isnadnya yang sahih, bahwa Thalhah bin Mutharif dan Habib bin Abu
Thabit, serta Al-Musayyib bin Raafi’ para tabi’im Kuffah ra, dianjurkan
berpuasa pada hari di mana mereka mengkhatamkan Al-Qur’an.
Masalah ketiga, diutamakan sekali menghadiri majelis
pengkhataman Al-Qur’an.
Diriwayatkan dalam
Shahihain:
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw menyuruh perempuan-perempuan yang haid keluar pada hari
raya untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.”
Diriwayatkan
oleh Ad-Daarimi dan Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari ibnu Abbas ra bahwa dia
menyuruh seseorang memperhatikan seorang yang membaca Al-Qur’an. Jika pembaca Al-Qur’an
itu akan khatam, hendaklah dia memberitahukan kepada Ibnu Abbas, sehingga dia
dapat menyaksikan berkhatam itu.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dengan dua isnadnya yang sahih dari Qatadah seorang tabi’in
besar sahabat Anas ra, katanya: Anas bin Malik ra. Apabila mengkhatamkan Al-Qur’an,
dia kumpulkan keluarganya dan berdoa. Dia meriwayatkan dengan isnad-isndnya
yang sahih dari Al-Hakam bin Uyainah seorang tabi’in yang mulia.
Katanya:
Mujahid dan Utbah bin Lubabah mengutus orang kepadaku, keduanya berkata, kami
mengutus orang kepadamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Qur’an. Doa sangat
mustajab ketika mengkhatamkan Al-Qur’an. Dalam suatu riwayat yang sahih
disebutkan, bahwa rahmat turun ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.
Diriwayatkan
dengan isnadnya yang sahih dari mujahid, katanya: Mereka berkumpul ketika
mengkhatamkan Al-Qur’an dan berkata, rahmat Allah swt turun.
Masalah
keempat, berdoa sesudah pengkhataman Al-Qur’an amat disunahkan berdasarkan apa
yang kami sebutkan dalam masalah sebelumnya. Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi
dengan isnadnya dari Humaid Al-A’raj, katanya: Barangsiapa membaca Al-Qur’an,
kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4.000 malaikat. Hendaklah dia
bersungguh-sungguh dalam bedoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta memperbanyak
untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin mereka.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Nisaburi dengan
isnadnya bahwa Abdullah Ibn Al-Mubarak ra apabila mengkhatamkan Al-Qur’an, maka
sebagian besar doanya adalah untuk kaum
muslimin, Mukminin dan mukminat. Pada waktu yang sama dia juga berkata
seperti itu. Maka hendaklah orang yang berdoa memilih doa-doa yang menyeluruh,
seperti:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, sempurnakanlah hati kami, hilangkanlah keburukan kami, bimbinglah
kami dengan jalan yang terbaik, hiasilah kami dengan ketaqwaan, kumpulkanlah
bagi kami kebaikan akhirat dan dunia dan anugerahkanlah kami ketaatan kepada-Mu
selama Engkau menghidupkan kami.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, mudahkanlah kami ke jalan kemudahan dan jauhkanlah kami dari
kesukaran, lindungilah kami dari keburukan diri kami dan amal-amal kami yang
buruk, lindungilah kami dari siksa neraka dan siksa kubur, fitnah semasa hidup
dan sesudah mati serta fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu petunjuk, kekuatan, kesucian diri dak
kecukupan.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, Kami amanahkan pada-Mu agama, jiwaraga dan penghabisan amal-amal kami,
keluarga dan orang-orang yang kami cintai, kaum muslimin lainnya dan segala
urusan akhirat dan dunia yang Engkau anugerahkan kepada kami dan mereka.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agama, dunia dan
akhirat. Kumpulkanlah antara kami dan orang-orang yang kami cintai di negeri
kemuliaan-Mu dengan anugerah dan rahmat-Mu.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, sempurnakanlah para pemimpin muslimin dan jadikanlah mereka berlaku
adil terhadap rakyat mereka, berbuat baik kepada mereka, menunjukkan kasih
sayang dan bersikap lemah-lembut kepada mereka serta memperhatikan
maslahat-maslahat mereka. Jadikanlah mereka mencintai rakyat dan mereka
dicintai rakyat. Jadikanlah mereka menempuh jalan-Mu dan mengamalkan
tugas-tugas agama-Mu yang lurus.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, berlembutlah kepada hamba-Mu penguasa kami dan jadikanlah dia
memperhatikan maslahat-maslahat dunia dan akhirat. Jadikanlah dia mencintai
rakyatnya dan jadikanlah dia dicintai rakyat.”
Dia membaca doa-doa lanjutan berkenaan dengan para pemimpin dan
menambahkan sebagai berikut:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, rahmatilah diri dan negerinya, jagalah para pengikut dan tentaranya,
tolonglah dia untuk menghadapi musuh-musuh agama dan para penantang lainnya. Jadikanlah
dia bertindak menghilangkan berbagai kemungkaran dan menunjukkan
kebaikan-kebaikan serta berbagai bentuk kebajikan. Jadikanlah Islam semakin
tersebar dengan sebabnya, muliakanlah dia dan rakyatnya dengan kemuliaan yang
cemerlang.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin dan murahkanlah harga-harag
mereka, amankanlah mereka di negeri-negeri mereka, lunasilah hutang-hutang
mereka, sembuhkanlah orang-orang yang sakit diantara mereka, bebaskanlah mereka
yang ditawan, sembuhkanlah penyakit hati mereka, hilangkanlah kemarahan hati
mereka dan persatukanlah diantara mereka.
Jadikanlah
iman dan hikmah dalam hati mereka, tetapkanlah mereka diatas agama Rasul-Mu
saw. Ilhamilah mereka agar memenuhi janji-Mu yang Engkau berikan kepada mereka,
tolonglah mereka dalam menghadapi musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Tuhan Yang
Maha Besar dan jadikanlah kami dari golongan mereka.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, jadikanlah mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mengamalkannya,
mencegah dari yang mungkar dan menjauhinya, memelihara batas-batas-Mu,
melakukan ketaatan kepada-Mu, saling berbuat baik dan menasihati.”
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ya Allah, jagalah dalam pendapat dan perbuatan mereka, berkatilah mereka dalam
semua keadaan mereka.”
Orang
yang berdoa hendaklah memulai dan mengakhiri doanya dengan ucapan:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Segala Puji bagi Allah Tuhan sekalian alam dengan pujian yang memadai dengan
nikmat-nikmat-Nya dan sepadan dengan tambahan-Nya.
Ya
Allah, limpahkanlah sholwat dan salam ke atas Muhammad dan keluarga (Penghulu
Kami) Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan sholwat ke atas Ibrahim dan
keluarganya.
Berkatilah
(Penghulu kami) Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkati
Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia.”
Masalah
kelima, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, apabila selesai dari
pengkhataman Al-Qur’an, disunahkan memualai lagi membaca Al-Qur’an sesudahnya.
Para Ulama Salaf dan Kalaf telah menganjurkan hal itu. Mereka berhujah dengan hadits
Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Sebaik-baik amal adalah al-Hallu dan ar-Rahlah. Ditanyakan kepada baginda,
‘Apakah keduanya itu?’ Nabi saw menjawab, ‘Memulai membaca Al-Qur’an dan
mengkhatamkannya’.”
==
BAB VII:
ADAB BERINTERAKSI DENGAN AL-QUR’AN
Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim dari Tamim Ad-Daariy ra, katanya: Nabi saw bersabda:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Agama itu nasihat. Kami berkata, ‘Untuk siapa? Nabi saw menjawab, ‘Untuk Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam mereka.”
Para ulama rahimahullah
berkata, nasihat untuk Kitab Allah swt adalah, “Beriman bahwa ia adalah kalam Allah
dan wahyu-Nya, tidak ada sesuatupun dari makhluk yang menyerupainya dan seluruh
makhluk tidak ada yang mampu berbuat seperti itu.”
Kemudian mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya dan
sebaik-baiknya. Bersikap khusyuk ketika membacanya, seperti makhraj
huruf-hurufnya yang tepat, membelanya dari penakwilan orang-orang yang
menyelewengkannya dan gangguan orang-orang yang melampaui batas, membenarkan
isinya, menjalankan hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan
perumpamaan-perumpamaannya, memperhatikan nasihat-nasihatnya, memikirkan
keajaiban-keajaiban dan mengamalkan ayat-ayatnya yang muhkam (jelas) dan
menerima ayat-ayatnya yang mutasyabih (samar) mencari keumuman dan kekhususan,
nasikh dan mansukhnya, menyebarkan keumuman dan kekhususan ilmu-ilmunya,
menyeri kepadanya.
Masalah ke-84:
Kaum
muslimin sependapat atas wajibnya mengagungkan Al-Qur’an yang mulia secara
mutlak, menyucikan dan menjaganya. Dan mereka sependapat bahwa siapa yang
mengingkari satu huruf daripadanya yang telah disetujui atau menambah satu
huruf yang tidak pernah dibaca oleh seorang pun sedang dia mengetahui hal itu,
maka dia kafir.
Imam
Al-Hafizh Abul Fadhl Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Ingatlah bahwa siapa
yang meremehkan Al-Qur’an atau sebagian daripadanya atau memakainya atau
mengingkari satu huruf daripadanya atau mendustakan sesuatu hukum atau kabar
yang ditegaskan di dalamnya atau membenarkan sesuatu yang dinafikannya atau
menafikan sesuatu yang ditetapkannya, sedang dia mengetahui hal itu atau
meragukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ul
muslimin.
Demikian
jugalah jika dia mengingkari Taurat dan Injil atau Kitab-kitab Allah Yang diberitakan
atau kafir dengannya atau memakainya atau meremehkannya, maka dia telah kafir.
Katanya:
Para ulama muslimin sependapat bahwa Al-Qur’an yang dibaca di negeri-negeri dan
tertulis di dalam Mushaf yang berada di tangan kaum muslimin dan dihimpun di
antara dua sampul mulai dari Al-Hamdulillahi rabbil ‘aalamiin hingga akhir Qul
A’uudzu birabbin naas adalah Kalamullah dan wahyu-Nya yang diberitakan kepada
Nabi-Nya Muhammad saw.
Dan
mereka sependapat bahwa semua yang terdapat di dalamnya adalah benar dan barangsiapa
yang menguranginya dengan sengaja atau menggantikan sehuruf dengan huruf lain
atau menambah sehuruf di dalamnya yang tidak tercatat dalam Mushaf yang telah disetujui
itu serta menyatakan dengan sengaja bahwa ia bukan termasuk Al-Qur’an, maka dia
telah kafir.
Abu Usman Al-Haddad berkata, “Semua ahli tauhid bersepakat bahwa
mengingkari stu huruf dari Al-Qur’an adalah kufur.”
Fuqaha Baghadad sependapat untuk menyuruh bertaubat Ibnu
Syahbudz Al-Muqri seorang imam qari (yang mahir membaca) Al-Qur’an terkemuka
bersama Ibnu Mujahid karena membaca dan mengajarkan bacaan dengan huruf-huruf
yang ganjil dan tidak terdapat dalam Mushaf. Mereka menyuruh membuat pernyataan
untuk berhenti dan bertaubat dengan kesaksiaam mereka di majelis Al-Waziir Ubay
bin Maqlah tahun 323 H. Muhammad bin Abu Zaid berfatwa berkenaan dengan orang
yang mengatakan kepada seorang anak kecil,” Mudah-mudahan Allah swt mengutuk
gurumu dan apa yang diajarkannya kepadamu?”
Katanya: “Aku maksudkan adab yang tidak baik dan tidak saya
maksudkan Al-Qur’an.” Muhammad berkata: “Orang yang mengatakan itu perlu
dihukum.” Sementara yang mengutuk Mushaf, maka dia bisa dibunuh. Inilah akhir
pendapat Al-Qadhi Iyadh rahimahullah.
Masalah ke-85:
Diharamkan
menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang makna-maknanya bagi
siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits berkenaan dengan perkara tersebut dan
ijmak berlaku atasnya.
Sedangkan
penafsirannya oleh ulama, itu sesuatu yang diharuskan dan baik. Dan ijmak telah
menetapkan atas hal itu. Maka siapa yang ahli menafsirkan dan mempunyai
alat-alat untuk mengetahui maknanya dan benar sangkaannya terhadap apa yang
dimaksud, dia pun bisa menafsirkannya jika dapat diketahui dengan ijtihad.
Seperti makna-makan dan hukum-hukum yang terang ataupun yang samar, tentang keumuman
dan kakhususan serta I’raab dan lainnya.
Kalau tidak
dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkara-perkara yang jalannya
adalah menukil dan menafsirkan lafaz-lafaz bahasa, maka tidak bisa berbicara
berkenaang dengannya. Kecuali dengan nukilan yang
sahih oleh ahlinya yang dapat diambil kira. Sementara orang yang bukan ahlinya
karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan
maknanya. Bagaimanapun dia bisa menukil tafsirnya dari ahlinya yang layak.
Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka
tanpa dalil yang sahih ada beberapa golongan.
·
Di antara mereka ada yang
berhujah dengan ayat untuk membenarkan madzhabnya dan menguatkan pikirannya,
meskipun tidak benar sangkaannya bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu.
Dia hanya ingin mengalahkan lawannya.
·
Ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujah dengan suatu
ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.
·
Bahkan ada yang menafsirkan
lafaz-lafaz Arabnya tanpa memahami makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu
tidak bisa diambil kecuali dengan mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli
tafsir, seperti penjelasan makna. lafaz dan I’rabnya, hadzaf, ringkasan,
idhmaar, hakekat dan majaz, keumuman dan kekhususan, ijmaal dan bayan,
pendahuluan dan pengakhiran dan sebagainya dari hal-hal yang berbeda dengan
zahirnya.
Disamping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi
mesti menmgetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir berkenaan dengannya.
Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan zahirnya atau mendatangkan
kekususannya atau yang idhmaar dan sebagainya dari sesuatu yang berbeda dengan
zahirnya.
Apabila lafaznya mempunyai beberapa makna, kemudian dia
mengetahui di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari
beberapa makna yang dimaksudnya. Kemudian dia menafsirkan dengan apa yang
datang kepadanya, maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir
ra’yi) dan hukumnya haram. Wallahua’lam.
Masalah ke-86:
Diharamkan
mira’ dalam Al-Qur’an dan berbantah-bantah tentang Al-Qur’an tanpa alasan yang
benar. Misalnya dia melihat petunjuk ayat itu atas sesuatu yang berlawanan
dengan madzhabnya dan mengandung kemungkinan yang lemah sesuai dengan madzhabnya,
kemudian dia mengartikan menurut madzhabnya dan mempertahankannya, meskipun
ternyata berlawanan dengan apa yang dikatakannya. Manakala orang yang tidak
mengetahuinya, maka dia dapat dimaafkan.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Baginda bersabda:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Berbantah-bantahan berkenaan dengan Al-Qur’an adalah kufur.”
Al-Khattabi berkata: Maksud perkataan al-Miraa’u adalah
keraguan. ada orang yang berpendapat, berbantah-bantahan yang menimbulkan
keraguan. Ada
orang yang berpendapat, berbanrah-bantahan yang dilakukan oleh para pengikut
aliran sesat berkenaan dengan ayat-ayat takdir dan seumpanya.
Masalah ke-87:
Siapa
yang ingin mengetahui tentang pendahuluan suatu ayat sebelum ayat lainnya di
dalam Mushaf atau kedudukan ayat ini ditempat ini dan seumpamanya, sepatutnya
dia bertanya: Apa hikmahnya ini?
Masalah ke-88:
Dihukumkan
makruh seseorang yang mengatakan, aku lupa ayat ini. Bagaimanapun dia katakan,
“Aku dilupakan terhadapnya atau aku menggugurkannya.” Mengikut riwayat yang
terdapat di dalam Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: Rasulullah saw
bersabda:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Janganlah seseorang dari kamu berkata: ‘Aku lupa ayat begini dan begini.’
Tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”
Menurut
suatu riwayat dalam Shahihain juga:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Sungguh buruk seseorang dari kamu yang mengatakan ‘aku lupa ayat begini dan
begini’ tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”
Diriwayatkan
dalam Shahihain juga dari Aisyah ra.:
“Bahwa
Nabi saw mendengar seorang laki-laki membaca, kemudian beliau berkata:
‘Mudah-Mudahan Allah mengasihani si fulan, dia telah mengingatkan aku kepada
sesuatu ayat yang aku telah menggugurkannya.”
Dalam
suatu riwayat di dalam kitab Ash-Shahih: “Aku dibuat lupa terhadapnya.”
Sementara
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Abdirrahman As-Salami seorang
tabi’in yang mulia, katanya: “Janganlah engkau katakan: ‘Aku telah menggugurkan
ayat begini’ tetapi katakanlah: ‘Aku telah dibuat lalai’.”
Maka
riwayat ini bertentangan dengan yang diriwayatkan dalam hadits sahih. Justru,
yang diambil kira adalah hadits yang menyatakan keharusan mengatakan: “Aku
telah menggugurkan dan tidak ada celaan terhadapnya.”
Masalah ke-89:
Tidak
ada halangan menyebut surat Al-Baqarah, surat Ali Imran, surat
An-Nisa’, surat Al-Maidah dan surat Al-An’aam. Demikian jugalah surat-surat
lainnya. Sebagian ulama Salaf tidak suka perkara seperti, sebaliknya mereka
berkata: Surat yang disebut Al-Baqarah di
dalamnya dan yang disebut Ali-Imran di dalamnya, surat yanbg disebut An-Nisa’ di dalamnya dan
begitulah seterusnya. Pendapat yang lebih benar ialah pendapat pertama.
Mengikut
riwayat yang terdapat di dalam Shahihain daripada Rasulullah saw katanya, Surat
Al-Baqarah, surat
Al-Kahfi dan surat-surat lainnya. Demikian jugalah diriwayatkan dari pada para
sahabat ra.
Ibnu
Mas’ud berkata: “Ini tempat yang diberitakan kepadanya surat Al-Baqarah.”
Diriwayatkan
daripada Ibnu Mas’ud ra. dalam Shahihain: “Aku membacakan kepada Rasulullah Saw
surat
An-Nisa’.”
Hadits-hadits
dan pendapat ulama Salaf berkenaan dengan hal ini banyak sekali.
Berkenaan
dengan surat
itu ada dua ucapan, dengan hamzah dan tanpa hamzah, sedangkan tanpa hamzah
lebih fasih. Itulah yang dimuat dalam Al-Qur’an. Diantara yang menyebutkan dua
ucapan adalah Ibnu Qutaibah dalam Ghariib al-Hadits.
Masalah ke-89:
Tidaklah
dihukumkan makruh jika dikatakan, ini bacaan Abu Amrin atau bacaan Naafi’ atau
Hamzah atau Al-Kisa’I atau lainnya. Ini adalah pendapat terpilih yang didukung
bersama oleh ulama Salaf dan Kalaf tanpa diingkari.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I, katanya: Mereka tidak suka
mengatakan: “Sunnah fulan dan bacaan fulan.”
Pendapat yang lebih benar adalah apa yang kami kemukakan.
Masalah ke-90:
Orang kafir tidak dilarang mendengar Al-Qur’an berdasarkan firman
Allah:
(Teks Bahasa Arab)
“Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.”(QS At-Taubah 9:6)
Bagaimanapun,
mereka (orang kafir) dilarang menyentuh Mushaf. Bisakah mengajarinya Al-Qur’an?
Para sahabat kami berpendapat, jika tidak bisa
diharapkan keislamannya, maka ada dua pendapat. Pendapat yang labih kuat
(sahih) adalah bisa karena mengharapkan keislamannya.
Pendapat
yang kedua adalah tidak bisa, sebagaimana tidak bisa menjual Mushaf kepadanya,
meskipun diharapkan keislamannya. Jika kita melihatnya belajar, apakah dia
dilarang? Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat.
Masalah ke-91:
Para ulama
berlainan pendapat berkenaan dengan penulisan Al-Qur’an dalam bejana, kemudian
dicuci dan diberi minum kepada orang sakit. Al-Hasan, Mujahid, Abu Qulabah dan
Al-Auza’i berkata: “Tidak ada masalah dengannya.” Sedangkan An-Nakha’i tidak
menyukainya. Al-Qadhi Husain, Al-Baghawi dan para sahabat kami lainnya berkata:
“Sekiranya Al-Qur’an ditulis di atas halwa (sejenis makanan) dan makanan lainnya,
tidaklah mengapa memakannya.”
Al-Qadhi berkata: “Sekiranya ditulis di atas sepotong kayu,
tidaklah disukai membakarnya.”
Masalah ke-92:
Madzhab
kami ialah tidak menyukai penulisan Al-Qur’an dan nama-nama Allah swt di atas
dinding dan baju. Atha’ berkata: “Tidaklah mengapa jika menulis Al-Qur’an dalam
bentuk azimat, maka Malik berpendapat, tidak ada masalah dengannya kalau
ditulis pada sepotong buluk atau kulit kemudian dibalut.
Sebagian
sahabat kami berpendapat, apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dalam suatu wadah
bersama lainnya, maka tidaklah haram, tetapi lebih baik ditinggalkan karena
dibawa dalam keadaan berhadas.
Jika
ditulis, maka ia mesti dijaga sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik
rahimahullah. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Asy-Syeikh Abu Amrin Ibnu
Ash-Shalah rahimahullah.
Masalah ke-93:
Tentang
meniup dengan membca Al-Qur’an sebagai ruqyah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud
dari Abu Juhaifah seorang sahabat Nabi saw dan namanya Wahb bin Abdullah atau lainnya,
dari Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’I bahwa mereka tidak menyukai itu.
Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh, bahkan sunah muakkad.
Diriwayatkan
daripada Aisyah ra:
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Bahwa Nabi saw apabila hendak tidur setiap malam, beliau merapatkan kedua
telapak tangannya, kemudian meniup pada keduanya, kemudian membaca ‘Qul
Huwallaahu Ahad, Qul A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul A’udzu bi rabbin Naas’.
Kemudian dia sapukan keduanya pada tubuhnya sedapat mungkin dimulai dari atas
kepala dan mukanya serta bagian tubuhnya yang dapat dicapai. Beliau lakukan
yang demikian tiga kali.”
(Riwayat Bukhari &
Muslim)
Menurut
beberapa riwayat dalam Shahihain ada tambahan dari ini. Sebagiannya sebagaimana
diriwayatkan dari Aisyah ra, kataanya:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Ketika Nabi saw sakit, beliau menyuruhku melakukannya dengan cara demikian.”
Dan
sebagian lainnya:
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Nabi saw meniup pada dirinya ketika sakit yang menyebabkan wafatnya dengan
membaca Al-Mu’awwidzaat.”
Aisyah
ra berkata: “Ketika sakit beliau bertambah tenat, akulah yang meniup padanya
dengan membaca Al-Mu’awwidzaat dan mengusapkan tangannya sendiri untuk
mengambil berkatnya.”
Dan
sebagian lainnyanya lagi: “Nabi saw ketika sakit membaca untuk dirinya
Al-Mu’awwidzaat dan meniup.”
Pakar
bahasa mengatakan, An-Nafth ialah tiupan yang ringan tanpa mengeluarkan air
ludah. Wallahua’lam.
==
BAB VIII:
AYAT DAN SURAT YANG DIUTAMAKAN MEMBACANYA PADA WAKTU-WAKTU
TERTENTU
Ingatlah
bahwa bagian ini luas sekali cakupannya, ia tidak mungkin dibatasi karena
isinya memang banyak. Bagaimanapun, saya kemukakan sebagian besar saja atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diringkas. Sebagian besar masalah yang saya sebutkan
di dalamnya telah diketahui oleh orang-orang terkemuka ataupun mungkin
orang-orang awam juga.
Justru,
saya tidak menyebut dalil-dalil dalam sebagian besarnya. Antara lain karena
besarnya perhatian atas mambaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan terutama dalam
sepuluh terakhir dan terutama pula di malam-malam yang ganjil. Antara lain
sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, hari Arafah, hari Jumaat, sesudah
sembahyang Subuh dan ketika malam. Hendaklah dia selalu membaca surat Yassin, Al-Waqiah
da termasuk Tabarak Al-Mulk.
Masalah ke-94:
Sunah
membaca dalam sembahyang Subuh pada hari Jumaat sesudah Al-Fatihah pada rakaat
pertama surat
Alif Lam Mim Tanziil selengkapnya. Dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ihsaan
selengkapnya. Janganlah melakukan apa yang dilakukan banyak imam masjid yang
hanya membaca beberapa ayat dari masing-masing surat dengan memanjangkan bacaan. Tetapi
membaca keduanya dengan sempurna dan membacanya secara perlahan-lahan dengan
tartil.
Sunah
membaca dalam sembahyang Jumaat pada rakaat pertama surat
Al-Jumu’ah selengkapnya dan pada rakaat kedua surat Al-Munafiquun selengkapnya juga. Jika
dia menghendaki, bisa membaca surat
Al-A’laa pada rakaat pertama dan membaca Surat Al-Ghaasyiyah pada rakaat kedua.
Keduanya
adalah riwayat yang sahih dari rasulullah saw Hendaklah dia tidak membatasi
dengan membaca pada sebagian surat
dan hendaklah melakukan apa yang kami kemukakan.
Sunah
dalam sembahyang Hari Raya membaca Surat Qaaf pada rakaat pertama dan membaca surat Iqtabatis Saa’atu
selengkapnya pada rakaat kedua. Jika mahu, dia bisa membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghaasyiyah. Kedua
riwayat itu sahih dari Rasulullah saw dan janganlah dia membatasi pada
sebagiannya.
Masalah ke-95:
Dibaca
dalam dua rakaat sembahyang sunah Fajar sesudah Al-Fatihah yang pertama Qul Yaa
Ayyuhal kaafiruun dan pada rakaat kedua Qul HuwAllah swtu Ahad. Jika mau, dia bisa
membaca pada rakaat pertama:
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Katakanlah (wahai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah swt dan apa
yang diberitakan kepada kami…”
(QS Al-Baqarah 2:136)
Dan
pada rakaat kedua:
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Katakanlah, ‘Whai ahli kitab, marilah kepad suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,…”
(QS Ali-Imran 3:64)
Keduanya
sahih dari perbuatan Rasulullah saw Dalam sembahyang sunah Maghrib rakaat
pertama, membaca Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan rakaat kedua Qul huwAllah swtu
Ahad. Dan keduanya juga dibaca dalam dua rakaat Thawaf dan dua rakaat Istikharah.
Dan
dalam sembahyang witir tiga rakaat, rakaat pertama membaca Sabbihisma rabbikal
a’laa dan rakaat kedua Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun serta rakaat ketiga Qul Huwallahtu
Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.
Masalah ke-96:
Sunah
membaca surat
Al-Kahfi pada hari Jumaat berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri ra dan lainnya.
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm, disunahkan juga membacanya pada
malam Jumaat.
Dalil
ini ialah riwayat Abu Muhammad Ad-Daarimi dengan isnadnya dari Abu Said
Al-Khudri ra, dia berkata: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumaat. Dia
diterangi cahaya antara rumahnya dan Al-Baitul Atiiq (Kaabah).”
Ad-Daarimi
menyebut suatu hadits yang menganjurkan membac Surat Huud pada hari Jumaat.
Diriwayatkan dari Makhul seorang tabi’in yang mulia, bahwa sunah membaca Surat
Ali-Imran pada hari Jumaat.
Masalah ke-97:
Disunahkan
memperbanyak membaca Ayat Kursi disemua tempat dan membacanya setiap malam
ketika hendak tidur dan membaca Al-Mu’awwidzatain setiap ba’dal sembahyang.
Diriwayatkan
dari Uqbah bin Amir ra, katanya:
(Teks
Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Rasulullah saw menyuruhku membaca Al-Mu’awwidzatain setiap selesai
sembahyang.”
(Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi
dan Nasa’i Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih.
Masalah ke-98:
Disunahkan
ketika akan tidur membaca ayat Kursi, Qul huwAllah swtu Ahad, Al-Mu’awwidzatain
dan akhir surat
Al-Baqarah. Ini amalan yang perlu diperhatikan. Diriwayatkan berkenaan
dengannya menerusi hadits-hadits sahih dari Abu Mas’ud Al-Badri ra bahwa
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa
membaca dua ayat terakhir dari surat
Al-Baqarah dalam suatu alam maka kedua yat itu mencakupinya (melindungi)nya.”
Sejumlah
pakar mengatakan, maksudnya mencukupinya dari sembahyang malam. Para ulam lainnya berkata: yaitu melindunginya dari
gangguan pada malam tersebut.
Diriwayatkan
dari Aisyah ra:
Terjemahan:
“Bahwa Nabi saw setiap malam membaca Qul huwallahtu Ahad dan
Al-Mu’awwidzatain.”
Kami
telah mengemukakannya dalam bab meniup dengan membaca Al-Qur’an. Diriwayatkan
dari Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Ali ka, katanya: “Saya belum pernah
melihat seorang berakal yang masuk Islam tidur seblum membaca ayat Kursi.” Dan
diriwayatkan dari Ali ra, katanya: “Saya belum pernah melihat orang yang
berakal tidur sebelum membaca tiga ayat terakhir dari surat Al-Baqarah.” Isnadnya sahih berdasarkan
syarat Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan
dari Uqbah bin Amir ra, katanya: Rasulullah saw berkata kepadaku:
Terjemahan:
“Janganlah engkau biarkan malam berlalu, kecuali engkau membaca di dalamnya Qul
huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain. Maka tidaklah tiba suatu malam kepadaku
kitaecuali aku membacanya.”
Diriwayatkan
dari Ibrahim An-Nakha’I, katanya: “Mereka menganjurkan agar membaca surat-surat
ini setiap malam tiga kali, yaitu Qul Huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.”
Isnadnya sahih berdasarkan syarat Muslim.
Diriwayatkan
dari Ibrahim pula, mereka mengajari orang-orang apabila hendak tidur membaca
Al-Mu’awwidzatain.
Diriwayatkan
dari Aisyah ra:
“Nabi
saw tidak tidur hingga membaca surat
Az-Zumar dan Bani Israil.”
(Riwayat Tirmdizi dan dia
berkata: Hadits Hasan)
Masalah ke-99:
Jika
bangun setiap malam sunah membaca akhir Surat Ali-Imran dari firman Allah swt:
Inna fii khalqis samaawaati wal ardhi sehingga akhir ayat.
Mengikuti
riwayat yang terdapat di dalam Shahihain:
Terjemahan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw membaca akhir Surat Ali Imran apabila bangun dari
tidur.”
Masalah ke-100:
Tentang
apa yang dibacakan untuk orang sakit. Sunah membaca Al-Fatihah di samping orang
sakit berdasarkan sabda Nabi saw dalam hadits sahih berkenaan dengan perkara
tersebut: “Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah adalah ruqtah (sejenis obat
dan mantera)?”
Sunah
membaca Qul Huwallaahu Ahad, Qul A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul A’uudzu bi
rabbin Naas uantuk orang sakit dengan meniup pada kedua telapak tangan.
Hal
tersebut diriwayatkan dalam Shahihain dari perbuatan Rasulullah saw yang telah
dijelaskan dalam bab meniup di akhir bagian yang sebelum ini.
Diriwayatkan
dari Thalhah bin Mutharif, katanya: “Jika Al-Qur’an dibaca di dekat orang
sakit, dia merasa lebih ringan. “Pada suatu hari aku memasuki khemah seseorang
yang sedang sakit”. Aku berkata: “Aku melihatmu hari ini dalam keadaan baik.”
Dia berkata: “Telah dibacakan Al-Qur’an di dekatku.”
Diriwayatkan
oleh Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi rahimahullah dengan isnadnya, bahwa
Ar-Ramadi ra ketika menderita sakit, katanya: bacakan hadits kepadaku. Ini baru
hadits, apalagi Al-Qur’an.
Masalah ke-101:
Tentang
apa yang dibacakan di dekat mayat. Para ulama sahabat kami dan yang berkata, sunah
membaca surat
yasiin di dekatnya berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar ra bahwa Nabi saw
bersabda:
“Bacakanlah surat
Yasiin untuk mayatmu.”
(Riwayat Abu dawud dan
Nasa’I, dalam Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Majah dengan isnad dha’if)
Diriwayatkan
oleh Mujalid dari Asy-Sya’bi, katanya:
“Kaum
Anshor apabila hadir di dekat mayat, mereka membaca surat Al-Baqarah.”
Dan
orang bernama Mujalid ini adalah sha’if. Wallahua’lam.
==
BAB XI:
RIWAYAT PENULISAN MUSHAF AL-QUR’AN
Sebenarnya
Kitab Al-Qur’an sudah mulai ditulis pada masa nabi saw sebagaimana yang
tercatat dalam Mushaf-mushaf yang kita dapati dewasa ini. Bagaimanapun pada
masa itu ia belum dihimpun dalam bentuk sebuah Mushaf, kecuali dihafaz dalam
hati sejumlah manusia saja. Sejumlah sahabat ada yang hafaz seleruhnya dan ada
pula yang hanya hafaz sebagiannya.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq ra menjadi khalifah dan banyak
penghafaz Al-Qur’an terbunuh, dia nimbang mereka akan meninggal dunia semua dan
terjadi perselisihan berkenaan dengan Al-Qur’an sesudah mereka. Maka Abu Bakar
bermusyawarah dengan para sahabat ra untuk mengumpulkannya dalam sebuah Mushaf
dan mereka bersetuju dengannya.
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh menulisnya dalam sebuah Mushaf
dan menyimpannya dirumah Hafsah Ummul Mukminin ra.
Ketika Islam sudah tersebar pada masa pemerintahan Usman ra dia
takut terjadi perselisihan yang menyebabkan tertinggalkan sesuatu ayat dari Al-Qur’an
atau terjadi penambahan di dalamnya. Kemudian Usman menulis/menyalin kumpulan Al-Qur’an
yang ada pada Hafsah dan disetujui oleh para sahabat dalam Mushaf-Mushaf dan
mengirimkannya ke berbagai negeri serta menyuruh melenyapkan tulisan yang
bertentangan dengan itu. Tidakan ini disetujui oleh Ali bin Abu Thalib dan para
sahabat lainnya. Mudah-Mudahan Allah swt meridhoi mereka.
Nabi saw tidak menjadikannya dalam satu Mushaf karena bleiau
membingkan terjadinya pertambahan dan penghapusan sebagian tulisan. Kebimbangan
itu tersu berlangsung hingga wafatnya Nabi saw. Ketika Abu Bakar dan para
sahabatnya lainnya merasa aman dari kebimbangan itu menghendaki pengumpulannya,
maka para sahabat ra pun melakukannya.
Para ulama
berlainan pendapat berkenaan dengan jumlah Mushaf yang dikirimkan Usman. Imam
Abu Amrin Ad-Daani berkata, sebagian besar ulama mengatakan bahwa Usman menulis
empat naskhah. Dia kirimkan sebuah maskhah ke Bashrah, sebuah ke Kufah dan
sebuah ke Syam, sedangkan yang sebuah lagi disimpannya.
Abu Hatim As-Sijistani berkata: Usman menulis tujuh Mushaf. Dia
kirimkan sebuah Mushaf ke Mekah, sebuiah Mushaf ke Syam, sebuha Mushaf ke
Yaman, Sebuah Mushaf ke Bahrain, sebuah Mushaf ke Bashrah, sebuah Mushaf ke
Kufah dan sebuah Mushaf disimpannya di Madinah. Inilah ringkasan yang berkaitan
dengan awal pengumpulan Mushaf.
Berkenaan dengan cara menyebut kata Al-Mushaf ada yang membaca
Mushaf, ada yang membaca Mishaf dan ada yang membaca Mashaf. Pendapat yang
masyhur adalah dibaca Mushaf dan Mishaf. Bacaan Mashaf disebutkan oleh Abu
Jaafar An-Nahaas dan lainnya.
Masalah ke-101:
Para ulama
sependapat atas anjuran menulis Muahaf-mushaf dan mengindahkan tulisannya, lalu
menjelaskannya serta memastikan bentuk tulisannya. Para
ulama berkata, diutamakan memberi titik dan syakal (harakat) pada Mushaf, untuk
menjaga dari kesalahan dan perubahan di dalamnya. Sementara ketidaksukaan
Asy-Sya’bi dan An-Nakha’I pada titik-titik tersebut, maka keduanya tidak
menyukainya pada masa itu karena takut terjadi perubahan di dalamnya. Masa itu
sudah berlalu, maka tidaka ada larangan. Hal itu tidak dilarang karena
merupakan sesuatu yang baru karena ia termasuk hal-hal yang baik sehingga tidak
dilarang seperti mengarang ilmu, membina sekolah dan sekolah agama rakyat serta
lainnya. Wallahua’lam.
Masalah ke-102:
Tidak bisa menulis Al-Qur’an dengan sesuatu yang najis dan
dihukumkan makruh menulisnya di atas dinding menurut madzhab kami. Ini adalah madzhab
Atha’ yang kami kemukakan. Telah kami kemukakan bahwa apabila di tulis di atas
sepotong kayu, maka makruh membakarnya.
Masalah ke-103:
Kaum Muslimin sependapat atas wajibnya menjaga Muahaf dan memuliakannya.
Para sahabat kami dan lainnya berkata,
andaikata seorang Muslim mencampakkannya dalam kotoran-mudah-mudahan Allah swt melindunginya-maka
pembalingnya menjadi kafir. Mereka berkata, haram menjadikannya sebagai bantal.
Bahakan menjadikan kitab ilmu sebagai bantal adalah haram. Sunah berdiri
menyambut Mushaf apabila diserahkan kepadanya karena berdiri untuk menyambut
orang-orang terkemuka seperti para ulama dan orang-orang sholeh adalah
mustahab. Maka sudah tentulah Mushaf lebih utama. Saya telah menyebutkan
dalil-dalil tentang anjuran berdiri ini pada bagian lainnya.
Telah kami terima riwayat dalam Musnad Ad-Daarimi dengan isnad
sahih dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ikrimah bin Abu Jahal ra. meletakkan Mushaf
di atas wajahnya dan berkata: “Kitab Tuhanku, Kitab Tuhanku.”
Masalah ke-103:
Diharamkan pergi membawa Mushaf ke negeri musuh jika ditakutkan
Mushaf akan jatuh ke tangan mereka berdasarkan hadits manyhur dalam Shahihain:
(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan:
“Sesungghunya Rasulullah saw melarang pergi membawa Al-Qur’an ke negeri musuh.”
Diharamkan menjual Mushaf kepada orang Dzimmi. Jika dia
menjualnya, maka ada dua pendapat Asy-Syafi’i berkenaan dengan perkara
tersebut. Pendapat yang lebih sahih adalah tidak sah jual belinya, sedang
pendapat kedua jual belinya sah. Dalam keadaan itu diperintahkan menghilangkan
pemilikan daripadanya. Orang gila dan anak kecil yang belum bisa membedakan (belum mumayyiz) dilarang
menyentuh Mushaf supaya tidak melanggar kehormatannya. Larangan ini wajib
dilakukan oleh walinya dan orang yang melihatnya.
Masalah ke-104:
Diharamkan atas seorang berhadas menyentuh Mushaf dan
membawanya, sama saja membawanya dengan cara memegangnya atau dengan lainnya,
sama saja dia menyentuh tulisannya, tepinya atau kulitnya. Diharamkan menyentuh
wadah dan sampul serta kotak tempat Mushaf itu berada. Inilah madzhab yang
terpilih. Ada
orang yang berpendapat, ketiga cara ini tidak haram dan pendapat ini lemah.
Sekiranya Al-Qur’an ditulis pada sebuah papan, maka hukumnya sama
dengan Mushaf itu sendiri, sama saja tulisannya sedikit atau banyak. Bahkan
seandainya hanya sebaiah atau ayat yang ditulis untuk belajar, haram menyentuh
papan itu.
Masalah ke-104:
Jika orang yang berhadas atau junub atau perempuan haid membuka
lembaran-lembaran Mushaf dengan sepotong kayu atau seumpanya, maka ada dua
pendapat dari para sahabat kami tentang keharusannya. Pendapat yang lebih jelas
adalah bisa. Pendapat ini didukung bersama oleh para ulama Iraq sahabat kami karena dia tidak
menyentuh dan tidak membawanya.
Pendapat kedua adalah haram karena dia dianggap membawa kertas
dan kertas itu seperti seluruhnya. Jika dia mnggulung lengan bajunya di atas
tangannya dan membalik kertas itu, maka hukumnya haram tanpa ada perselisihan.
Salah seorang sahabat kami menceritakan adanya dua pendapat berkenaan dengan
perkara tersebut. Pendapat yang benar adalah memastikan haramnya, sebab
pembalikan kertas itu dilakukan oleh tangan, bukan lengan bajunya.
Masalah ke-105:
Jika orang yang berjunub berhadas menulis Mushaf, sedangkan dia
membawa kertasnya atau menyentuhnya ketika menulis, maka hukumnya haram. Jika
dia tidak membawanya dan tidak menyentuhnya, maka ada tiga pendapat berkenaan
dengannya. Pendapat yang lebih sahih adalah bisa, pendapat kedua mengaramkannya.
Pendapat ketiga, diharuskan bagi yang berhadas kecil dan haram bagi orang yang
berjunub.
Masalah ke-106:
Jika orang yang berhadas
atau junub atau perempuan haid menyentuh atau membawa sebuah kitab fiqh atau kitab
ilmu lain yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an atau bersulam ayat Al-Qur’an atau
yang uang dirham atau uang dinar berukiranayat Al-Qur’an atau membawa
barang-barang yang di antaranya terdapat Mushaf atau menyentuh dinding atau
makanan kuil atau roti yang berukiran Al-Qur’an, maka madzhab yang sahih adalah
bisa melakukan semua ini karena ia bukan Mushaf. Terdapat satu pendapat yang
mengatakan haram. Qadhi besar Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Haawi
berkata, bisa menyentuh baju yang bersulam Al-Qur’an dan tidak bisa memakainya
tanpa ada perselisihan karena tujuan memakainya adalah tabarruk (mengambil
berkat) dengan Al-Qur’an.
Pendapat
yang disebutkan atau dikatakannya ini adalah lemah dan tidak seorang pun yang
berpendapat seperti itu menurut pengetahuan saya. Bahkan Asy-Syeikh Abu
Muhammad Al-Juwaini dan lainnya menegaskan keharusan memakainya. Inilah
pendapat yang benar. Wallahua’lam.
Manakala Kitab tafsir Al-Qur’an, apabila Al-Qur’an yang terdapat
di dalamnya lebih banyak dari lainnya, haram menyentuh dan membawanya. Kalau lainnya
lebih banyak sebagaimana pada umumnya, maka ada tiga pendapat. Pedapat yang
lebih shahih tidak haram. Pendapat kedua, haram. Pendapat ketiga, kalau Al-Qur’an
di tulis dengan huruf yang kelas karena tebal atau dengan huruf merah atau lainnya,
maka haram. Jika tulisannya tidak jelas, maka tidak haram.
Saya katakan: Dan haram menyentuhnya apabila sama antara
keduanya.
Sahabat kami penulis kitab At-Titimmah berkata, apabila kami
katakan, tidak haram, maka hukumnya makruh.
Sementara menulis hadits Rasulullah saw jika tidak terdapat
ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah haram menyentuhnya. Pendapat yang
lebih utama adalah tidak disentuh, kecuali dalam keadaan suci. Kalau terdapat
ayat-ayat dari Al-Qur’an, tidaklah haram menurut madzhab kami, tetapi makruh.
Dalam hal ini ada satu pendapat bahwa hal itu haram, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab
Fiqh.
Sedangkan ayat yang dinasakh tilawahnya seperti rejam dan selain
itu, maka tidak haram menyentuh ataupun membawanya. Para
sahabat kami berkata, demikian jugalah Taurat dan Injil.
Masalah ke-107:
Jika pada suatu tempat dari badan yang bersuci terdapat najis
yang tidak dimaafkan, haram atasnya menyentuh Mushaf dengan tempat yang
bernajis itu tanpa ada perselisihan dan tidak haram dengan lainnya menurut madzhab
yang sahih dan yang masyhur yang dikatakan oleh sebagian besar sahabat kami dan
para ulama lainnya. Abdul Qasim Ash-Shaimari salah seorang sahabat kami
berkata, haram. Al-Qadhi Abui Thayyib berkata, pendapat ini tertolak menurut
ijmak. Kemudian menurut pendapat yang masyhur, sebagian sahabat kami mengatakan
makruh. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh.
Masalah ke-108:
Barangsiapa tidak menemukan air, kemudian bertayamum sebagaimana
dia dibenarkan melakukan tayamum, maka dia bisa menyentuh Mushaf, sama saja tayamum
itu untuk sembahyang atau untuk keperluan lain yang mengharuskan tayamum.
Sementara siapa yang tidak menemukan air ataupun tanah, maka dia bisa
sembahyang saja dan tidak bisa menyentuh Mushaf karena dia berhadas. Kami bisakan
baginya sembahyang karena darurat.
Sekiranya ada bersamanya Mushaf dan tidak menemukan orang yang bisa
diamanahkannya sedang dia tidak dapat berwudhu, duharuskan baginya membawanya
karena darurat. Al-Qadhi Abu Thayyib berkata, tidak wajib baginya pertayamum.
Kalau dia membimbangkan Mushaf terbakar atau tenggelam atau
jatuh dalam najis atau jatuh ke tangan orang kafir, maka dia bisa mengambilnya
karena darurat, meskipun dia berhadas.
Masalah ke-109:
Apakah wali dan guru wajib memaksa anak kecil yang sudah bisa
membedakan (sudah mumayyiz) bersuci untuk membawa Mushaf. Terdapat dua pendapat
yang masyhur berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih kuat
(sahih) adalah tidak wajib karena memberatkan.
Masalah ke-110:
Bisa menjual Mushaf dan membelinya dan tidak makruh pembeliannya.
Adapun tentang makruhnya atas penjualannya ada dua pendapat dari tiga sahabat
kami. Pendapat yang lebih kuat(sahih) sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syafi’i
adalah makruh. Mereka yang berpendapat tidak makruh menjual dan menjual dan
membelinya ialah Hasan Al-Bashri, Ikrimah dan Al-Hakam bin Uyainah.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sebagian ulam tidak
menyukai penjualan dan pembeliannya. Ibnu Mundzir menceritakannya dari Alqamah,
Ibnu Sirin, An-Nakh’I, Syuraih, Masruq dan Abdullah bin Zaid. Diriwayatkan dari
Umar bin Abu Musa Al-Asy’ari adanya larangan keras menjualnya.
Sebagian ulama mengharuskan pembeliannya dan tidak menyukai
penjualannya. Ibnu Mundzir menceritakan dari Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Ahmad
bin Hanval dan Ishaq bin Rahawaih. Wallahua’lam
Wassalam
==TAMAT==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar