Masalah ke-36:
Anjuran
mengulang-ulang
ayat untuk direnungkan. Telah kami kemukakan dalam fasal
sebelumnya anjuran untuk merenungkan dan menjelaskan pengaruhnya serta
peninggalan
tradisi ulama Salaf. Telah kami terima riwayat dari Abu Dzarr ra Dia
berkata:“Nabi saw mengulang-ulangi satu ayat sehingga pagi."
Ayat itu adalah:“Jika Engkau siksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu” Surat Al-Maidah: 118 Riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah)
Ayat itu adalah:“Jika Engkau siksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu” Surat Al-Maidah: 118 Riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah)
Diriwayatkan
dari
Tamim Ad-Dariy ra bahwa dia mengulang-ulang ayat ini sehingga
pagi:“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu menyangka bahwa
Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh.”(QS Al-Jaathiyah 45:21)
Diriwayatkan dari Ubbad bin Hamzah, katanya: Aku masuk kepada
Asma’ra dan dia sedang membaca:“Maka Allah swt memberikan anugerah kepada kami dan memelihara kami dari seiksa
neraka.”(QS Ath-Thuur 52:27)
Maka saya berhenti di sampingnya dan Asma’ terus mengulanginya
serta berdoa. Saya cukup lama berhenti di situ, maka aku pergi ke pasar.
Setelah selesai membeli keperluan-keperluanku, aku kembali lagi padanya dan dia
masih mengulang-ulang bacaan ayat tersebut dan berdoa. Kami meriwayatkan kisah
ini dari Aisyah ra.
Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat:“Ya Tuhanku, tambahilah ilmuku.”(QS Thaha: 114)
Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat:“Ya Tuhanku, tambahilah ilmuku.”(QS Thaha: 114)
Said
bin Jubair mengulang-ulang ayat:Dan peliharalah dirimu dari (siksa yang berlaku pada) hari yang pada waktu itu
kamu dikembalikan kepada Allah swt.”(QS Al-Baqarah 2:281)
Dia juga mengulang-ulang ayat:“Kelak mereka akan mengetahui belenmggu dan rantai diikatkan di leher mereka…”(QS Al-Mu’min 40:70-71)
Dia juga mengulang-ulang ayat:“Kelak mereka akan mengetahui belenmggu dan rantai diikatkan di leher mereka…”(QS Al-Mu’min 40:70-71)
Dia
juga mengulang-ulang ayat:“Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah.”(QS Al-Infithar 82:6)
Dhahak
apabila membaca firman Allah swt sebagai berikut dia
mengulang-ulang sehingga waktu sahur. Yaitu firman Allah swt:“Bagi
mereka lapisan-lapisan dari api atas mereka dan di bawah mereka pun
lapisan-lapisan (dari Api) juga.”(QS Az-Zumar 9:16)
Masalah ke-37:
Menangis
ketika membaca Al-Qur’an. Telah diterangkan dalam dua fasal yang terdahulu
berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan tangis ketika membaca Al-Qur’an. Menangis
ketika membaca Al-Qur’an merupaan sifat orang-orang yang arif dan syiar
hamba-hamba Allah Yang shaleh. Allah berfirman:“Dan mereka menyukur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyuk.”(QS
Al-Israa 17:109)
Diriwayatkan sejumlah hadits dan athar Salaf. Antara lain,
diriwayatkan dari Nabi saw sabdanya:“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Jika kamu tidak menangis, maka usahakanlah
supaya menangis.”
Diriwayatkan
dari Umar Ibnul Khattab ra bahwa dia mengimami jamaah sembahyang Subuh dan
membaca Surat Yusuf. Dia menangis hingga mengalir air matanya hingga membasahi
tulang bahunya. Dalam suatu riwayat, kejadian itu berlangsung dalam sembahyang
Isyak. Maka hal itu menunjukkan berlakunya pengulangan bacaan. Dalam suatu
riwayat, dia menangis hingga mereka mendengar tangisannya dari belakang
shaf-shaf. Diriwayatkan dari Abu Raja’, katanya: “Kulihat Ibnu Abbas di bawah
kedua matanya nampak bekas seperti tali selipar yang usang lantaran air mata.”
Diriwayatkan dari Abu Shahih, katanya: Beberapa orang datang
dari Yaman menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mereka membaca Al-Qur’an dan mereka
menangis. Kemudian Abu Bakar berkata: “Demikianlh keadaan kami jika membaca
Al-Qurna.”
Diriwayatkan dari Hisyam, katanya: “Terkadang aku mendengar
tangis Muhammad bin Sirin pada waktu malam ketika dia sedang sembahyang.”
Banyak athar yang menerangkan yang demikian itu yang tidak
mungkin menghitungnya. Apa yang telah saya kemukakan dan saya tunjukkan kiranya
sudah memadai. Wallahua’lam.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunahkan pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat.” Jika tidak bisa menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunahkan pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat.” Jika tidak bisa menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.
Masalah ke-38:
Hendaklah
membaca Al-Qur’an dengan tartil. Para ulama
telah sependapat atas anjuran melakukan tartil. Allah berfirman:“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.”(QS Al-Muzzammil 73:4)
Diriwayatkan dari Ummi Salamah ra bahwa dia menggambarkan bacaan
Rasulullah saw sebagai bacaan yang jelas huruf demi huruf.”(Riwayat Abu Dawud, Nasa’I dan
Tirmidzi. Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih)
Diriwayatkan dari Mu’awiyyah bin Qurrah ra dari Abdullah bin
Mughaffal ra dia berkata:“Aku melihat Rasulullah saw pada hari penaklukan Mekah di atas untanya sedang
membaca Surat Al-Fatihah dan mengulang-ulang bacaannya.”(Riwayat Bukhari &
Muslim)
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra Dia berkata: “Aku lebih suka membaca satu surat secara tartil daripada membaca Al-Qur’an
seluruhnya.”
Diriwayatkan
dari Mujahid bahwa dia ditanya tentang dua orang, seorang membaca surat Al-Baqarah dan
Ali-Imran sedangkan lainnya membaca surat
Al-Baqarah saja. Waktunya, rukuk, sujud dan duduknya sama. Mujahid menjawab:
“Orang yang membaca Surat Al-Baqarah saja lebih baik.”
Dilarang
membaca Al-Qur’an secara asal jadi dengan cepat sekali. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud bahwa seorang lelaki berkata kepadanya: “Aku membaca
Al-Mufashshal dalam satu rakaat.” Maka Abdullah bin Mas’ud menjawab:
“Demikianlah, demikianlah syair itu. Sesungguhnya ada orang yang membaca Al-Qur’an
dan tidak melampaui tenggorokan mereka. Bagaimanapun jika masuk di hati dan
menjadi kukuh di dalamnya, mka ia pun berguna.” (Riwayat
Bukhari & Muslim)
Para ulama
berkata: “Membaca Al-Qur’an dengan tartil itu disunahkan untuk merenungkan
artinya.” Mereka berkata: “Membaca dengan tartil disunahkan bagi orang bukan
Arab yang tidak memahami maknanya karena hal itu lebih dekat kepada pengagungan
dan penghormatan serta lebih berpengaruh di dalam hati.”
Masalah ke-39:
Diutamakan
jika melalui ayat yang mengandung rahmat agar memohon kepada Allah swt dan
apabila melalui yang mengandung siksaan agar memohon perlindungan kepada Allah
swt dari kejahatan dan siksaan. Atau berdoa: “Ya Allah, aku mohon kesehatan
kepada-Mu atau keselamatan dari setiap bencana.” Jika melalui ayat yang
mengandung tanzih (penyucian) Allah swt maka dia sucikan Allah swt dengan
ucapan, Subhanalahi wa Ta’ala atau Tabaroka wa Ta’ala atau Jallat Azhamatu
Rabbina.
Diriwayatkan
dari Hudzifah Ibnul Yaman ra Dia berkata: “Pada suatu malam aku sembahyang
bersama Nabi saw Bliau memulai dengan Surat Al-Baqarah, beliau rukuk ketika
mencapai seratus ayat, kemudian meneruskan. Maka saya katakan, beliau rukuk dengan
membacanya. Kemudian beliau memulai surat
An-Nisa’ dan membacanya, kemudian memulai suart Ali-Imran dan membacanya dengan
perlahan-lahan. Jika melalui suatu ayat yang terdapat tasbih di dalamnya,
beliau bertasbih. Dan apabila melalui permohonan, beliau memohon. Jika melalui
ta’awuudz, beliau memohon perlindungan.”(Riwayat
Bukhari & Muslim)
Letak Surat An-Nisa’ pada waktu itu didahulukan sebelum Surat
Ali-Imran.
Para sahabat kami rahimahullah
berkata, memohon, meminta perlindungan dan bertasbih itu disunahkan bagi setiap
pembaca Al-Qur’an, sama saja di dalam sembahyang atau di luarnya. Mereka
berkata: “Semua itu disunahkan dalam sembahyang sendirian. Karena itu adalah
doa maka merea semnua sama dalam hal itu, seperti ucapan Aamiin sesudah
Al-Fatihah.
Apa yang saya sebutkan berkenaan dengan sunahnya, memohon dan
isti’adzah tersebut adalah menurut madzhab Asy-Syafi’i ra dan mayoritas ulama
rahimahullah. Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Hal itu tidak diutamakan, bahkan
tidak disukai dalam sembahyang.” Pendapat yang lebih benar adalah pendapat
mayoritas sebagaimana saya kemukakan.
Masalah ke-40:
Hal
yang perlu diperhatikan dan amat ditekankan adalah memuliakan Al-Qur’an dari
hal-hal yang kadang-kadang diabaikan oleh sebagian orang yang lalai ketika
membaca bersama-sama. Diantaranya menghindari tertawa, berbuat bising dan
bercakap-cakap di tengah pembacaan, kecuali perkataan yang perlu diucapkan.
Hendaklah dia mematuhi firman Allah swt:“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”(QS Al-A’raf 7:204)
Hendaklah dia mematuhi firman Allah swt:“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”(QS Al-A’raf 7:204)
Hendaklah dia mengikuti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud
dari Ibnu Umar ra bahwa apabila membaca Al-Qur’an dia tidak bercakap sehingga
selesai. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya dan dia
berkata: “Tidak bercakap-cakap hingga selesai membaaca.” Dia menyebutnya dalam kitab
At-Tafsir berkenaan dengan firman Allah swt:“Istri-istrimu adalah ladang bagimu.”(QS Al-Baqarah 2:223)
Termasuk perbuatan tercela adalah mempermainkan tangan lainnya
karena dia sedang bermunajat kepada Allah swt. Maka janganlah dia bermain di
hadapan-Nya. Diantaranya adalah memandang kepada sesuatu yang dapat melalaikan
dan melencengkan pikiran dan tumpuan.
Lebih buruk dari semua itu adalah memandang kepada sesuatu yang
tidak bisa dipandang, seperti orang lelaki yang mulus wajahnya dan yang
seumpamanya. Karena memandang kepada laki-laki yang berwajah mulus dan tampan
tanpa keperluan adalah haram, sama saja dengan syahwat ataupun tanpa syshwat,
sama saja aman dari fitnah atau tidak aman. Ini adalah madzhab yang shahih dan
terpilih di kalangan ulama. Imam Asy-Syafi’i dan para ulama yang tidak sedikit
jumlahnya telah menyebutkan pengharamannya.
Dalilnya
ialah firman Allah swt:“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya.” (QS An-Nur 24:30)
Karena lelaki mulus lagi cantik cenderung dijadikan pasangan homoseks, sama dengan perempuan. Bahkan bisa jadi sebagian atau banyak dari mereka lebih bagus dari banyak perempuan dan lebih memungkinkan terjadinya kejahatan padanya serta lebih mudah dari perempuan. Maka pengharamannya itu lebih utama. Pendapat-pendapat ulama saja yang memperingatkan terhadap mereka banyak sekali jumlahnya. Para ulama menanamkan mereka orang busuk karena menimbulkan rasa jijik menurut syarak.
Karena lelaki mulus lagi cantik cenderung dijadikan pasangan homoseks, sama dengan perempuan. Bahkan bisa jadi sebagian atau banyak dari mereka lebih bagus dari banyak perempuan dan lebih memungkinkan terjadinya kejahatan padanya serta lebih mudah dari perempuan. Maka pengharamannya itu lebih utama. Pendapat-pendapat ulama saja yang memperingatkan terhadap mereka banyak sekali jumlahnya. Para ulama menanamkan mereka orang busuk karena menimbulkan rasa jijik menurut syarak.
Manakala memandang kepadanya ketika berjual beli, mengambil dan
memberi, berobat dan mengajar serta hal-hal lain yang diperlukan, hukumnya boleh
karena adanya keperluan yang dibenarkan secara syar’i. Bagaimanapun
pandangannya adalah sekedar keperluan dan tidak terus memandang tanpa
keperluan. Demikian jugalah guru yang diharuskan memandang sesuatu yang
diperlukannya dan haram atas mereka dalam segala keadaan memandang dengan
syahwat.
Ini
tidak khusus berkaitan dengan lelaki yang mulus wajahnya, bahkn haram atas
setiap mukallaf memandang dengan syahwat kepada setiap orang, sama saja lelaki
ataupun perempuan. Sama saja perempuan itu masih mahramnya atau bukan, kecuali
istri atau hamba perempuan yang bisa digalauli. Bahkan sahabat kami mengatakan:
Diharamkan memandang dengan syahwat kepada mahramnya seperti suadara
perempuannya dan ibunya.” Wallahua’lam.
Diwajibkan
atas orang-orang yang menghadiri majelis membaca Al-Qur’an jika melihat sesuatu
kemungkaran-kemungkaran tersebut atau lainnya agar melarangnya sekuat tenaga
dengan tangan bagi siapa yang mampu dan dengan lisan bagi siapa yang tidak
mampu melakukannya dengan tangan dan mampu melakukannya dengan lisan. Jika
tidak sanggup dengan semua itu, maka dengan hatinya (membencinya adalah hati). Wallahua’lam.
Masalah ke-41:
Tidak
bisa membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, sama saja dia bisa berbahasa
Arab dengan baik atau tidak bisa, sama saja di dalam sembahyang ataupun di luar
sembahyang. Jika dia membaca Al-Qur’an dalam sembahyang dengan selain bahasa
Arab, maka sembahyangnya tidak sah. Ini adalah madzhab kami dan madzhab Imam
Malik, Ahmad, Dawud dan Abu Bakar Ibnul Mundzir. Sedangkan Abu Hanifah berkata:
“Diharuskan membaca dengan selain bahasa Arab dan sembahyangnya sah.”
Abu
Yusuf dan Muhammad berkata: “Boleh bagi orang yang tidak baik bahasa Arabnya
dan tidak bisa bagi orang yang bisa membaca bahasa Arab dengan baik.”
Masalah ke-42:
Diharuskan
membaca Al-Qur’an dengan tujuh qiraat seperti bacaan yang disetujui. Dan tidak
bisa dengan selain yang tujuh bacaan itu dan tidak pula dengan riwayat-riwayat
asing yang dinukil (diambil) dari ketujuh ahli qiraah itu.
Akan dijelaskan dalam bagian ketujuh Insya Allah swt berkenaan
dengan kesepakatan para fuqaha untuk menyuruh bertaubat bagi orang yang membaca
dengan bahasa asing apabila dia membacanya demikian. Sahabat kami dan lainnya
berkata: “Sekiranya membaca dengan bahasa asing di dalam sembahyang, batallah sembahyangnya
jika dia mengetahui. Jika tidak mengetahui, maka tidak batal sembahyangnya dan
tidak dikira bacaan itu baginya.”
Imam
Abu Umar bin Andul Bar Al-Hafizh telah menukil jima’ul muslimin. Bahwa tidak bisa
membaca dengan bacaan yang asing (syadz) dan tidak bisa sembahyang di belakang
orang yang membaca dengan bacaan syadz. Para
ulama berkata: “Barangsiapa membaca dengan bacaan syadz sedang dia tidak
mengetahuinya atau tidak mengeatahui pengharamannya, maka dia diberitahu
tentang hal itu. Jika kembali melakukannya atau dia mengetahui bacaan syadz
itu, maka dia pun dihukum dengan keras hingga berhenti melakukannya.”
Setiap
orang yang sanggup menegur dan mencegahnya wajib menegur dan mencegahnya.
Masalah ke-43:
Jika
dia memulai dengan bacaan salah seorang ahli qiraah, maka hendaknya dia tetap
dalam qiraah itu selama bacaannya berkaitan dengannya. Kalau hubungannya
berakhir, dia bisa membaca dengan bacaan salah seorang dari ketujuh qari (yang
mahir mambaca) Al-Qur’an. Pendapat yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan
pertama di majelis itu.
Masalah ke-44:
Para
ulama berkata: “Pendapat yang lebih terpilih adalah membaca menurut tertib
Mushaf, maka dia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali-Imran,
kemudian surat-surat sesudahnya menurut tertibnya, sama saja dia membaca dalam
sembahyang atau di luarnya. Salah seorang sahabat kami mengatakan: “Jika dia
membaca pada rakaat pertama surat
Qul A’Udzu bi rabbin Naas, maka dia baca ayat sesudah Al-Fatihah dari surat Al-Baqarah.”
Salah seoang sahabat kami berkata: Disunahkan jika mambaca suatu
surat agar
membaca surat
berikutnya. Dalil ini ialah bahwa tertib Mushaf dijadikan demikian karena
mengandung suatu hikmah. Maka patutlah dia memeliharanya, kecuali sesuatu yang
telah ditentukan dalam syarak yang merupakan pengecualian, seperti sembahyang
Subuh pada hari Jumaat.
Rakaat pertama dalam sembahyang Subuh membaca surat As-Sajadah dan rakaat kedua surat Al-Insan. Dan
sembahyang Hari Raya pada rakaat pertama membaca surat Qaaf dan rakaat kedua membaca surat Iqtarabatis
saa’atu.
Dalam
dua rakaat sembahyang sunah Fajar, pada rakaat pertama membaca surat Qulyaa ayyuhal kaafiruun dan rakaat
kedua membaca Qul huwAllah swtu Ahad. Dan tiga rakaat sembahyang witir, pada rakaat
pertama, membaca surat
Al-A’laa dan pada rakaat kedua membaca surat
Qul yaa ayyuhal Kaafiruun dan pada rakaat ketiga membaca, Qul Huwallahtu Ahad dan
Al-Mu’awwidzatain.
Sekiranya
tidak berturutan dengan membaca surat
yang bukan surat
berikutnya atau menyalahi tertib dan membaca suatu surat, kemudian membaca surat sebelumnya, hal itu diharuskan. Banyak
athar diriwayatkan berkenaan dengan perkara tersebut.
Umar
Ibnul Khattab ra. telah membaca surat
Al-Kahfi pada rakaat pertama sembahyang Subuh dan surat Yusuf pada rakaat kedua. Bagaimanapun,
sejumlah ulama tidak menyukai jika menyalahi tertib Mushaf.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dari Al-Hasan, bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an
kecuali menurut tertibnya dalam Mushaf. Dan dia meriwayatkan dengan isnadnya
yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dikatakan kepadanya: “Si fulan
membaca Al-Qur’an terbaik, bagaimana pendatmu?” Abdullah menjawab: “Orang itu
terbaik hatinya.”
Sementara
membaca surat
mulai dari akhir hingga awalnya, dilarang dengan tegas. Karena perbuatan itu
menghilangkan berbagai-bagai I’jaaz dan hikmah dari tertibnya ayat-ayat.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I seorang imam tabi’in
yang mulia dan Imam Malik bin Anas bahwa keduanya tidak menyukai hal itu. Malik
mencela perbuatan itu dan berkata: “Ini dosa besar.”
Manakala
mengajari anak-anak kecil dari akhir Mushaf hingga awalnya, maka itu adalah
baik dan bukan termasuk bagian ini. Sesungguhnya itu adalah bacaan untuk hari-hari
yang berbeda-beda di samping memudahkan mereka menghafaznya. Wallahua’lam.
Masalah ke-45:
Membaca
Al-Qur’an dari Mushaf lebih utama dari pada membacanya dengan hafalan karena
memandang dalam Mushaf adalah ibadah yang diperintahkan, maka berkumpullah
bacaan dan pandangan itu. AL-Qadhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghazali menukil
dalam Al-Ihya bahwa banyak sahabat Nabi saw dulu membaca dari Mushaf. Mereka
tidak suka keluar suatu hari tanpa memandang ke dalam Mushaf. Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Dawud pembacaan dalam Mushaf dari banyak ulama Salaf dan saya tidak
melihat adanya perselisihan berkenaan dengan perkara tersebut.
Seandainya
dikatakan: “Hal itu berbeda-beda menurut orang-orangnya, maka dipilihlah
pembacaan dalam Mushaf bagi orang yang sama kekhusyukan dan perenungannya dalam
kedua keadaan yaitu membaca dalam Mushaf dan dengan hafalan. Dan dipilih
pembacaan dengan hafalan bagi siapa yang tidak bisa khusyuk jika membaca dengan
Mushaf dan dipilih membaca dalam Mushaf jika kekhusyukan dan perhatiannya
bertambah, ini pendapat yang baik. Hal yang jelas pendapat ulama Salaf dan
perbuatan mereka diartikan menurut perincian ini.
Masalah ke-46:
Anjuran
membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama-sama dan keutamaan bagi orang-orang
yang membaca bersama-sama dan yang mendengarkannya serta keutamaan orang yang mengumpulkan,
mendorong dan menganjurkan mereka melakukan hal itu.
Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama
adalah mestahab berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan perbuatan-perbuatan
ulama Salaf dan Khalaf secara jelas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu
Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bahwa Baginda bersabda:“Tidaklah suatu kaum menyebut nama Allah swt bersama-sama, kecuali mereka
dikelilingi oleh para malaikat, diliputi rahmat dan turun ketenangan ke atas
mereka serta Allah swt menyebut mereka di antara para malaikatnya di sisi-Nya.”(Riwayat Tirmidzi dan dia berkata, hadits
ini hasan shahih)
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra dari Nabi saw sabdanya: Terjemahan:
“Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah swt dengan
membaca Kitabullah dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun ketenangan
di antara mereka dan mereka diliputi rahnmat serta dikelilingi malaikat dan Allah
swt menyebut mereka di antara para malaikat di sisi-Nya.”(Riwayat Muslim dan Abu Dawud
dengan isnad shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan
dari Mu’awiyah ra:“Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menemui sekelompok sahabatnya. Beliau
berkata, ‘Untuk apa kamu duduk?’ Mereka menjawab” ‘Kami duduk untuk menyebut
nama Allah swt dan memuji-Nya karena Dia memberikan petunjuk dan
menganugerahkan Islam kepada kami.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Jibril as
datang kepada kami, kemudian memberitahu aku bahwa Allah swt membanggakan kamu
kepada para malaikat.”(Riwayat Tirmidzi dan Nasa’i.
Tirmidzi berkata:hadits hasan sahih)
Hadits-hadits
berkenaan dengan perkara tersebut banyak
jumlahnya. Ad-Darimi meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Abas ra
katanya:“Barangsiapa mendengar suatu ayat dari Kitabullah (Al-Qur’an),
maka ayat itu
menjadi cahaya baginya.”
Dirawayatkan oleh Ibnu Abi Dawud ra, sesungguhnya Abu Darda’
tadarrus (membaca Al-Qur’an secara bersama-sama) dengan beberapa orang yang
membaca bersama-sama. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan tadarrus Al-Qur’an
bersama-sama secara berjamaah merupakan keutamaan-keutamaan ulama Salaf dan
Khalaf serta para qadhi dan Al-Auza’I bahwa keduanya berkata: “Orang yang pertama-tama
mengadakan tadarrus Al-Qur’an di masjid Damsyiq adalah Hisyam bin Ismail ketika
pemerintahan Abu Muluk."
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dari Adh-Dhahak bin Abdurrahman bin Arzab: “Bahwa dia
mengingkari pengajian itu.” Dia berkata: “Aku tidak pernah melihat dan tidak
pernah mendengar dan aku telah mendapati para sahabat Rasulullah saw yakni
tidak kulihat seorang pun melakukannya.”
Diriwayatkan
dari Wahab, katanya: “Aku berkata kepada Malik, tidakkah engkau pernah melihat
orang-orang yang berkumpul dan membaca bersama-sama suatu surat hingga mengkhatamkannya?” Maka dia
mengingkari dan berkata: “Bukanlah demikian yang dilakukan mereka, tetapi
seseorang membacakan kepada orang lain.”
Pengingkaran
kedua orang itu bertentangan dengan apa yang diyakini bersama oleh ulama Salaf
dan Khalaf dan berdasarkan dalil yang mendukungnya. Maka anggapan itu
ditinggalkan dan yang diambil kira adalah pendapat yang menganjurkannya.
Bagiamanapun membaca Al-Qur’an secara berjamaah (dalam keadaan berkumpul)
mempunyai syarat-syarat tertentu seperti yang akan saya kemukakan dan patut
diperhatikan. Wallahua’lam.
Sementara
keutamaan orang yang mengumpulkan mereka untuk membaca
Al-Qur’an, maka di dalamnya terdapat banyak nash seperti sabda Nabi
saw:“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan adalah seperti pelakunya.”
Dan sabda Nabi saw:“Demi Allah, seorang yang diberi petunjuk oleh Allah swt dengan perantaraan lebih baik bagimu daripada unta merah.”
Dan sabda Nabi saw:“Demi Allah, seorang yang diberi petunjuk oleh Allah swt dengan perantaraan lebih baik bagimu daripada unta merah.”
Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak dan
mansyur. Allah swt telah berfirman:
“Dan hendaklah kamu saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.”(QS Al-Maidah 5:2)
“Dan hendaklah kamu saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.”(QS Al-Maidah 5:2)
Tidak ada keraguan berkenaan dengan besarnya pahala orang yang mengusahakan
hal itu.
Masalah ke-47:
Membaca
Al-Qur’an sambung-menyambung secara bergantian. Maksudnya adalah sejumlah orang
berkumpul, setengah dari mereka membaca sepuluh ayat atau sebagian atau selian
itu, kemudian diam dan lainnya meneruskan bacaan, kemudian lainnya lagi. Ini boleh
dilakukan dan baik. Malik Rahimahullah telah ditanya dan dia menjawab: “Tidak
ada masalah dengannya.”
Masalah ke-48:
Membaca
Al-Qur’an dengan suara kuat. Ini merupakan fasal yang penting dan patut
diperhatikan. Ingatlah bahwa banyak hadits dalam kitab shahih dan lainnya
menunjukkan anjuran menguatkan suara ketika membaca. Terdapat bebebarapa athar
yang menunjukkan anjuran memperlahankan (merendahkan) suara, di antaranya akan saya
sebutkan, insya-Allah .
Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan ulama lainnya menyatakan, cara
menggabungkan antara hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan ini ialah
bahwa memperlahankan suara lebih jauh dari riya. Merendahkan suara lebih utama
bagi orang yang takut berbuat riya. Jika tidak takut berbuat riya, maka
menguatkan suara lebih baik karena lebih banyak diamalkan dan berfaedah meluas
kepada orang lain.
Maka
dengan demikian lebih baik daripada yang hanya berkenaan dengan diri sendiri.
Dan karena bacaan dengan suara kuat menggugah hati pembaca dan menyatukan
keinginannnya untuk memikirkan dan mengarahkan pendengarannya kepadanya,
mengusir tidur, manambah kegiatan dan menggugah orang lain yang tidur dan orang
yang lalai serta menggiatkannya.
Mereka
berkata: “Meskipun keutamaan tersebut bergantung pada niatnya, namun menguatkan
suara jauh lebih baik, jika niat-niat ini berkumpul, maka pahalanya berlipat
ganda.
Al-Ghazali
berkata: “Justru, kami katakan: “Membaca
di dalam Mushaf lebih baik, ini adalah hukum masalahnya.”
Banyak
athar yang menukil berkenaan dengan perkara tersebut dan saya kemukakan
sebagian daripadanya. Diriwayatkan dalam kitab sahih dari Abu Hurairah ra
katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:“Tidaklah Allah mendengar sesuatu seperti yang di dengar-Nya dari seorang Nabi
yang bagus suaranya melagukan Al-Qur’an dan menguatkan suaranya.”(Riwayat
Bukhari & Muslim)
Perkataan “mendengar” itu adalah isyarat kepada keridhaan dan
penerimaan. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah saw
bersabda kepadanya:“Engkau telah diberi seruling dari seruling-serilung keluarga Dawud.”(Riwayata Bukhari &
Muslim)
Dalam suatu riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw
berkata kepadanya:“Aku bermimpi mendengar bacaanmu semalam.”Riwayat
Muslim)
Dia meriwayatkannya dari Barid Ibnu Ak-Khushaib.
Diriwayatkan
dari
Fudhalah bin Ubaid ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Sungguh Allah
lebih mendengar orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang
merdu daripada pemilik hamba perempuan kepada hamba
perempuannya.”(Riwayat
Ibnu Majah)
Diriwayatkan
dari
Abu Musa pula, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Sungguh aku mengenal
suara rombongan Al-Asy’ariyyin waktu malam ketika mereka
masuk dan aku mengenal tempat-tempat mereka dari suara mereka ketika
membaca Al-Qur’an
waktu malam, meskipun aku tidak melihat tempat-tempat mereka ketika
mereka
berhenti pada waktu siang.”(Riwayat Bukhari &
Muslim)
Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib ra, katanya: Rasulullah saw
bersabda:“Hiasilah Al-Qur’an dengan suramu.”(Riwayat
Abu Dawud Nasa’i dan lainnya)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ali ra bahwa dia mendengar
suara orang-orang membaca Al-Qur’an di dalam masjid, kemudian dia berkata:
“Beruntunglah mereka ini. Mereka orang-orang yang paling disukai Rasulullah saw.”
Terdapat banyak hadits berkenaan dengan membaca Al-Qur’an dengan
suara kuat. Manakala athar-athar tentang perkataan dan perbuatan para sahabat
dan tabi’in, maka jumlahnya tidak terhitung banyaknya dan amat mansyur. Semua
ini berkenaan dengan orang yang tidak takut riya dan tiak takut menyombongkan
diri ataupun perbuatan-perbuatan buruk lainnya serta tidak menganggagu jamaah
karena mengacaukan sembahyang mereka dan menggelirukannya.
Telah
dinukilkan dari jamaah Salaf bahwa mereka lebih suka memperlahankan suara
karena takut apa yang kita sebutkan itu.
Diriwayatkan
dari Al-A’Masy, katanya: “Aku masuk ke rumah Ibrahim yang sedang membaca Mushaf
Al-Qur’an. Kemudian seorang lelaki minta izin kepadanya, lalu dia menutupinya
sambil berkata: “Jangan sampai orang itu mengetahui kalau aku membacanya setiap
masa.”
Diriwayatkan dari Abu Al-‘Aliyah, katanya: “Aku duduk bersama
para sahabat Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Semalam aku
membaca dari sini.’ Maka mereka berkata, ‘Itu bagian kamu.”
Dia berdalil kepada mereka ini dengan hadits Uqbah bin Amir ra,
katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang kuat seperti orang yang
bersedekah terang-terangan dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam seperti
orang yang bersedekah dengan diam-diam.”Riwayat
Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Tirmidzi
menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan, katanya: “Maksudnya ialah
orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam lebih baik daripada orang yang
membacanya dengan suara kuat. Sebab sedekah dengan diam-diam lebik baik menurut
ahli ilmu daripada sedekah secara terang-terangan.”
Dia
menyatakan, makna hadits ini menurut ahli ilmu adalah supaya orang terhindar
dari kesombongan atas dirinya sebagaimana diragukan atasnya jika melakukannya
dengan terang-terangan.
Saya katakan, semua itu sesuai dengan penjelasan yang telah saya
jelaskan secara terperinci di awal fasal ini. Jika takut mengalami sesuatu yang
tidak diinginkan dengan sebab menguatkan suara, maka janganlah menuatkan suara.
Jika tidak takut mengalami hal itu, diutamakan menguatkan suara. Jika bacaan
dilakukan oleh jamaah secara bersama-sama, maka diutamakan sekali agar
menguatkan suara berdasarkan alasan yang kemudian dan karena cara itu bermanfaat
bagi orang lain. Wallahua’lam.
Bersambung: At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar