Fariz Salman Alfarisi: At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 4

Laman

11/10/12

At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 4


Masalah ke-36:
Anjuran mengulang-ulang ayat untuk direnungkan. Telah kami kemukakan dalam fasal sebelumnya anjuran untuk merenungkan dan menjelaskan pengaruhnya serta peninggalan tradisi ulama Salaf. Telah kami terima riwayat dari Abu Dzarr ra Dia berkata:“Nabi saw mengulang-ulangi satu ayat sehingga pagi."
Ayat itu adalah:“Jika Engkau siksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu” Surat Al-Maidah: 118 Riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah)
    Diriwayatkan dari Tamim Ad-Dariy ra bahwa dia mengulang-ulang ayat ini sehingga pagi:“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.”(QS Al-Jaathiyah 45:21)
  Diriwayatkan dari Ubbad bin Hamzah, katanya: Aku masuk kepada Asma’ra dan dia sedang membaca:“Maka Allah swt memberikan anugerah kepada kami dan memelihara kami dari seiksa neraka.”(QS Ath-Thuur 52:27)                     
  Maka saya berhenti di sampingnya dan Asma’ terus mengulanginya serta berdoa. Saya cukup lama berhenti di situ, maka aku pergi ke pasar. Setelah selesai membeli keperluan-keperluanku, aku kembali lagi padanya dan dia masih mengulang-ulang bacaan ayat tersebut dan berdoa. Kami meriwayatkan kisah ini dari Aisyah ra.
Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat:“Ya Tuhanku, tambahilah ilmuku.”(QS Thaha: 114)
   Said bin Jubair mengulang-ulang ayat:Dan peliharalah dirimu dari (siksa yang berlaku pada) hari yang pada waktu itu kamu dikembalikan kepada Allah swt.”(QS Al-Baqarah 2:281)
   Dia juga mengulang-ulang ayat:“Kelak mereka akan mengetahui belenmggu dan rantai diikatkan di leher mereka…”(QS Al-Mu’min 40:70-71)
Dia juga mengulang-ulang ayat:“Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.”(QS Al-Infithar 82:6)
  Dhahak apabila membaca firman Allah swt sebagai berikut dia mengulang-ulang sehingga waktu sahur. Yaitu firman Allah swt:“Bagi mereka lapisan-lapisan dari api atas mereka dan di bawah mereka pun lapisan-lapisan (dari Api) juga.”(QS Az-Zumar 9:16)

Masalah ke-37:
Menangis ketika membaca Al-Qur’an. Telah diterangkan dalam dua fasal yang terdahulu berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan tangis ketika membaca Al-Qur’an. Menangis ketika membaca Al-Qur’an merupaan sifat orang-orang yang arif dan syiar hamba-hamba Allah Yang shaleh. Allah berfirman:“Dan mereka menyukur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”(QS Al-Israa 17:109)
  Diriwayatkan sejumlah hadits dan athar Salaf. Antara lain, diriwayatkan dari Nabi saw sabdanya:“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Jika kamu tidak menangis, maka usahakanlah supaya menangis.”
   Diriwayatkan dari Umar Ibnul Khattab ra bahwa dia mengimami jamaah sembahyang Subuh dan membaca Surat Yusuf. Dia menangis hingga mengalir air matanya hingga membasahi tulang bahunya. Dalam suatu riwayat, kejadian itu berlangsung dalam sembahyang Isyak. Maka hal itu menunjukkan berlakunya pengulangan bacaan. Dalam suatu riwayat, dia menangis hingga mereka mendengar tangisannya dari belakang shaf-shaf. Diriwayatkan dari Abu Raja’, katanya: “Kulihat Ibnu Abbas di bawah kedua matanya nampak bekas seperti tali selipar yang usang lantaran air mata.”
  Diriwayatkan dari Abu Shahih, katanya: Beberapa orang datang dari Yaman menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mereka membaca Al-Qur’an dan mereka menangis. Kemudian Abu Bakar berkata: “Demikianlh keadaan kami jika membaca Al-Qurna.”
     Diriwayatkan dari Hisyam, katanya: “Terkadang aku mendengar tangis Muhammad bin Sirin pada waktu malam ketika dia sedang sembahyang.”
  Banyak athar yang menerangkan yang demikian itu yang tidak mungkin menghitungnya. Apa yang telah saya kemukakan dan saya tunjukkan kiranya sudah memadai. Wallahua’lam.
   Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunahkan pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat.” Jika tidak bisa menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.

Masalah ke-38:
Hendaklah membaca Al-Qur’an dengan tartil. Para ulama telah sependapat atas anjuran melakukan tartil. Allah berfirman:“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.”(QS Al-Muzzammil 73:4)
     Diriwayatkan dari Ummi Salamah ra bahwa dia menggambarkan bacaan Rasulullah saw sebagai bacaan yang jelas huruf demi huruf.”(Riwayat Abu Dawud, Nasa’I dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih)
  Diriwayatkan dari Mu’awiyyah bin Qurrah ra dari Abdullah bin Mughaffal ra dia berkata:“Aku melihat Rasulullah saw pada hari penaklukan Mekah di atas untanya sedang membaca Surat Al-Fatihah dan mengulang-ulang bacaannya.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
   Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra Dia berkata: “Aku lebih suka membaca satu surat secara tartil daripada membaca Al-Qur’an seluruhnya.”
   Diriwayatkan dari Mujahid bahwa dia ditanya tentang dua orang, seorang membaca surat Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan lainnya membaca surat Al-Baqarah saja. Waktunya, rukuk, sujud dan duduknya sama. Mujahid menjawab: “Orang yang membaca Surat Al-Baqarah saja lebih baik.”
   Dilarang membaca Al-Qur’an secara asal jadi dengan cepat sekali. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa seorang lelaki berkata kepadanya: “Aku membaca Al-Mufashshal dalam satu rakaat.” Maka Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Demikianlah, demikianlah syair itu. Sesungguhnya ada orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak melampaui tenggorokan mereka. Bagaimanapun jika masuk di hati dan menjadi kukuh di dalamnya, mka ia pun berguna.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
  Para ulama berkata: “Membaca Al-Qur’an dengan tartil itu disunahkan untuk merenungkan artinya.” Mereka berkata: “Membaca dengan tartil disunahkan bagi orang bukan Arab yang tidak memahami maknanya karena hal itu lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan serta lebih berpengaruh di dalam hati.”
    
Masalah ke-39:
Diutamakan jika melalui ayat yang mengandung rahmat agar memohon kepada Allah swt dan apabila melalui yang mengandung siksaan agar memohon perlindungan kepada Allah swt dari kejahatan dan siksaan. Atau berdoa: “Ya Allah, aku mohon kesehatan kepada-Mu atau keselamatan dari setiap bencana.” Jika melalui ayat yang mengandung tanzih (penyucian) Allah swt maka dia sucikan Allah swt dengan ucapan, Subhanalahi wa Ta’ala atau Tabaroka wa Ta’ala atau Jallat Azhamatu Rabbina.
    Diriwayatkan dari Hudzifah Ibnul Yaman ra Dia berkata: “Pada suatu malam aku sembahyang bersama Nabi saw Bliau memulai dengan Surat Al-Baqarah, beliau rukuk ketika mencapai seratus ayat, kemudian meneruskan. Maka saya katakan, beliau rukuk dengan membacanya. Kemudian beliau memulai surat An-Nisa’ dan membacanya, kemudian memulai suart Ali-Imran dan membacanya dengan perlahan-lahan. Jika melalui suatu ayat yang terdapat tasbih di dalamnya, beliau bertasbih. Dan apabila melalui permohonan, beliau memohon. Jika melalui ta’awuudz, beliau memohon perlindungan.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
   Letak Surat An-Nisa’ pada waktu itu didahulukan sebelum Surat Ali-Imran.
 Para sahabat kami rahimahullah berkata, memohon, meminta perlindungan dan bertasbih itu disunahkan bagi setiap pembaca Al-Qur’an, sama saja di dalam sembahyang atau di luarnya. Mereka berkata: “Semua itu disunahkan dalam sembahyang sendirian. Karena itu adalah doa maka merea semnua sama dalam hal itu, seperti ucapan Aamiin sesudah Al-Fatihah.
    Apa yang saya sebutkan berkenaan dengan sunahnya, memohon dan isti’adzah tersebut adalah menurut madzhab Asy-Syafi’i ra dan mayoritas ulama rahimahullah. Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Hal itu tidak diutamakan, bahkan tidak disukai dalam sembahyang.” Pendapat yang lebih benar adalah pendapat mayoritas sebagaimana saya kemukakan.

Masalah ke-40:
Hal yang perlu diperhatikan dan amat ditekankan adalah memuliakan Al-Qur’an dari hal-hal yang kadang-kadang diabaikan oleh sebagian orang yang lalai ketika membaca bersama-sama. Diantaranya menghindari tertawa, berbuat bising dan bercakap-cakap di tengah pembacaan, kecuali perkataan yang perlu diucapkan.
Hendaklah dia mematuhi firman Allah swt:“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”(QS Al-A’raf 7:204)
   Hendaklah dia mengikuti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibnu Umar ra bahwa apabila membaca Al-Qur’an dia tidak bercakap sehingga selesai. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya dan dia berkata: “Tidak bercakap-cakap hingga selesai membaaca.” Dia menyebutnya dalam kitab At-Tafsir berkenaan dengan firman Allah swt:“Istri-istrimu adalah ladang bagimu.”(QS Al-Baqarah 2:223)
   Termasuk perbuatan tercela adalah mempermainkan tangan lainnya karena dia sedang bermunajat kepada Allah swt. Maka janganlah dia bermain di hadapan-Nya. Diantaranya adalah memandang kepada sesuatu yang dapat melalaikan dan melencengkan pikiran dan tumpuan.
  Lebih buruk dari semua itu adalah memandang kepada sesuatu yang tidak bisa dipandang, seperti orang lelaki yang mulus wajahnya dan yang seumpamanya. Karena memandang kepada laki-laki yang berwajah mulus dan tampan tanpa keperluan adalah haram, sama saja dengan syahwat ataupun tanpa syshwat, sama saja aman dari fitnah atau tidak aman. Ini adalah madzhab yang shahih dan terpilih di kalangan ulama. Imam Asy-Syafi’i dan para ulama yang tidak sedikit jumlahnya telah menyebutkan pengharamannya.
Dalilnya ialah firman Allah swt:“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS An-Nur 24:30)
Karena lelaki mulus lagi cantik cenderung dijadikan pasangan homoseks, sama dengan perempuan. Bahkan bisa jadi sebagian atau banyak dari mereka lebih bagus dari banyak perempuan dan lebih memungkinkan terjadinya kejahatan padanya serta lebih mudah dari perempuan. Maka pengharamannya itu lebih utama. Pendapat-pendapat ulama saja yang memperingatkan terhadap mereka banyak sekali jumlahnya. Para ulama menanamkan mereka orang busuk karena menimbulkan rasa jijik menurut syarak.
   Manakala memandang kepadanya ketika berjual beli, mengambil dan memberi, berobat dan mengajar serta hal-hal lain yang diperlukan, hukumnya boleh karena adanya keperluan yang dibenarkan secara syar’i. Bagaimanapun pandangannya adalah sekedar keperluan dan tidak terus memandang tanpa keperluan. Demikian jugalah guru yang diharuskan memandang sesuatu yang diperlukannya dan haram atas mereka dalam segala keadaan memandang dengan syahwat.
   Ini tidak khusus berkaitan dengan lelaki yang mulus wajahnya, bahkn haram atas setiap mukallaf memandang dengan syahwat kepada setiap orang, sama saja lelaki ataupun perempuan. Sama saja perempuan itu masih mahramnya atau bukan, kecuali istri atau hamba perempuan yang bisa digalauli. Bahkan sahabat kami mengatakan: Diharamkan memandang dengan syahwat kepada mahramnya seperti suadara perempuannya dan ibunya.” Wallahua’lam.
    Diwajibkan atas orang-orang yang menghadiri majelis membaca Al-Qur’an jika melihat sesuatu kemungkaran-kemungkaran tersebut atau lainnya agar melarangnya sekuat tenaga dengan tangan bagi siapa yang mampu dan dengan lisan bagi siapa yang tidak mampu melakukannya dengan tangan dan mampu melakukannya dengan lisan. Jika tidak sanggup dengan semua itu, maka dengan hatinya (membencinya adalah hati). Wallahua’lam.

Masalah ke-41:
Tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, sama saja dia bisa berbahasa Arab dengan baik atau tidak bisa, sama saja di dalam sembahyang ataupun di luar sembahyang. Jika dia membaca Al-Qur’an dalam sembahyang dengan selain bahasa Arab, maka sembahyangnya tidak sah. Ini adalah madzhab kami dan madzhab Imam Malik, Ahmad, Dawud dan Abu Bakar Ibnul Mundzir. Sedangkan Abu Hanifah berkata: “Diharuskan membaca dengan selain bahasa Arab dan sembahyangnya sah.”
Abu Yusuf dan Muhammad berkata: “Boleh bagi orang yang tidak baik bahasa Arabnya dan tidak bisa bagi orang yang bisa membaca bahasa Arab dengan baik.”

Masalah ke-42:
Diharuskan membaca Al-Qur’an dengan tujuh qiraat seperti bacaan yang disetujui. Dan tidak bisa dengan selain yang tujuh bacaan itu dan tidak pula dengan riwayat-riwayat asing yang dinukil (diambil) dari ketujuh ahli qiraah itu.
   Akan dijelaskan dalam bagian ketujuh Insya Allah swt berkenaan dengan kesepakatan para fuqaha untuk menyuruh bertaubat bagi orang yang membaca dengan bahasa asing apabila dia membacanya demikian. Sahabat kami dan lainnya berkata: “Sekiranya membaca dengan bahasa asing di dalam sembahyang, batallah sembahyangnya jika dia mengetahui. Jika tidak mengetahui, maka tidak batal sembahyangnya dan tidak dikira bacaan itu baginya.”
    Imam Abu Umar bin Andul Bar Al-Hafizh telah menukil jima’ul muslimin. Bahwa tidak bisa membaca dengan bacaan yang asing (syadz) dan tidak bisa sembahyang di belakang orang yang membaca dengan bacaan syadz. Para ulama berkata: “Barangsiapa membaca dengan bacaan syadz sedang dia tidak mengetahuinya atau tidak mengeatahui pengharamannya, maka dia diberitahu tentang hal itu. Jika kembali melakukannya atau dia mengetahui bacaan syadz itu, maka dia pun dihukum dengan keras hingga berhenti melakukannya.”
     Setiap orang yang sanggup menegur dan mencegahnya wajib menegur dan mencegahnya.

Masalah ke-43:
Jika dia memulai dengan bacaan salah seorang ahli qiraah, maka hendaknya dia tetap dalam qiraah itu selama bacaannya berkaitan dengannya. Kalau hubungannya berakhir, dia bisa membaca dengan bacaan salah seorang dari ketujuh qari (yang mahir mambaca) Al-Qur’an. Pendapat yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan pertama di majelis itu.

Masalah ke-44:
Para ulama berkata: “Pendapat yang lebih terpilih adalah membaca menurut tertib Mushaf, maka dia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali-Imran, kemudian surat-surat sesudahnya menurut tertibnya, sama saja dia membaca dalam sembahyang atau di luarnya. Salah seorang sahabat kami mengatakan: “Jika dia membaca pada rakaat pertama surat Qul A’Udzu bi rabbin Naas, maka dia baca ayat sesudah Al-Fatihah dari surat Al-Baqarah.”
  Salah seoang sahabat kami berkata: Disunahkan jika mambaca suatu surat agar membaca surat berikutnya. Dalil ini ialah bahwa tertib Mushaf dijadikan demikian karena mengandung suatu hikmah. Maka patutlah dia memeliharanya, kecuali sesuatu yang telah ditentukan dalam syarak yang merupakan pengecualian, seperti sembahyang Subuh pada hari Jumaat.
   Rakaat pertama dalam sembahyang Subuh membaca surat As-Sajadah dan rakaat kedua surat Al-Insan. Dan sembahyang Hari Raya pada rakaat pertama membaca surat Qaaf dan rakaat kedua membaca surat Iqtarabatis saa’atu.
     Dalam dua rakaat sembahyang sunah Fajar, pada rakaat pertama membaca surat Qulyaa ayyuhal kaafiruun dan rakaat kedua membaca Qul huwAllah swtu Ahad. Dan tiga rakaat sembahyang witir, pada rakaat pertama, membaca surat Al-A’laa dan pada rakaat kedua membaca surat Qul yaa ayyuhal Kaafiruun dan pada rakaat ketiga membaca, Qul Huwallahtu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.
     Sekiranya tidak berturutan dengan membaca surat yang bukan surat berikutnya atau menyalahi tertib dan membaca suatu surat, kemudian membaca surat sebelumnya, hal itu diharuskan. Banyak athar diriwayatkan berkenaan dengan perkara tersebut.
    Umar Ibnul Khattab ra. telah membaca surat Al-Kahfi pada rakaat pertama sembahyang Subuh dan surat Yusuf pada rakaat kedua. Bagaimanapun, sejumlah ulama tidak menyukai jika menyalahi tertib Mushaf.
     Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Al-Hasan, bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an kecuali menurut tertibnya dalam Mushaf. Dan dia meriwayatkan dengan isnadnya yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dikatakan kepadanya: “Si fulan membaca Al-Qur’an terbaik, bagaimana pendatmu?” Abdullah menjawab: “Orang itu terbaik hatinya.”
    Sementara membaca surat mulai dari akhir hingga awalnya, dilarang dengan tegas. Karena perbuatan itu menghilangkan berbagai-bagai I’jaaz dan hikmah dari tertibnya ayat-ayat. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I seorang imam tabi’in yang mulia dan Imam Malik bin Anas bahwa keduanya tidak menyukai hal itu. Malik mencela perbuatan itu dan berkata: “Ini dosa besar.”
     Manakala mengajari anak-anak kecil dari akhir Mushaf hingga awalnya, maka itu adalah baik dan bukan termasuk bagian ini. Sesungguhnya itu adalah bacaan untuk hari-hari yang berbeda-beda di samping memudahkan mereka menghafaznya. Wallahua’lam.

Masalah ke-45:
Membaca Al-Qur’an dari Mushaf lebih utama dari pada membacanya dengan hafalan karena memandang dalam Mushaf adalah ibadah yang diperintahkan, maka berkumpullah bacaan dan pandangan itu. AL-Qadhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghazali menukil dalam Al-Ihya bahwa banyak sahabat Nabi saw dulu membaca dari Mushaf. Mereka tidak suka keluar suatu hari tanpa memandang ke dalam Mushaf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud pembacaan dalam Mushaf dari banyak ulama Salaf dan saya tidak melihat adanya perselisihan berkenaan dengan perkara tersebut.
Seandainya dikatakan: “Hal itu berbeda-beda menurut orang-orangnya, maka dipilihlah pembacaan dalam Mushaf bagi orang yang sama kekhusyukan dan perenungannya dalam kedua keadaan yaitu membaca dalam Mushaf dan dengan hafalan. Dan dipilih pembacaan dengan hafalan bagi siapa yang tidak bisa khusyuk jika membaca dengan Mushaf dan dipilih membaca dalam Mushaf jika kekhusyukan dan perhatiannya bertambah, ini pendapat yang baik. Hal yang jelas pendapat ulama Salaf dan perbuatan mereka diartikan menurut perincian ini.

Masalah ke-46:
Anjuran membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama-sama dan keutamaan bagi orang-orang yang membaca bersama-sama dan yang mendengarkannya serta keutamaan orang yang mengumpulkan, mendorong dan menganjurkan mereka melakukan hal itu.
   Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama adalah mestahab berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan perbuatan-perbuatan ulama Salaf dan Khalaf secara jelas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bahwa Baginda bersabda:“Tidaklah suatu kaum menyebut nama Allah swt bersama-sama, kecuali mereka dikelilingi oleh para malaikat, diliputi rahmat dan turun ketenangan ke atas mereka serta Allah swt menyebut mereka di antara para malaikatnya di sisi-Nya.”(Riwayat Tirmidzi dan dia berkata, hadits ini hasan shahih)
    Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra dari Nabi saw sabdanya: Terjemahan: “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah swt dengan membaca Kitabullah dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun ketenangan di antara mereka dan mereka diliputi rahnmat serta dikelilingi malaikat dan Allah swt menyebut mereka di antara para malaikat di sisi-Nya.”(Riwayat Muslim dan Abu Dawud dengan isnad shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim)
    Diriwayatkan dari Mu’awiyah ra:“Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menemui sekelompok sahabatnya. Beliau berkata, ‘Untuk apa kamu duduk?’ Mereka menjawab” ‘Kami duduk untuk menyebut nama Allah swt dan memuji-Nya karena Dia memberikan petunjuk dan menganugerahkan Islam kepada kami.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Jibril as datang kepada kami, kemudian memberitahu aku bahwa Allah swt membanggakan kamu kepada para malaikat.”(Riwayat Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi berkata:hadits hasan sahih)
  Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak jumlahnya. Ad-Darimi meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Abas ra katanya:“Barangsiapa mendengar suatu ayat dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka ayat itu menjadi cahaya baginya.”
    Dirawayatkan oleh Ibnu Abi Dawud ra, sesungguhnya Abu Darda’ tadarrus (membaca Al-Qur’an secara bersama-sama) dengan beberapa orang yang membaca bersama-sama. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan tadarrus Al-Qur’an bersama-sama secara berjamaah merupakan keutamaan-keutamaan ulama Salaf dan Khalaf serta para qadhi dan Al-Auza’I bahwa keduanya berkata: “Orang yang pertama-tama mengadakan tadarrus Al-Qur’an di masjid Damsyiq adalah Hisyam bin Ismail ketika pemerintahan Abu Muluk."
  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Adh-Dhahak bin Abdurrahman bin Arzab: “Bahwa dia mengingkari pengajian itu.” Dia berkata: “Aku tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar dan aku telah mendapati para sahabat Rasulullah saw yakni tidak kulihat seorang pun melakukannya.”
    Diriwayatkan dari Wahab, katanya: “Aku berkata kepada Malik, tidakkah engkau pernah melihat orang-orang yang berkumpul dan membaca bersama-sama suatu surat hingga mengkhatamkannya?” Maka dia mengingkari dan berkata: “Bukanlah demikian yang dilakukan mereka, tetapi seseorang membacakan kepada orang lain.”
   Pengingkaran kedua orang itu bertentangan dengan apa yang diyakini bersama oleh ulama Salaf dan Khalaf dan berdasarkan dalil yang mendukungnya. Maka anggapan itu ditinggalkan dan yang diambil kira adalah pendapat yang menganjurkannya. Bagiamanapun membaca Al-Qur’an secara berjamaah (dalam keadaan berkumpul) mempunyai syarat-syarat tertentu seperti yang akan saya kemukakan dan patut diperhatikan. Wallahua’lam.
  Sementara keutamaan orang yang mengumpulkan mereka untuk membaca Al-Qur’an, maka di dalamnya terdapat banyak nash seperti sabda Nabi saw:“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan adalah seperti pelakunya.” 
   Dan sabda Nabi saw:“Demi Allah, seorang yang diberi petunjuk oleh Allah swt dengan perantaraan lebih baik bagimu daripada unta merah.”
   Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Allah swt telah berfirman:
“Dan hendaklah kamu saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.”(QS Al-Maidah 5:2)
   Tidak ada keraguan berkenaan dengan besarnya pahala orang yang mengusahakan hal itu.

Masalah ke-47:
Membaca Al-Qur’an sambung-menyambung secara bergantian. Maksudnya adalah sejumlah orang berkumpul, setengah dari mereka membaca sepuluh ayat atau sebagian atau selian itu, kemudian diam dan lainnya meneruskan bacaan, kemudian lainnya lagi. Ini boleh dilakukan dan baik. Malik Rahimahullah telah ditanya dan dia menjawab: “Tidak ada masalah dengannya.”

Masalah ke-48:
Membaca Al-Qur’an dengan suara kuat. Ini merupakan fasal yang penting dan patut diperhatikan. Ingatlah bahwa banyak hadits dalam kitab shahih dan lainnya menunjukkan anjuran menguatkan suara ketika membaca. Terdapat bebebarapa athar yang menunjukkan anjuran memperlahankan (merendahkan) suara, di antaranya akan saya sebutkan, insya-Allah .
   Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan ulama lainnya menyatakan, cara menggabungkan antara hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan ini ialah bahwa memperlahankan suara lebih jauh dari riya. Merendahkan suara lebih utama bagi orang yang takut berbuat riya. Jika tidak takut berbuat riya, maka menguatkan suara lebih baik karena lebih banyak diamalkan dan berfaedah meluas kepada orang lain.
   Maka dengan demikian lebih baik daripada yang hanya berkenaan dengan diri sendiri. Dan karena bacaan dengan suara kuat menggugah hati pembaca dan menyatukan keinginannnya untuk memikirkan dan mengarahkan pendengarannya kepadanya, mengusir tidur, manambah kegiatan dan menggugah orang lain yang tidur dan orang yang lalai serta menggiatkannya.
   Mereka berkata: “Meskipun keutamaan tersebut bergantung pada niatnya, namun menguatkan suara jauh lebih baik, jika niat-niat ini berkumpul, maka pahalanya berlipat ganda.
     Al-Ghazali berkata: “Justru, kami katakan: “Membaca di dalam Mushaf lebih baik, ini adalah hukum masalahnya.”
    Banyak athar yang menukil berkenaan dengan perkara tersebut dan saya kemukakan sebagian daripadanya. Diriwayatkan dalam kitab sahih dari Abu Hurairah ra katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:“Tidaklah Allah mendengar sesuatu seperti yang di dengar-Nya dari seorang Nabi yang bagus suaranya melagukan Al-Qur’an dan menguatkan suaranya.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
  Perkataan “mendengar” itu adalah isyarat kepada keridhaan dan penerimaan. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya:“Engkau telah diberi seruling dari seruling-serilung keluarga Dawud.”(Riwayata Bukhari & Muslim)
  Dalam suatu riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata kepadanya:“Aku bermimpi mendengar bacaanmu semalam.”Riwayat Muslim)
   Dia meriwayatkannya dari Barid Ibnu Ak-Khushaib.
  Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Sungguh Allah lebih mendengar orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu daripada pemilik hamba perempuan kepada hamba perempuannya.”(Riwayat Ibnu Majah)
  Diriwayatkan dari Abu Musa pula, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Sungguh aku mengenal suara rombongan Al-Asy’ariyyin waktu malam ketika mereka masuk dan aku mengenal tempat-tempat mereka dari suara mereka ketika membaca Al-Qur’an waktu malam, meskipun aku tidak melihat tempat-tempat mereka ketika mereka berhenti pada waktu siang.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
  Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Hiasilah Al-Qur’an dengan suramu.”(Riwayat Abu Dawud Nasa’i dan lainnya)
  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ali ra bahwa dia mendengar suara orang-orang membaca Al-Qur’an di dalam masjid, kemudian dia berkata: “Beruntunglah mereka ini. Mereka orang-orang yang paling disukai Rasulullah saw.”
  Terdapat banyak hadits berkenaan dengan membaca Al-Qur’an dengan suara kuat. Manakala athar-athar tentang perkataan dan perbuatan para sahabat dan tabi’in, maka jumlahnya tidak terhitung banyaknya dan amat mansyur. Semua ini berkenaan dengan orang yang tidak takut riya dan tiak takut menyombongkan diri ataupun perbuatan-perbuatan buruk lainnya serta tidak menganggagu jamaah karena mengacaukan sembahyang mereka dan menggelirukannya.
  Telah dinukilkan dari jamaah Salaf bahwa mereka lebih suka memperlahankan suara karena takut apa yang kita sebutkan itu.
  Diriwayatkan dari Al-A’Masy, katanya: “Aku masuk ke rumah Ibrahim yang sedang membaca Mushaf Al-Qur’an. Kemudian seorang lelaki minta izin kepadanya, lalu dia menutupinya sambil berkata: “Jangan sampai orang itu mengetahui kalau aku membacanya setiap masa.”
   Diriwayatkan dari Abu Al-‘Aliyah, katanya: “Aku duduk bersama para sahabat Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Semalam aku membaca dari sini.’ Maka mereka berkata, ‘Itu bagian kamu.”
   Dia berdalil kepada mereka ini dengan hadits Uqbah bin Amir ra, katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang kuat seperti orang yang bersedekah terang-terangan dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam seperti orang yang bersedekah dengan diam-diam.”Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
   Tirmidzi menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan, katanya: “Maksudnya ialah orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam lebih baik daripada orang yang membacanya dengan suara kuat. Sebab sedekah dengan diam-diam lebik baik menurut ahli ilmu daripada sedekah secara terang-terangan.”
   Dia menyatakan, makna hadits ini menurut ahli ilmu adalah supaya orang terhindar dari kesombongan atas dirinya sebagaimana diragukan atasnya jika melakukannya dengan terang-terangan.
   Saya katakan, semua itu sesuai dengan penjelasan yang telah saya jelaskan secara terperinci di awal fasal ini. Jika takut mengalami sesuatu yang tidak diinginkan dengan sebab menguatkan suara, maka janganlah menuatkan suara. Jika tidak takut mengalami hal itu, diutamakan menguatkan suara. Jika bacaan dilakukan oleh jamaah secara bersama-sama, maka diutamakan sekali agar menguatkan suara berdasarkan alasan yang kemudian dan karena cara itu bermanfaat bagi orang lain. Wallahua’lam.

Bersambung: At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar