Fariz Salman Alfarisi: At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 3

Laman

26/09/12

At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 3


BAB VI:
ADAB DAN ETIKA MEMBACA Al-Qur’an

Bisa dikatakan bagian inilah merupakan tujuan utama penulisan kitab ini, sehingga banyak hala yang meski dipersoalkan dengan lebih teliti dan mendetail untuk memperoleh kejelasan yang sempurna. Dengan segala usaha, saya coba menjelaskan beberapa hal dari tujuannya dengan menghindari pembahasan yang panjang lebar, supaya tidak menjemukan pembaca.
  Sebab orang yang membaca Al-Qur’an sudah sepatutnya menunjukkan keikhlasan - sebagaimana yang telah saya kemukakan -  dan menjaga adab terhadap Al-Qur’an. Maka patutlah dia menghadirkan hatinya karena dia sedang bermunajat kepada Allah swt dan membaca Al-Qur’an seperti keadaan orang yang melihat Allah swt, jika dia tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah swt melihatnya.

Masalah ke-28:
Jika hendak membaca Al-Qur’an, hendaklah dia membersihkan mulut dengan siwak atau lainnya. Pendapat yang lebih terpilih berkenan dengan siwak ialah menggunakan kayu Arak. Bisa juga dengan kayu-kayu lainnya atau dengan sesuatu yang dapat membersihkan, seperti kain kasar dan lainnya.
    Adapun tentang penggunaan jari yang kasar ada tiga pendapat di kalangan pengikut Asy-Syafi’i. Pendapat yang lebih masyur adalah tidak mendapat sunahnya. Kedua adalah dapat menghasilkan sunahnya. Dapat sunahnya jika tidak mendapat lainnya dan tidak bisa jika ada lainnya.
   Dan hendaklah dia bersugi mulai dari sebelah kanan mulutnya dan berniat menjalankan sunahnya. Salah seorang ulama berkata, hendaklah seseorang mengucapkan ketika bersugi: “Allahumma baarik lii fiihi, ya arhamar rahimin.”
   Al-Mawardi seorang pengikut Asy-Syafi’i berkata: “diutamakan bersugi pada bagian luar gigi dan dalamnya.”
Siwak itu digosokkan pada ujung-ujung giginya dan bagian bawah gerahamnya serta bagian atasnya dengan lembut. Mereka berkata: “Hendaklah bersugi menggunakan siwak yang sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Jika terlalu kering, maka siwaknya dilembutkan dengan air. Tidaklah mengapa jika menggunakan siwak orang lain dengan izinnya. Manakala kalau mulutnya najis karena darah atau lainnya, maka tidaklah disukai baginya membaca Al-Qur’an sebelum mencucinya.
    Apakah itu haram? Ar-Rauyani, pengikut Asy-Syafi’i, mengambil kata-kata ayahnya: “Terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat (sahih) ialah tidak haram.”

Masalah ke-29:
Diutamakan bagi orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Jika membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadas, maka hukumnya harus berdasar ijma’ul muslimin. Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut sudah dimaklumi. Immamul Haramain berkata: “Tidaklah bisa dikatakan dia melakukan sesuatu yang makruh, tetapi meninggal yang lebih utama.” Jika tidak menemukan air, dia bertayamum. Wanita mustahadhah dalam waktu yang dianggap suci mempunyai hukum yang sama dengan hukum orang yang berhadas.
   Sementara orang yang berjunub dan wanita yang haid, maka haram atas keduanya membaca Al-Qur’an, sama saja satu ayat atau kurang dari satu ayat. Bagi keduanya diharuskan membaca Al-Qur’an di dalam hati tanpa mengucapkannya dan bisa memandang ke dalam mushaf. Ijmak muslim mengharuskan bagi yang berjunub dan yang haid mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan membaca shalawat atas Nabi saw serta dzikir-dzikir lainnya.
  Para sahabat kami berkata, jika orang yang berjunub dan perempuan yang haid berkata: “Khudzil kitaaba biquwwatin” sedang tujuannya adalah selain Al-Qur’an, maka hukumnya bisa.
    Demikian pula hukumnya upaya yang serupa dengan itu. Keduanya bisa mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilahi raaji’uun”. Ketika mendapat musibah, jika tidak bermaksud membaca Al-Qur’an. Para sahabat kami dari Khurasan berkata, ketika menaiki kendaraan, keduanya bisa mengucapkan:“Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini bagi kami dan tidaklah kami mampu menguasainya sebelum ini.”(QS Az-Zukhruf 43:13)

Dan ketika berdoa:“Wahai Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka.”(QS Al-Baqarah 2:102)
   Hukum tersebut berlaku selagi keduanya tidak bermaksud membaca Al-Qur’an. Imamul Haramain berkata, apabila orang yang berjunub mengucapkan: “Bismillah wal hamdulillah, maka jika dia bermaksud membaca Al-Qur’an, dia durhaka. Jika dia bermaksud berdzikir atau tidak bermaksud membaca apa-apa, dia tidak berdosa. Juga diharuskan bagi keduanya membaca ayat yang telah dihapus tilawahnya seperti:“Orang lelaki yang tua dan perempuan yang tua, jika keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sehingga mati.”

Masalah ke-30:
Jika orang yang berjunub atau perempuan yang haid tidak menemukan air, maka dia bertayamun dan diharuskan baginya membaca Al-Qur’an, sembahyang serta lainnya. Jika dia berhadas, haram atasnya mengerjakan sembahyang dan tidak haram membaca dan duduk di dalam masji atau lainnya yang tidak haram atas orang yang berhadas sebagaimana jika dia mandi, kemudian berhadas. Ini adalah sesuatu yang dipersoalkan dan dianggap aneh.
Maka dikatakan, orang berjunub dilarang sembahyang dan tidak dilarang membaca Al-Qur’an dan duduk di masjid tanpa keperluan, bagaimana bentuknya? Inilah bentuknya. Kemudian yang lebih dekat ialah tidak ada bedanya antara tayamum orang yang berjunub di kota tempat tinggalnya dan ketika musafir.
  Seorang ulama pengikut Asy-Syafi’i berkata, bahwa jika dia bertayamum di kota tempat tinggalnya, maka diharuskan sembahyang dan tidak membaca Al-Qur’an sesudahnya atau duduk di masjid. Pendapat yang lebih sahih ialah bisa melakukan itu sebagaimana telah saya kemukakan. Sekiranya dia bertayamum, kemudian sembahyang dan membaca Al-Qur’an, kemudian ingin bertayamum karena berhadas atau untuk mengerjakan sembahyang fardhu lainnya maka tidak haram atasnya membaca Al-Qur’an menurut madzhab yang sahih dan terpilih.
  Terdapat pendapat dari sebagian pengikut Asy-Syafi’i yang mengatakan hal itu tidak bisa. Pendapat yang lebih terkenal adalah pendapat pertama. Jika orang yang berjunub tidak menukan air ataupun tanah, maka dia bisa sembahyang untuk memuliakan waktu menurut keadaannya dan haram atasnya membaca Al-Qur’an di luar sembahyang. Diharamkan atasnya membaca dalam sembahyang lebih dari Al-Fatihah.
   Apakah haram atasnya membaca Al-Fatihah? Terdapat dua pendapat berkenaan dengan masalah ini.
Pendapat pertama: Ini pendapat yang lebih sahih dan terpilih ialah tidak haram, bahkan wajib karena sembahyang itu tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah. Manakala diharuskan sembahyang dalam keadaan darurat, dalam keadaan janabah, maka diharuskan juga membaca Al-Qur’an.
    Pendapat kedua: Tidak bisa, akan tetapi dia hendaklah membaca dzikir-dzikir yang dibaca oleh orang yang tidak mampu dan tidak hafaz sedikit pun dari Al-Qur’an. Karena orang ini tidak mampu menurut syarak, maka dia seperti orang yang tidak mampu menurut kenyataan. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat yang pertama. Cabang-cabang yang saya sebutkan ini diperlukan olehnya. Oleh sebab ini saya menyinggung kepadanya dengan kalimat yang paling ringkas. Kalau ingin lebih lengkap, maka ada dalil-dalil dan keterangan lebih lanjut yang banyak dan dikenal dalam kitab-kitab fiqh. Wallahua’lam.

Masalah ke-31:
Membaca Al-Qur’an disunahkan di tempat yang bersih dan terpilih. Justru, sejumlah ulama menganjurkan membaca Al-Qur’an di masjid karena ia meliputi kebersihan dan kemuliaan tempat serta menghasilkan keutamaan lain, yaitu Itikaf. Maka setiap orang yang duduk di masjid patut beriktikaf, sama saja duduknya lama atau sebentar. Bahkan pada awal masuknya ke masjid sepatutnya dia berniat iktikaf. Adab ini patut diperhatikan dan disebarkan agar dikatahui oleh anak-anak ataupun orang awam karena ia selalu diabaikan.
  Manakala membaca Al-Qur’an di tempat mandi, maka para ulama salaf berlainan pendapat berkenaan dengan makruhnya. Sahabat-sahabat kami berpendapat, tidak dihukumkan makruh. Imam yang mulia Abu Bakar Ibnu Mundzir menukilnya dalam Al-Ayaraaf dari Ibrahim An-Nakha’I dan Malik dan itu jugalah pendapat Atha’.
 Beberapa jamaah diantaranya Ali bin Abu Thalib ra menghukumkannya makruh. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan pendapat ini daripadanya. Ibnu Mundzir menceritakan dari sejumlah tabi’in, diantaranya Abu Wail Syaqiq bin Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Makhul dan Qabishah bin Dzuaib. Kami meriwayatkannya pula dari Ibrahim An-Nakha’i. Para sahabat kami meriwayatkannya dari Abu Hanifah ra
  Asy-Sya’bi berkata, makruh membaca Al-Qur’an di tiga tempat: Di tempat mandi, tembuat buang air dan tempat penggilingan Gandum.
    Diriwayatkan dari Bau Maisarah, katanya: “Tidaklah disebut nama Allah swt, kecuali di tempat yang baik.”
 Sementara membaca Al-Qur’an di jalan, maka pendapat yang terpilih adalah bisa dan tidak makruh, jika pembacanya tidak lalai. Jika lalai, maka dihukumkan makruh sebagaimana Nabi saw tidak menyukai membaca Al-Qur’an oleh orang yang mengantuk karena takut keliru. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu darda’ ra bahwa dia membaca Al-Qur’an di jalan. Diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah bahwa dia mengizinkan membaca Al-Qur’an di jalan.
  Ibnu Abi Dawud berkata, diceritakan kepadaku oleh Abu Ar’Rabi’, katanya: Diberitahukan kepada kami oleh Ibnu Wahab, katanya: “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang sembahyang di akhir malam, kemudian keluar ke masjid dan masih tertinggal sedikit lagi dari surah yang dibacanya. Malik menjawab, “Aku tidak tahu pembacaan yang berlangsung di jalan. Hal itu makruh dan ini adalah isnad yang sahih dari Malik rahimahullah.

Masalah ke-32:
Diutamakan bagi pembaca Al-Qur’an di luar sembahyang supaya menghadap kiblat. Hal ini telah banyak disebut dalam beberapa hadits:“Sebaik-baik majelis adalah yang menghadap kiblat.”
Hendaklah dia duduk dengan khusyuk dan tenang sambil menundukkan kepalanya dan duduk sendiri dengan adab baik dan tunduk seperti duduknya di hadapan gurunya, inilah yang paling sempurna. Diharuskan baginya membaca sambil berdiri atau berbaring atau di tempat tidurnya atau dalam keadaan lainnya dan dia mendapat pahala, akan tetapi nilainya kurang dari yang pertama.

Allah ‘Azza wa JAllah berfirman:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (keagungan Allah swt) bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah swt sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan Bumi…”(QS Ali-Imran 3:190-191)
    Diriwayatkan dalam Shahih dari Aisyah ra.a, katanya:“Bahwa Rasulullah saw bersandar di pangkuanku ketika aku sedang haid dan beliau membaca Al-Qur’an.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
  Dalam suatu riwayat: “Beliau membaca Al-Qur’an sedang kepalanya berada dipangkuanku.”
  Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, katanya: “Aku membaca Al-Qur’an dalam sembahyangku dan membacanya di atas tempat tidurku.” Diriwayatkan dari Aisyah r.a, katanya: “Sungguh aku membaca hizibku ketika aku berbaring di atas tempat tidurku.”

Masalah ke-33:
Jika hendak mulai membaca Al-Qur’an, maka dia memohon perlindungan dengan mengucapkan: A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir rajiim (Aku Berlindung kepada Allah swt dari Syaitan yang terkutuk). Sebagian ulama salaf berkata: Ta’awwudz itu sepatutnya dibaca sesudah membaca Al-Qur’an berdasarkan firman Allah swt:“Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah swt dari syaitan yang terkutuk.” (QS An-Nahl 16:98)
   Maksud ayat ini menurut mayoritas ulama, apabila kamu ingin membaca Al-Qur’an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah swt dari syaitan yang terkutuk.
   Sejumlah ulama salaf berpendapat, ‘Auudzu billaahis sami’il ‘aliimi minasy-syaithaanir rajiim (aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk). Tidaklah mengapa jika mengucapkan perkataan ini.
  Bagaimanapun yang terpilih adalah bentuk ta’awwudz yang pertama. Kemudian, sesungguhnya ta’awwudz itu mustahab (disunahkan) dan bukan wajib. Ta’awwudz itu disunahkan bagi setiap pembaca Al-Qur’an, sama saja di dalam sembahyang atau di luarnya. Di dalam sembahyang diutamakan membacanya dalam setiap rakaat menurut pendapat yang sahih dari dua pendapat tersebut.
   Menurut pendapat yang kedua diutamakan membacanya pada rakaat pertama. Jika ditinggalkan pada rakaat pertama, maka hendaklah dia membacanya pada rakaat kedua.
 Diutamakan pula membaca ta’awwudz dalam takbir pertama sembahyang jenazah, menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat.

Masalah ke-34:
Hendaklah orang yang membaca Al-Qur’an selalu membaca bismillahir Rahmaanir Rahiim pada awal setiap surah selain surah Bara’ah karena sebagian besar ulma mengatakan, ia adalah ayat, sebab ditulis di dalam Mushaf. Basmalah ditulis di awal setiap surat, kecuali Bara’ah. Jika tidak membaca basmalah, maka dia meninggalkan sebagian Al-Qur’an menurut sebagian besar ulama.
    Kalau bacaan itu karena tugas yang diwajibkan atasnya sebagai orang yang diupah dan digaji, maka perhatian atas bacaan basmalah lebih ditekankan untuk memastikan pembacaan khatam. Karena jika ditinggalkannya, maka dia tidak mendapat sesuatu karena waqaf, bagi orang yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat di awal surat. Ini adalah penjelasan berharga yang ditekankan agar diperhatikan dan disebarkan.

Masalah ke-35:
Jika mulai membaca, hendaklah bersikap khusyuk dan merenungkan maknanya ketika membaca. Dalil-dalilnya terlalu banyak untuk dihitung dan sudah masyur serta terlalu jelas untuk disebut. Itulah maksud yang dikehendaki dan dengan demikian itu dada menjadi lapang serta hati menjadi tenang. Allah Azza wa jalla berfirman:“Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?”(QS An-Nisa’ 4:82)
Allah berfirman:“Ini adalah suatu Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkat supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya…”(QS Shaad 38:29)
  Banyak hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan perkara tersebut dan pendapat-pendapat ulama salaf tentang hal itu cukup masyur. Sejumlah ulama Salaf ada yang membaca satu ayat sambil merenungkannya dan mengulang-ulanginya sehingga pagi.
     Sejumlah ulama Salaf telah pingsan ketika membaca Al-Qur’an. Banyak pula yang mati dalnm keadaan membaca Al-Qur’an.
    Telah kami terima riwayat dari Bahzin bin Hakim bahwa Zurarah bin Aufa seorang tabi’in yang mulia mengimami sejumlah orang dalam sembahyang fajar. Dia membaca Al-Qur’an sehingga ayat:“Jika ditiup sangkakala maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sukar.”(QS Al-Mudaththir 74:8-9)
   Tiba-tiba dia tumbang dan mati. Banzin berkata: “Aku termasuk orang-orang yang memikulnya.”
  Ahmad bin Abul Hawari ra yang dijuluki Raihanatus Syam sebagaimana dikatakan oleh Abul Qasim Al-Junaidi rahimahullah, apabila dibacakan Al-Qur’an di dekatnya, dia menjerit dan jatuh pingsan.
 Ibnu Abi Dawud berkata, Al-Qasim Ibnu Usman Al-Jau’i rahimahullah mengingkari hal itu atas Ibnu Abil Hawari. Al-Jau’i seorang yang terkemuka dan ahli hadits yang menetap di Damsyiq. Dia lebih utama dari Ibnu Abil Hawari. Katanya: demikian jugalah di ingkari oleh Abul Jauza’ dan Qais bin Hubtar serta lainnya.
  Saya katakan, yang benar ialah tidak adanya keingkaran, kecuali siapa yang mengaku bahwa dia lakukan itu dengan berpura-pura. Wallahua’lam.
  As-Sayyid yang mulia dan pemilik berbagai anugerah serta makrifat, Ibrahim Al-Khawash ra.a berkata: “Obat penyembuh hati ada lima perkara, yaitu:
1.  Membaca Al-Qur’an dan merenungi maknanya.
2.  Perut yang kosong.
3.  Sembahyang malam.
4.  Berdoa dengan penuh tawadhuk di ujung malam.
5.  Duduk bersama orang-orang sholeh.
Bersambung: At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran 4

Masalah ke-36:
Anjuran mengulang-ulang ayat untuk direnungkan. Telah kami kemukakan dalam fasal sebelumnya anjuran untuk merenungkan dan menjelaskan pengaruhnya serta peninggalan tradisi ulama Salaf. Telah kami terima riwayat dari Abu Dzarr ra Dia berkata:“Nabi saw mengulang-ulangi satu ayat sehingga pagi."

Ayat itu adalah:“Jika Engkau siksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu” Surat Al-Maidah: 118 Riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah)
    Diriwayatkan dari Tamim Ad-Dariy ra bahwa dia mengulang-ulang ayat ini sehingga pagi:“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.”(QS Al-Jaathiyah 45:21)
  Diriwayatkan dari Ubbad bin Hamzah, katanya: Aku masuk kepada Asma’ra dan dia sedang membaca:“Maka Allah swt memberikan anugerah kepada kami dan memelihara kami dari seiksa neraka.”(QS Ath-Thuur 52:27)                     
  Maka saya berhenti di sampingnya dan Asma’ terus mengulanginya serta berdoa. Saya cukup lama berhenti di situ, maka aku pergi ke pasar. Setelah selesai membeli keperluan-keperluanku, aku kembali lagi padanya dan dia masih mengulang-ulang bacaan ayat tersebut dan berdoa. Kami meriwayatkan kisah ini dari Aisyah ra
     Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat:“Ya Tuhanku, tambahilah ilmuku.”(QS Thaha: 114)
    
Said bin Jubair mengulang-ulang ayat:Dan peliharalah dirimu dari (siksa yang berlaku pada) hari yang pada waktu itu kamu dikembalikan kepada Allah swt.”(QS Al-Baqarah 2:281)

Dia juga mengulang-ulang ayat:“Kelak mereka akan mengetahui belenmggu dan rantai diikatkan di leher mereka…”(QS Al-Mu’min 40:70-71)
Dia juga mengulang-ulang ayat:“Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.”(QS Al-Infithar 82:6)
  Dhahak apabila membaca firman Allah swt sebagai berikut dia mengulang-ulang sehingga waktu sahur. Yaitu firman Allah swt:“Bagi mereka lapisan-lapisan dari api atas mereka dan di bawah mereka pun lapisan-lapisan (dari Api) juga.”(QS Az-Zumar 9:16)

Masalah ke-37:
Menangis ketika membaca Al-Qur’an. Telah diterangkan dalam dua fasal yang terdahulu berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan tangis ketika membaca Al-Qur’an. Menangis ketika membaca Al-Qur’an merupaan sifat orang-orang yang arif dan syiar hamba-hamba Allah Yang shaleh. Allah berfirman:“Dan mereka menyukur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”(QS Al-Israa 17:109)
  Diriwayatkan sejumlah hadits dan athar Salaf. Antara lain, diriwayatkan dari Nabi saw sabdanya:“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Jika kamu tidak menangis, maka usahakanlah supaya menangis.”
   Diriwayatkan dari Umar Ibnul Khattab ra bahwa dia mengimami jamaah sembahyang Subuh dan membaca Surat Yusuf. Dia menangis hingga mengalir air matanya hingga membasahi tulang bahunya. Dalam suatu riwayat, kejadian itu berlangsung dalam sembahyang Isyak. Maka hal itu menunjukkan berlakunya pengulangan bacaan. Dalam suatu riwayat, dia menangis hingga mereka mendengar tangisannya dari belakang shaf-shaf. Diriwayatkan dari Abu Raja’, katanya: “Kulihat Ibnu Abbas di bawah kedua matanya nampak bekas seperti tali selipar yang usang lantaran air mata.”
  Diriwayatkan dari Abu Shahih, katanya: Beberapa orang datang dari Yaman menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mereka membaca Al-Qur’an dan mereka menangis. Kemudian Abu Bakar berkata: “Demikianlh keadaan kami jika membaca Al-Qurna.”
     Diriwayatkan dari Hisyam, katanya: “Terkadang aku mendengar tangis Muhammad bin Sirin pada waktu malam ketika dia sedang sembahyang.”
  Banyak athar yang menerangkan yang demikian itu yang tidak mungkin menghitungnya. Apa yang telah saya kemukakan dan saya tunjukkan kiranya sudah memadai. Wallahua’lam.
     Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunahkan pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat.” Jika tidak bisa menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.

Masalah ke-38:
Hendaklah membaca Al-Qur’an dengan tartil. Para ulama telah sependapat atas anjuran melakukan tartil. Allah berfirman:“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.”(QS Al-Muzzammil 73:4)
     Diriwayatkan dari Ummi Salamah ra bahwa dia menggambarkan bacaan Rasulullah saw sebagai bacaan yang jelas huruf demi huruf.”(Riwayat Abu Dawud, Nasa’I dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih)
  Diriwayatkan dari Mu’awiyyah bin Qurrah ra dari Abdullah bin Mughaffal ra dia berkata:“Aku melihat Rasulullah saw pada hari penaklukan Mekah di atas untanya sedang membaca Surat Al-Fatihah dan mengulang-ulang bacaannya.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
   Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra Dia berkata: “Aku lebih suka membaca satu surat secara tartil daripada membaca Al-Qur’an seluruhnya.”
   Diriwayatkan dari Mujahid bahwa dia ditanya tentang dua orang, seorang membaca surat Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan lainnya membaca surat Al-Baqarah saja. Waktunya, rukuk, sujud dan duduknya sama. Mujahid menjawab: “Orang yang membaca Surat Al-Baqarah saja lebih baik.”
     Dilarang membaca Al-Qur’an secara asal jadi dengan cepat sekali. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa seorang lelaki berkata kepadanya: “Aku membaca Al-Mufashshal dalam satu rakaat.” Maka Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Demikianlah, demikianlah syair itu. Sesungguhnya ada orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak melampaui tenggorokan mereka. Bagaimanapun jika masuk di hati dan menjadi kukuh di dalamnya, mka ia pun berguna.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
  Para ulama berkata: “Membaca Al-Qur’an dengan tartil itu disunahkan untuk merenungkan artinya.” Mereka berkata: “Membaca dengan tartil disunahkan bagi orang bukan Arab yang tidak memahami maknanya karena hal itu lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan serta lebih berpengaruh di dalam hati.”
    
Masalah ke-39:
Diutamakan jika melalui ayat yang mengandung rahmat agar memohon kepada Allah swt dan apabila melalui yang mengandung siksaan agar memohon perlindungan kepada Allah swt dari kejahatan dan siksaan. Atau berdoa: “Ya Allah, aku mohon kesehatan kepada-Mu atau keselamatan dari setiap bencana.” Jika melalui ayat yang mengandung tanzih (penyucian) Allah swt maka dia sucikan Allah swt dengan ucapan, Subhanalahi wa Ta’ala atau Tabaroka wa Ta’ala atau Jallat Azhamatu Rabbina.
    Diriwayatkan dari Hudzifah Ibnul Yaman ra Dia berkata: “Pada suatu malam aku sembahyang bersama Nabi saw Bliau memulai dengan Surat Al-Baqarah, beliau rukuk ketika mencapai seratus ayat, kemudian meneruskan. Maka saya katakan, beliau rukuk dengan membacanya. Kemudian beliau memulai surat An-Nisa’ dan membacanya, kemudian memulai suart Ali-Imran dan membacanya dengan perlahan-lahan. Jika melalui suatu ayat yang terdapat tasbih di dalamnya, beliau bertasbih. Dan apabila melalui permohonan, beliau memohon. Jika melalui ta’awuudz, beliau memohon perlindungan.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
   Letak Surat An-Nisa’ pada waktu itu didahulukan sebelum Surat Ali-Imran.
 Para sahabat kami rahimahullah berkata, memohon, meminta perlindungan dan bertasbih itu disunahkan bagi setiap pembaca Al-Qur’an, sama saja di dalam sembahyang atau di luarnya. Mereka berkata: “Semua itu disunahkan dalam sembahyang sendirian. Karena itu adalah doa maka merea semnua sama dalam hal itu, seperti ucapan Aamiin sesudah Al-Fatihah.
    Apa yang saya sebutkan berkenaan dengan sunahnya, memohon dan isti’adzah tersebut adalah menurut madzhab Asy-Syafi’i ra dan mayoritas ulama rahimahullah. Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Hal itu tidak diutamakan, bahkan tidak disukai dalam sembahyang.” Pendapat yang lebih benar adalah pendapat mayoritas sebagaimana saya kemukakan.

Masalah ke-40:
Hal yang perlu diperhatikan dan amat ditekankan adalah memuliakan Al-Qur’an dari hal-hal yang kadang-kadang diabaikan oleh sebagian orang yang lalai ketika membaca bersama-sama. Diantaranya menghindari tertawa, berbuat bising dan bercakap-cakap di tengah pembacaan, kecuali perkataan yang perlu diucapkan.
Hendaklah dia mematuhi firman Allah swt:“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”(QS Al-A’raf 7:204)
   Hendaklah dia mengikuti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibnu Umar ra bahwa apabila membaca Al-Qur’an dia tidak bercakap sehingga selesai. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya dan dia berkata: “Tidak bercakap-cakap hingga selesai membaaca.” Dia menyebutnya dalam kitab At-Tafsir berkenaan dengan firman Allah swt:“Istri-istrimu adalah ladang bagimu.”(QS Al-Baqarah 2:223)
   Termasuk perbuatan tercela adalah mempermainkan tangan lainnya karena dia sedang bermunajat kepada Allah swt. Maka janganlah dia bermain di hadapan-Nya. Diantaranya adalah memandang kepada sesuatu yang dapat melalaikan dan melencengkan pikiran dan tumpuan.
  Lebih buruk dari semua itu adalah memandang kepada sesuatu yang tidak bisa dipandang, seperti orang lelaki yang mulus wajahnya dan yang seumpamanya. Karena memandang kepada laki-laki yang berwajah mulus dan tampan tanpa keperluan adalah haram, sama saja dengan syahwat ataupun tanpa syshwat, sama saja aman dari fitnah atau tidak aman. Ini adalah madzhab yang shahih dan terpilih di kalangan ulama. Imam Asy-Syafi’i dan para ulama yang tidak sedikit jumlahnya telah menyebutkan pengharamannya.

Dalilnya ialah firman Allah swt:“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS An-Nur 24:30)
Karena lelaki mulus lagi cantik cenderung dijadikan pasangan homoseks, sama dengan perempuan. Bahkan bisa jadi sebagian atau banyak dari mereka lebih bagus dari banyak perempuan dan lebih memungkinkan terjadinya kejahatan padanya serta lebih mudah dari perempuan. Maka pengharamannya itu lebih utama. Pendapat-pendapat ulama saja yang memperingatkan terhadap mereka banyak sekali jumlahnya. Para ulama menanamkan mereka orang busuk karena menimbulkan rasa jijik menurut syarak.
   Manakala memandang kepadanya ketika berjual beli, mengambil dan memberi, berobat dan mengajar serta hal-hal lain yang diperlukan, hukumnya boleh karena adanya keperluan yang dibenarkan secara syar’i. Bagaimanapun pandangannya adalah sekedar keperluan dan tidak terus memandang tanpa keperluan. Demikian jugalah guru yang diharuskan memandang sesuatu yang diperlukannya dan haram atas mereka dalam segala keadaan memandang dengan syahwat.
   Ini tidak khusus berkaitan dengan lelaki yang mulus wajahnya, bahkn haram atas setiap mukallaf memandang dengan syahwat kepada setiap orang, sama saja lelaki ataupun perempuan. Sama saja perempuan itu masih mahramnya atau bukan, kecuali istri atau hamba perempuan yang bisa digalauli. Bahkan sahabat kami mengatakan: Diharamkan memandang dengan syahwat kepada mahramnya seperti suadara perempuannya dan ibunya.” Wallahua’lam.
    Diwajibkan atas orang-orang yang menghadiri majelis membaca Al-Qur’an jika melihat sesuatu kemungkaran-kemungkaran tersebut atau lainnya agar melarangnya sekuat tenaga dengan tangan bagi siapa yang mampu dan dengan lisan bagi siapa yang tidak mampu melakukannya dengan tangan dan mampu melakukannya dengan lisan. Jika tidak sanggup dengan semua itu, maka dengan hatinya (membencinya adalah hati). Wallahua’lam.

Masalah ke-41:
Tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, sama saja dia bisa berbahasa Arab dengan baik atau tidak bisa, sama saja di dalam sembahyang ataupun di luar sembahyang. Jika dia membaca Al-Qur’an dalam sembahyang dengan selain bahasa Arab, maka sembahyangnya tidak sah. Ini adalah madzhab kami dan madzhab Imam Malik, Ahmad, Dawud dan Abu Bakar Ibnul Mundzir. Sedangkan Abu Hanifah berkata: “Diharuskan membaca dengan selain bahasa Arab dan sembahyangnya sah.”
Abu Yusuf dan Muhammad berkata: “Boleh bagi orang yang tidak baik bahasa Arabnya dan tidak bisa bagi orang yang bisa membaca bahasa Arab dengan baik.”

Masalah ke-42:
Diharuskan membaca Al-Qur’an dengan tujuh qiraat seperti bacaan yang disetujui. Dan tidak bisa dengan selain yang tujuh bacaan itu dan tidak pula dengan riwayat-riwayat asing yang dinukil (diambil) dari ketujuh ahli qiraah itu.
   Akan dijelaskan dalam bagian ketujuh Insya Allah swt berkenaan dengan kesepakatan para fuqaha untuk menyuruh bertaubat bagi orang yang membaca dengan bahasa asing apabila dia membacanya demikian. Sahabat kami dan lainnya berkata: “Sekiranya membaca dengan bahasa asing di dalam sembahyang, batallah sembahyangnya jika dia mengetahui. Jika tidak mengetahui, maka tidak batal sembahyangnya dan tidak dikira bacaan itu baginya.”
    Imam Abu Umar bin Andul Bar Al-Hafizh telah menukil jima’ul muslimin. Bahwa tidak bisa membaca dengan bacaan yang asing (syadz) dan tidak bisa sembahyang di belakang orang yang membaca dengan bacaan syadz. Para ulama berkata: “Barangsiapa membaca dengan bacaan syadz sedang dia tidak mengetahuinya atau tidak mengeatahui pengharamannya, maka dia diberitahu tentang hal itu. Jika kembali melakukannya atau dia mengetahui bacaan syadz itu, maka dia pun dihukum dengan keras hingga berhenti melakukannya.”
     Setiap orang yang sanggup menegur dan mencegahnya wajib menegur dan mencegahnya.

Masalah ke-43:
Jika dia memulai dengan bacaan salah seorang ahli qiraah, maka hendaknya dia tetap dalam qiraah itu selama bacaannya berkaitan dengannya. Kalau hubungannya berakhir, dia bisa membaca dengan bacaan salah seorang dari ketujuh qari (yang mahir mambaca) Al-Qur’an. Pendapat yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan pertama di majelis itu.

Masalah ke-44:
Para ulama berkata: “Pendapat yang lebih terpilih adalah membaca menurut tertib Mushaf, maka dia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali-Imran, kemudian surat-surat sesudahnya menurut tertibnya, sama saja dia membaca dalam sembahyang atau di luarnya. Salah seorang sahabat kami mengatakan: “Jika dia membaca pada rakaat pertama surat Qul A’Udzu bi rabbin Naas, maka dia baca ayat sesudah Al-Fatihah dari surat Al-Baqarah.”
  Salah seoang sahabat kami berkata: Disunahkan jika mambaca suatu surat agar membaca surat berikutnya. Dalil ini ialah bahwa tertib Mushaf dijadikan demikian karena mengandung suatu hikmah. Maka patutlah dia memeliharanya, kecuali sesuatu yang telah ditentukan dalam syarak yang merupakan pengecualian, seperti sembahyang Subuh pada hari Jumaat.
   Rakaat pertama dalam sembahyang Subuh membaca surat As-Sajadah dan rakaat kedua surat Al-Insan. Dan sembahyang Hari Raya pada rakaat pertama membaca surat Qaaf dan rakaat kedua membaca surat Iqtarabatis saa’atu.
     Dalam dua rakaat sembahyang sunah Fajar, pada rakaat pertama membaca surat Qulyaa ayyuhal kaafiruun dan rakaat kedua membaca Qul huwAllah swtu Ahad. Dan tiga rakaat sembahyang witir, pada rakaat pertama, membaca surat Al-A’laa dan pada rakaat kedua membaca surat Qul yaa ayyuhal Kaafiruun dan pada rakaat ketiga membaca, Qul Huwallahtu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.
     Sekiranya tidak berturutan dengan membaca surat yang bukan surat berikutnya atau menyalahi tertib dan membaca suatu surat, kemudian membaca surat sebelumnya, hal itu diharuskan. Banyak athar diriwayatkan berkenaan dengan perkara tersebut.
    Umar Ibnul Khattab ra. telah membaca surat Al-Kahfi pada rakaat pertama sembahyang Subuh dan surat Yusuf pada rakaat kedua. Bagaimanapun, sejumlah ulama tidak menyukai jika menyalahi tertib Mushaf.
     Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Al-Hasan, bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an kecuali menurut tertibnya dalam Mushaf. Dan dia meriwayatkan dengan isnadnya yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dikatakan kepadanya: “Si fulan membaca Al-Qur’an terbaik, bagaimana pendatmu?” Abdullah menjawab: “Orang itu terbaik hatinya.”
    Sementara membaca surat mulai dari akhir hingga awalnya, dilarang dengan tegas. Karena perbuatan itu menghilangkan berbagai-bagai I’jaaz dan hikmah dari tertibnya ayat-ayat. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I seorang imam tabi’in yang mulia dan Imam Malik bin Anas bahwa keduanya tidak menyukai hal itu. Malik mencela perbuatan itu dan berkata: “Ini dosa besar.”
     Manakala mengajari anak-anak kecil dari akhir Mushaf hingga awalnya, maka itu adalah baik dan bukan termasuk bagian ini. Sesungguhnya itu adalah bacaan untuk hari-hari yang berbeda-beda di samping memudahkan mereka menghafaznya. Wallahua’lam.

Masalah ke-45:
Membaca Al-Qur’an dari Mushaf lebih utama dari pada membacanya dengan hafalan karena memandang dalam Mushaf adalah ibadah yang diperintahkan, maka berkumpullah bacaan dan pandangan itu. AL-Qadhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghazali menukil dalam Al-Ihya bahwa banyak sahabat Nabi saw dulu membaca dari Mushaf. Mereka tidak suka keluar suatu hari tanpa memandang ke dalam Mushaf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud pembacaan dalam Mushaf dari banyak ulama Salaf dan saya tidak melihat adanya perselisihan berkenaan dengan perkara tersebut.
Seandainya dikatakan: “Hal itu berbeda-beda menurut orang-orangnya, maka dipilihlah pembacaan dalam Mushaf bagi orang yang sama kekhusyukan dan perenungannya dalam kedua keadaan yaitu membaca dalam Mushaf dan dengan hafalan. Dan dipilih pembacaan dengan hafalan bagi siapa yang tidak bisa khusyuk jika membaca dengan Mushaf dan dipilih membaca dalam Mushaf jika kekhusyukan dan perhatiannya bertambah, ini pendapat yang baik. Hal yang jelas pendapat ulama Salaf dan perbuatan mereka diartikan menurut perincian ini.

Masalah ke-46:
Anjuran membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama-sama dan keutamaan bagi orang-orang yang membaca bersama-sama dan yang mendengarkannya serta keutamaan orang yang mengumpulkan, mendorong dan menganjurkan mereka melakukan hal itu.
   Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama adalah mestahab berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan perbuatan-perbuatan ulama Salaf dan Khalaf secara jelas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bahwa Baginda bersabda:“Tidaklah suatu kaum menyebut nama Allah swt bersama-sama, kecuali mereka dikelilingi oleh para malaikat, diliputi rahmat dan turun ketenangan ke atas mereka serta Allah swt menyebut mereka di antara para malaikatnya di sisi-Nya.”(Riwayat Tirmidzi dan dia berkata, hadits ini hasan shahih)
    Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra dari Nabi saw sabdanya: Terjemahan: “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah swt dengan membaca Kitabullah dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun ketenangan di antara mereka dan mereka diliputi rahnmat serta dikelilingi malaikat dan Allah swt menyebut mereka di antara para malaikat di sisi-Nya.”(Riwayat Muslim dan Abu Dawud dengan isnad shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim)
    Diriwayatkan dari Mu’awiyah ra:“Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menemui sekelompok sahabatnya. Beliau berkata, ‘Untuk apa kamu duduk?’ Mereka menjawab” ‘Kami duduk untuk menyebut nama Allah swt dan memuji-Nya karena Dia memberikan petunjuk dan menganugerahkan Islam kepada kami.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Jibril as datang kepada kami, kemudian memberitahu aku bahwa Allah swt membanggakan kamu kepada para malaikat.”(Riwayat Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi berkata:hadits hasan sahih)
  Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak jumlahnya. Ad-Darimi meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Abas ra katanya:“Barangsiapa mendengar suatu ayat dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka ayat itu menjadi cahaya baginya.”
    Dirawayatkan oleh Ibnu Abi Dawud ra, sesungguhnya Abu Darda’ tadarrus (membaca Al-Qur’an secara bersama-sama) dengan beberapa orang yang membaca bersama-sama. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan tadarrus Al-Qur’an bersama-sama secara berjamaah merupakan keutamaan-keutamaan ulama Salaf dan Khalaf serta para qadhi dan Al-Auza’I bahwa keduanya berkata: “Orang yang pertama-tama mengadakan tadarrus Al-Qur’an di masjid Damsyiq adalah Hisyam bin Ismail ketika pemerintahan Abu Muluk."
  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Adh-Dhahak bin Abdurrahman bin Arzab: “Bahwa dia mengingkari pengajian itu.” Dia berkata: “Aku tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar dan aku telah mendapati para sahabat Rasulullah saw yakni tidak kulihat seorang pun melakukannya.”
    Diriwayatkan dari Wahab, katanya: “Aku berkata kepada Malik, tidakkah engkau pernah melihat orang-orang yang berkumpul dan membaca bersama-sama suatu surat hingga mengkhatamkannya?” Maka dia mengingkari dan berkata: “Bukanlah demikian yang dilakukan mereka, tetapi seseorang membacakan kepada orang lain.”
   Pengingkaran kedua orang itu bertentangan dengan apa yang diyakini bersama oleh ulama Salaf dan Khalaf dan berdasarkan dalil yang mendukungnya. Maka anggapan itu ditinggalkan dan yang diambil kira adalah pendapat yang menganjurkannya. Bagiamanapun membaca Al-Qur’an secara berjamaah (dalam keadaan berkumpul) mempunyai syarat-syarat tertentu seperti yang akan saya kemukakan dan patut diperhatikan. Wallahua’lam.
  Sementara keutamaan orang yang mengumpulkan mereka untuk membaca Al-Qur’an, maka di dalamnya terdapat banyak nash seperti sabda Nabi saw:“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan adalah seperti pelakunya.” 
   Dan sabda Nabi saw:“Demi Allah, seorang yang diberi petunjuk oleh Allah swt dengan perantaraan lebih baik bagimu daripada unta merah.”
   Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Allah swt telah berfirman:
“Dan hendaklah kamu saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.”(QS Al-Maidah 5:2)
   Tidak ada keraguan berkenaan dengan besarnya pahala orang yang mengusahakan hal itu.

Masalah ke-47:
Membaca Al-Qur’an sambung-menyambung secara bergantian. Maksudnya adalah sejumlah orang berkumpul, setengah dari mereka membaca sepuluh ayat atau sebagian atau selian itu, kemudian diam dan lainnya meneruskan bacaan, kemudian lainnya lagi. Ini boleh dilakukan dan baik. Malik Rahimahullah telah ditanya dan dia menjawab: “Tidak ada masalah dengannya.”

Masalah ke-48:
Membaca Al-Qur’an dengan suara kuat. Ini merupakan fasal yang penting dan patut diperhatikan. Ingatlah bahwa banyak hadits dalam kitab shahih dan lainnya menunjukkan anjuran menguatkan suara ketika membaca. Terdapat bebebarapa athar yang menunjukkan anjuran memperlahankan (merendahkan) suara, di antaranya akan saya sebutkan, insya-Allah .
   Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan ulama lainnya menyatakan, cara menggabungkan antara hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan ini ialah bahwa memperlahankan suara lebih jauh dari riya. Merendahkan suara lebih utama bagi orang yang takut berbuat riya. Jika tidak takut berbuat riya, maka menguatkan suara lebih baik karena lebih banyak diamalkan dan berfaedah meluas kepada orang lain.
   Maka dengan demikian lebih baik daripada yang hanya berkenaan dengan diri sendiri. Dan karena bacaan dengan suara kuat menggugah hati pembaca dan menyatukan keinginannnya untuk memikirkan dan mengarahkan pendengarannya kepadanya, mengusir tidur, manambah kegiatan dan menggugah orang lain yang tidur dan orang yang lalai serta menggiatkannya.
   Mereka berkata: “Meskipun keutamaan tersebut bergantung pada niatnya, namun menguatkan suara jauh lebih baik, jika niat-niat ini berkumpul, maka pahalanya berlipat ganda.
     Al-Ghazali berkata: “Justru, kami katakan: “Membaca di dalam Mushaf lebih baik, ini adalah hukum masalahnya.”
    Banyak athar yang menukil berkenaan dengan perkara tersebut dan saya kemukakan sebagian daripadanya. Diriwayatkan dalam kitab sahih dari Abu Hurairah ra katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:“Tidaklah Allah mendengar sesuatu seperti yang di dengar-Nya dari seorang Nabi yang bagus suaranya melagukan Al-Qur’an dan menguatkan suaranya.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
  Perkataan “mendengar” itu adalah isyarat kepada keridhaan dan penerimaan. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya:“Engkau telah diberi seruling dari seruling-serilung keluarga Dawud.”(Riwayata Bukhari & Muslim)
  Dalam suatu riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata kepadanya:“Aku bermimpi mendengar bacaanmu semalam.”Riwayat Muslim)
   Dia meriwayatkannya dari Barid Ibnu Ak-Khushaib.
  Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Sungguh Allah lebih mendengar orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu daripada pemilik hamba perempuan kepada hamba perempuannya.”(Riwayat Ibnu Majah)
  Diriwayatkan dari Abu Musa pula, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Sungguh aku mengenal suara rombongan Al-Asy’ariyyin waktu malam ketika mereka masuk dan aku mengenal tempat-tempat mereka dari suara mereka ketika membaca Al-Qur’an waktu malam, meskipun aku tidak melihat tempat-tempat mereka ketika mereka berhenti pada waktu siang.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
  Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:“Hiasilah Al-Qur’an dengan suramu.”(Riwayat Abu Dawud Nasa’i dan lainnya)
  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ali ra bahwa dia mendengar suara orang-orang membaca Al-Qur’an di dalam masjid, kemudian dia berkata: “Beruntunglah mereka ini. Mereka orang-orang yang paling disukai Rasulullah saw.”
  Terdapat banyak hadits berkenaan dengan membaca Al-Qur’an dengan suara kuat. Manakala athar-athar tentang perkataan dan perbuatan para sahabat dan tabi’in, maka jumlahnya tidak terhitung banyaknya dan amat mansyur. Semua ini berkenaan dengan orang yang tidak takut riya dan tiak takut menyombongkan diri ataupun perbuatan-perbuatan buruk lainnya serta tidak menganggagu jamaah karena mengacaukan sembahyang mereka dan menggelirukannya.
  Telah dinukilkan dari jamaah Salaf bahwa mereka lebih suka memperlahankan suara karena takut apa yang kita sebutkan itu.
  Diriwayatkan dari Al-A’Masy, katanya: “Aku masuk ke rumah Ibrahim yang sedang membaca Mushaf Al-Qur’an. Kemudian seorang lelaki minta izin kepadanya, lalu dia menutupinya sambil berkata: “Jangan sampai orang itu mengetahui kalau aku membacanya setiap masa.”
   Diriwayatkan dari Abu Al-‘Aliyah, katanya: “Aku duduk bersama para sahabat Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Semalam aku membaca dari sini.’ Maka mereka berkata, ‘Itu bagian kamu.”
   Dia berdalil kepada mereka ini dengan hadits Uqbah bin Amir ra, katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang kuat seperti orang yang bersedekah terang-terangan dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam seperti orang yang bersedekah dengan diam-diam.”Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
   Tirmidzi menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan, katanya: “Maksudnya ialah orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam lebih baik daripada orang yang membacanya dengan suara kuat. Sebab sedekah dengan diam-diam lebik baik menurut ahli ilmu daripada sedekah secara terang-terangan.”
   Dia menyatakan, makna hadits ini menurut ahli ilmu adalah supaya orang terhindar dari kesombongan atas dirinya sebagaimana diragukan atasnya jika melakukannya dengan terang-terangan.
   Saya katakan, semua itu sesuai dengan penjelasan yang telah saya jelaskan secara terperinci di awal fasal ini. Jika takut mengalami sesuatu yang tidak diinginkan dengan sebab menguatkan suara, maka janganlah menuatkan suara. Jika tidak takut mengalami hal itu, diutamakan menguatkan suara. Jika bacaan dilakukan oleh jamaah secara bersama-sama, maka diutamakan sekali agar menguatkan suara berdasarkan alasan yang kemudian dan karena cara itu bermanfaat bagi orang lain. Wallahua’lam.

Masalah ke-49:
Sunah mengindahkan suara pada waktu membaca Al-Qur’an. Para ulama Salaf dan Khalaf daripada sahabat dan tabi’in serta para ulama Anshar (Baghdad, Bashrah dan Madinah) dan imam-imam muslimin sependapat dengan sunahnya mengindahkan suara ketika membaca Al-Qur’an. Perkataan dan perbuatan mereka berkenaan dengan perkara tersebut amat mansyur, maka kami tidak perlu memetik sesuatu pun satu-persatunya. Dalil-dalil berkenaan dengan perkara tersebut sudah dimaklumi orang-orang terkemuka ataupun orang awam. Antara lain seperti hadits berikut ini:“Hiasilah Al-Qur’an dengan suarama.”
“Orang ini telah diberi seruling.”
   Atau hadits yang artinya: “Tidak Allah mendengar….” dan hadits: “Sungguh Allah lebih mendengar….”
   Kesemuanya telah dikemukakan dalam bab terdahulu. Demikian pula berkenaan dengan keutamaan tartil pada hadits Abdullah bin Mughaffal, berkenaan dengan membaca Al-Qur’an oleh Nabi saw dengan perlahan-lahan. Dan seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dan hadits Abu Lubabah ra bahwa Nabi saw bersabda:   “Barangsiapa tidak melagukan Al-Qur’an, maka dia bukan dari golongan kami.”(Riwayat Abu Dawud)                   
    Berkenaan dengan isnad Sa’ad terdapat perselisihan yang tidak sampai mengganggu.
   Mayoritas ulama berkata: “Tidak melagukan” artinya “tidak mengindahkan suaranya.”
    Begitu juga hadits daripada Al-Barra’ ra artinya:“Aku mendengar Rasulullah saw membaca dalam sembahyang Isyak surat Wattiini waz-zaitun dan aku tidak mendengar seorang pun yang lebih bagus suaranya daripada Baginda.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
   Para ulama berkata: “Sunah membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus dan tertib selama tidak melampaui batas. Jika sampai malampui batas hingga menambah atau menyembunyikan satu huruf, maka perbuatan itu haram. Manakala membaca dengn lahn (irama/pelat), maka Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam suatu pendapat: “Aku tidak menyukainya.”
   Para sahabat kami menyatakan itu bukan dua pendapat, tetapi ada perincian berkenaan dengannya. Jika keterlaluan sehingga melampaui batas, itulah yang tidak disukainya, jika tidak sampai melampaui batas maka tidak makruh.
   Imam Al-Mawardi berkata dalam kitabnya Al-Haawi berkata: “Membaca dengan lahn (irama/pelat) yang dibuat-buat, jika mengeluarkan lafaz Al-Qur’an dari bentuknya dengan memasukkan harakat-harakat di dalamnya atau mengeluarkan harakat-harakat daripadanya atau memendekkan yang panjang dan memanjangkan yang pendek atau memanjangkan hingga menyembunyikan sebagian lafaznya dan menyamakan artinya, maka perbuatan itu haram dan pembacanya menjadi fasik serta orang yang mendengarnya pun ikut berdosa. Karena itu bermakna ia mengalihkannya dari jalan yang lurus ke jalan yang bengkok.”
     Allah berfirman:“Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak kebengkokan (di dalamnya)….”(Aurat Az-Zumar: 28) 
   AlMawardi berkata: “Jika tidak sampai terjadi lahn yang keluar dari lafaznya dan membacanya secara tartil, maka dibenarkan karena lahnnya itu menambah kebagusannya.” Ini adalah pendapat Qadhil Qudrat.
  Seperti halnya membacaan dengan lahn yang diharamkan, adalah musibah bagi sebagian orang  bodoh dan jahil yang membacanya untuk jenazah dan di sebagian majelis. Ini adalah bid’ah haram dan setiap pendengarnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Mawardi. Demikian jugalah setiap orang yang sanggup menghilangkan atau melarangnya berdosa jika tidak melakukannya. Saya telah berusaha sekuat tenaga ketika membuat itu dan berharap dari anugerah Allah Yang Maha Pemurah agar memberikan petunjuk untuk menghilangkannya dari orang yang demikian itu dan menjadikannya dalam kesembuhan.
  Asy-Syafi’i berkata dalam Mukhtasar Al-Muzani, bahwa dia indahkan suaranya dengan cara apapun ketika membaca Al-Qur’an, dia berkata: “Cara yang lebih baik adalah membaca dengan perlahan-lahan dan suara lembut.”
  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abu Hurairah ra bahwa dia membaca “Idzasy-syamsu kuwwirat” dengan suara lembut seperti meratap.
  Dalam Sunan Abu Dawud, dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah: “Bagaimana pendapatmu jika suaranya tidak bagus?” Dia menjawab: “Hendaklah dia elokkan suaranya sedapat mungkin.”

Malasah ke-50:
Sunah mencari guru Al-Qur’an yang baik dan bagus suaranya. Ingatlah bahwa para jamaah ulama Salaf, meminta para pembaca Al-Qur’an yang bersuara bagus agar membacanya sedang mereka mendengarnya. Anjuran melakukan ini disetujui oleh para ulama dan itu adalah kebiasaan orang-orang baik dan ahli ibadah serta hamba-hamba Allah Yang sholeh. Perbuatan itu adalah sunnah dari Rasulullah saw.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Rasulullah saw berkata kepadaku, ‘Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah aku wajar membaca Al-Qur’an untukmu sedang kepadamu ia diberitakan?’ Nabi saw menjawab, ‘Sesungguhnya aku ingin mendengarnya dari orang lain.’ Kemudian aku bacakan kepadanya An-Nisa’ hingga ketika sampai pada ayat ini:“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”(QS An-Nisa 4:41)
   Beliau kemudian berkata, ‘Cukuplah bagimu sekarang.’ Kemudian aku menoleh kepadanya. Ternyata kedua matanya berlinang air mata.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
   Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan lainnya dengan sanad-sanad mereka dari Umar Ibnu Al-Khattab ra bahwa dia berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Ingatlah kami kepada Tuhan kamu.” Kemudian Abu Musa membaca Al-Qur’an di dekatnya. Athar-athar berkenaan dengan hal ini sudah dimaklumi. Telah meninggal dunia sejumlah orang sholeh dengan sebab membaca Al-Qur’an oleh orng yang mereka minta untuk membacakannnya. Wallahua’lam.
   Para ulama telah menganjurkan agar memulai majelis hadits Nabi saw danm mengkhatamkannya dengan bacaan sebagian  ayat-ayat Al-Qur’an oleh pembaca yang bagus suaranya. Kemudian, pembaca di tempat-tempat ini, hendaklah membaca ayat-ayat yang sesuai dengan majelisnya.
   Hendaklah dia membaca ayat-ayat yang membangkitkan harapan dan menimbulkan rasa takut, mengandung nasihat-nasihat, menyebabkan zuhud terhadap keduniaan, menimbulkan kesukaan kepada akhirat dan persiapan untuknya serta pendek angan-angan dan kemuliaan budi pekerti.

Masalah ke-51:
Jika pembaca memulai dari tengah surat atau berhenti di tempat yang bukan akhirnya, agar memulai permulaan kalam yang saling berkaitan antara satu sama lain (dan berhenti pada kalam berkenaan), serta tidak terikat dengan bagian-bagiannya karena bisa terjadi di tengah kalam yang berhubungan seperti bagian (juzuk) yang terdapat dalam Firman Allah swt:
“Dan (haram juga kamu mengawini) wanita yang bersuami…”(QS An-Nisa 4:24)
Dan firman Allah swt:“Dan aku tidak membebaskan driku (dari kesalahan)…”(QS Yusuf 12:53)
“Maka tidak ain jawaban kaumnya….”(QS An-Naml 27:56)
“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya….”(QS Al-Ahzab 33:31)
Dan firman Allah swt:“Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal dunia) suatu pasukan pun dari langit….”(QS Yaasin 36:28)
 “Kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang kiamat….”(QS Fushshilat 41:47)
 “Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat….”(QS Az-Zumar 9:48)
 “Ibrahim bertanya, ‘Apakah urusanmu, wahai para utusan.’”(QS Adz-Dzaariyaat 51: 31)

     Demikian jugalah dalam firman Allah swt:“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah swt dalam beberapa hari yang tertentu….”(QS Al-Baqarah 2:203)
 “Katakanlah, ‘Ingatlah aku khabarkan kepadamu apa yang lebih baik daripada yang demikian itu….”(QS Ali-Imran 3:15)
  Maka semua itu dan yang seumpanya, sepatutnya pembaca Al-Qur’an tidak memulai dengannya dan tidak berhenti di situ karena itu berkaitan dengan yang sebelumnya. Janganlah keliru karena banyaknya pembaca yang lalai dan tidak memperhatikan adab-adab ini dan tidak pula memikirkan makna-maknanya.
   Ikutilah pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah dengan isnadnya dari As-Sayyid yang mulai Al-Fudhail bin ‘Iyadh ra katanya: “Janganlah merasa kesepian di jalan kebenaran karena sedikit pengikutnya dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang rusak dan janganlah mengganggumu karena kurangnya orang-orang yang menempuhnya.”
   Untuk makna inilah para ulama berkata: “Membaca suatu surat yang pendek secara lengkap lebih baik daripada membaca sebagian surat panjang seperti surat pendek karena kadang-kadang sebagian orang tidak mengetahui hubungannya dalam sebagian keadaan.”
   Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abdullah bin Abul Huzail ra. seorang tabi’in terkenal, katanya: “Mereka tidak suka membaca sebagian ayat dan meninggalkan sebagiannya.”

Masalah ke-52:
Makruh membaca Al-Qur’an dalam beberapa keadaan. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an disunahkan secara mutlak, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu dilarang oleh syarak. Saya sebutkan sebagian yang saya ingat secara ringkas tanpa menyebut dalil-dalilnya karena cukup mansyur.
  Makruh membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukuk, sujud dan tasyahud serta keadaan-keadaan sembahyang lainnya, kecuali jika berdiri. Makruh membaca lebih dari Al-Fatihah bagi makmum dalam keadaan sembahyang yang dikeraskan bacaannya jika dia mendengar bacaan imam. Dan makruh pula membavanya dalam keadaan duduk di tempat buang hajat dan dalam keadaan mengantuk. Juga dihukumkan makruh mambacanya jika menemui kesukaran, demikian pula dalam keadaan khutbah bagi orang yang mendengarnya.
  Tidaklah dihukumkan makruh bagi orang yang tidak mendengarnya, bahkan diutamakan untuk membacanya.
   Inilah pendapat yang terpilih dan sahih.
   Diriwayatkan daripada Thawus berkenaan dengan hukum makruhnya dan Ibrahim berpendapat tidak makruh. Bisa digabung antara kedua pendapat itu dengan apa yang kami katakan sebagaimana disebutkan oleh sahabat kami.
  Tidak maktuh membaca Al-Qur’an ketika thawaf. Ini adalah madzhab kami dan madzhab sebagian besar ulama. Ibnu Mundzir menceritakannnya dari ‘Atha’, Mujahid, Ibnul Mubarak, Abu Thaur dan Ashabur Ra’yi.
   Diceritakan dari Hasan Al-Bashri, Urwah bin Zubair dan Malik, mengenai makruhnya membaca Al-Qur’an ketika thawaf. Pendapat yang lebih sahih adalah pendapat pertama. Telah dijelaskan sebelumnya tentang perselisihan berkenaan dengan membaca Al-Qur’an di tempat mandi dan di jalan serta orang yang di mulutnya ada najis.

Masalah ke-53:
Termasuk bid’ah-bid’ah apa yang dilakukan oleh orang-orng bodoh yang mengimani orang banyak dalam sembahyang Tarawih ketika membaca surat Al-An’aam pada rakaat terakhir pada malam ketujuh dengan menyakini bahwa hal itu mustahab (sunah).
   Maka mereka kumpulkn hal-hal yang tercela, antara lain menyakininya sebagai mustahab dan menyebabkan orang awam beranggapan seperti itu. Di antaranya menjadikan rakaat kedua lebih panjang dari rakaat pertama, sedangkan yang sunah adalah memanjangkan rakaat pertama.
   Diantaranya memanjangkan sembahyang terhadap para makmum. Juga bacaan surat yang amat laju.
   Termasuk bid’ah-bid’ah yang menyerupai ini adalah pembacaan sajdah dalam sembahyang Subuh hari Jumaat, tetapi nukan sajdah Alif Laam Mim Tanziil. Sedangakan yang sunah adalah membaca Alif Laam Mim Berita pada rakaat pertama dan surat Hal Ataa pada rakaat kedua.

Masalah ke-54:
Masalah-masalah aneh yang perlu diketahui. Di antaranya ialah apabila membaca surat, kemudian anging mengganggunya (menguap), maka hendaklah dia menghentikan bacaanya hingga sempurna keluarnya, kemudian kembali membaca. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dan lainnya dari Atha’ dan itu adalah adab yang baik.
   Diantaranya ialah apabila seseorang menguap, dia hentikan bacaannya hingga selesai menguap, kemudian meneruskan bacaan. Mujahid berkata: “Itu adalah baik.”
   Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri ra, Katanya: Rasulullah saw bersabda:“Jika seseorang dari kamu menguap, hendaklah dia menutup mulutnya dengan tangannya karena syaitan akan masuk.”(Riwayat Muslim)
     Diantaranya apabila membaca Firaman Allah ‘Azza wa Jalla:“Kaun Yahudi berkata: ‘Uzair putera Allah swt’ dan kaum Nasrani berakata, ‘Al-Masih putera Allah swt.”(QS At-Taubah 9:30)
    “Dan kaum Yahudi berkata: Tangan Allah swt terbelnggu.”(QS. Al-Maidah 5:64)
 “Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak…”(QS Maryam 19:88)
   Dan ayat-ayat lain yang seumpama itu. Maka hendaklah dia memperlahankan suaranya ketika membacanya. Demikianlah yang dilakukan oleh Ibrahim An-Nakha’ ra.
  Di antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dengan isnad dhaif dari Asy-Sya'b’ bahwa dikatakan kepadanya, jika manusia membaca:
“Sesungguhnya Allah swt dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi.”(QS Al-Ahzab 33:56)
  Dia pun mengucapkan sholawat untuk Nabi saw Asy-Sya’bi menjawab: “Ya”.
   Diantaranya ialah disunahkan baginya mengucapkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurtairah ra daripada Nabi saw bahwa Baginda bersabda: “Barangsiapa membaca (Wattiini waz-zaituuni) dan sehingga pada (Alaisa Allah swtu bi ahkamil haakimiin), hendaklah dia mengucapkan: Balaa wa ana ‘alaa dzaalika minays-syaahidiin.”(Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dengan isnad dhaif)
    Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Tirmidzi berkata: “Hadits ini diriwayatkan dengan isnad ini, dari orang badui dari Abu Hurairah.” Dia berkata: “Dan tidak disebut namanya.”
   Ibnu Abi Dawud dan lainnya meriwayatkan dalam hadits ini, sebagai tambahan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi:
“Barangsiapa membaca akhir surat Al-Qiyamah, (Alaisa dzaalika bi qaadirin ‘alaa an yuhyiya al-nautaa), hendaklah dia mengucapkan: ‘Balaa wa ana asyhadu’. Dan Barangsiapa membaca (Fa bi ayyi hadiithin ba’dahu yu’minuun), hendaklah dia mengucapkan, ‘Aamantu billahi.”
   Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair dan Abu Musa Al-Asy’ari’ra bahwa apabila seseorang dari mereka membaca: Sabbihisma rabbikal a’laa mereka mengucapkan Subhaan Rabbiyal A’laa (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Diriwayatkan dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia mengucapkan pada ayat itu Subhaana Rabbiyal a‘laa tiga kali. Diriwayatkan dari pada Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dia sembahyang dan membaca akhir surat Bani Israil. Kemudian dia ucapkan Alhamdullilahi ladzii lam yattakhidz waladan.
 Salah seorang sahabat kami telah menyebut bahwa sunah mengucapkan dalam sembahyang apa yang telah kami kemukakan dan dalam hadits Abu Huarairah berkenaan dengan ketiga surat itu. Demikian jugalah disunahkan mengucapkan lainnya dari yang kami sebutkan dan yang semakna dengannya. Wallahua’lam.

Masalah ke-55:
Bacaan Al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai Kalam. Ibnu Abi Dauwd menyebutkan adanya perselisihan berkenaan dengan hal ini. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I ra bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an dengan tujuan urusan dunia.
   Diriwayatkan dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia membaca dalam sembahyang Maghrib di Mekah, (Wattini waz zaituuni) dan menguatkan suaranya dan berkata, (Wa haadzal baladil amiini). Diriwayatkan dari Hukaim bin Sa’ad bahwa seorang lelaki dari Al-Muhakkamati datang kepada Ali yanbg sedang menunaikan sembahyang Subuh, kemudian berkata, Lain asyrakta layahbathanna amaluka (jika kamu mempersekutukan-Tuhan- niscaya akan sia-sialah amalmu. (QS Ar-Ruum 30:60). Maka Ali menjawabnya dalam sembahyang:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah swt adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah swt itu menggelisahkan kamu).”(QS Ar-Ruum 30:60)
   Para sahabat kami mengatakan, apabila seorang manusia minta izin masuk kepada orang yang sedang sembahyang, kemudian orang yang sembahyang itu mengatakan: “Udkhuluuha bi salaamin aaminiin (Masukkal kamu dengan selamat dan aman), maka jika dia maksudkan pembacaan ayat atau membaca ayat dan pemberitahuan, tidaklah batal sembahyangnya. Jika dia mekasudkan mmeberitahu dan tidak ada niat membaca ayat, batallah sembahyangnya.

Masalah ke-56:
Jika dia membaca sambil berjalan, kemudian melalui sejumlah manusia, diutamakan memutuskan bacaan dan memberi salam kepada mereka, kemudian melanjutkan bacaannya. Jika dia mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik. Sekiranya membaca sambil duduk, kemudian ada orang lalu di depannya, maka dikatakan oleh Imam Abul Hasan Al-Wahidi: “Pendapat yang lebih utama adalah tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an karena dia sibuk membaca.”
  Dan jika berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya, cukuplah dia menjawab dengan isyarat.” Masih menurut Abu Hasan, “Jika ingin menjawab dengan lafaz salam, dia bisa menjawabnya kemudian dia mulai membaca isti’adzah dan meneruskan bacaannya.”
  Pendapat yang dikemukakan itu lemah. Hal yang jelas adalah kewajiban menjawab lafaz. Para sahabat kami berkata: “Jika orang yang masuk memberi salam pada hari Jumaat dalam keadaan imam berkhutbah, sedangkan kami mengatakan bahwa diam adalah sunah, maka wajiblah ke atasnya menjawab salam menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat. Jika mereka katakan bahwa ini adalah dalam keadaan Khutbah, sedangkan terdapat perselisihan berkenaan dengan kewajiban diam dan pengharaman berbicara, maka dalam keadaan pembacaan yang tidak haram berbicara di dalamnya berdasarkan ijmak adalah lebih utama di samping hukum menjawab salam adalah wajib.” Wallahua’lam.
  Sementara itu, jika dia bersin dalam keadaan membaca, maka diutamakan mengucapkan, “Alhamdulillah”. Demikian pula halnya di dalam sembahyang. Sekiranya orang lain bersin sedang dia membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dan orang itu mendoakannya dengan mengatakan “Yarhamukallah.”
  Sekiranya pembaca Al-Qur’an mendengar Adzan, dia hentikan bacaannya dan menjawabnya dengan mengikutinya mengucapkan lafaz-lafaz adzan dan iqamat, kemudian dia kembali kepada bacaannya. Ini disetujui oleh para sahabat kami.
   Jika dia orang punya keperluan dengannya, sedangkan dia dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang yang bertanya dengan isyarat yang dapat difamahmi dan dia yakin bahwa hal itu tidak mengecewakan hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka sebaiknya dia menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan. Jika dia menghentikannya, maka hal itu diharuskan. Wallahua’lam.

Masalah ke-57:
Jika datang kepada pembaca Al-Qur’an orabg yang berilmu atau terhormat atau orang tua yang terpandang atau mereka miliki kehormatan sebagai pemimpin atau lainnya, maka tidaklah mengapa berdiri untuk menghormati DAN memuliakannya, bukan karena riya dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunah). Berdiri sebagai penghormatan adalah termasuk dari perbuatan Nabi saw dan perbuatan para sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya, serta perbuatan para tabi’in dan ulama yang sholeh setelah mereka.
  Telah saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya sebutkan di dalamnya hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan sunahnya dan yang melarangnya. Saya jelaskan kelemahan riwayat yang lemah dan kesahihan riwayat yang sahih daripadanya. Saya sebutkan pula jawaban tentang sangkaan adanya larangan atas hal itu, padahal tiada larangan di dalamnya.
   Saya jelaskan semua itu dengan memuji Allah maka siapa yang meragukan sesuatu dari hadits-haditsnya, hendaklah dia mempelajarinya, niscaya dia dapati keterangan yang menghilangkan keraguannya, insya Allah.

Masalah ke-58:
Hukum-hukum berharga yang berkaitan dengan membaca Al-Qur’an dalam sembahyang. Saya sampaikan pembahasan ini secara ringkas karena cukup mansyur dalam kitab-kitab fiqh. Di antaranya wajib membaca Al-Qur’an dalam sembahyang fardhu berdasarkan ijmak ulama. Kemudian Malik, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat, diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Abu Hanifah dan jamaah berkata, “Tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah untuk selamanya.” Dan katanya: “Tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir.” Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Banyak dalil dari Sunnah yang menyokong pendapat itu. Cukuplah memahami sabda NabI saw dalam hadits sahih:
“Tidak memadai (sah) sembahyang yang tidak dibaca Al-Fatihah di dalamnya.”
   Mereka sependapat atas sunahnya membaca surat sesudah Al-Fatihah dalam dua rakaat sembahyang Subuh dan dua rakaat pertama dari sembahyang-sembahyang lainnya. Mereka berlainan pendapat tentang anjuran membacanya pada rakaat ke tiga dan keempat. Menurut Imam Asy-Syafi’i ada dua pendapat tentang hal itu. Menurut madzhab baru (aqaul jadid) ialah tidak disunahkan dan menurut madzhab lama (qaul qadim) disunahkan.
     Para sahabat kami mengatakan, jika kami katakan bahwa ahl itu disunahkan, maka tiada perselisihan bahwa pembacaannya tidak lebih dari pembacaan dalam dua rakaat pertama. Mereka berpendapat bahwa pembacaan pada rakaat ketiga dan rakaat keempat adalah sama. Apakah pembacaan pada rakaat pertama lebih panjang daripada rakaat kedua? Maka ada dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih kuat (sahih) diantara keduanya menurut mayoritas sahabat kami adalah tidak lebih panjang. Pendapat kedua, yaitu yang sahih menurut para pengkaji adalah lebih panjang.

     Itulah pendapat yang terpilih berdasarkan hadits sahih:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Bahwa Rasulullah saw lebih memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari pada rakaat kedua.”

     Faedahnya ialah supaya orang yang tertinggal bisa mendapat rakaat pertama. Wallahua’lam.
    
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, apabila makmum masbuq mendapati dua rakaat terakhir dari sembahyang Zuhur dan lainnya bersama imam, kemudian dia kerjakan dua rakaat baginya, maka diutamakan baginya membaca Surat. Mayoritas sahabat kami berkata demikian ini atas dua pendapat. Setengah dari mereka berkata, ini menurut pendapat yang menganjurkan pembacaan surat dalam dua rakaat terakhir. Manakala menurut lainnya tidaklah diutamakan. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama supaya sembahyangnya tidak kosong dari surat. Wallahua’lam.

     Ini hukum imam dan orang yang sembahyang sendiri. Sementara makmum, maka jika sembahyangnya pelan bacaannya, wajiblah dia membaca Al-Fatihah dan diutamakan baginya membaca surat. Jika sembahyang itu bacaannya keras, sedang dia mendengar bacaan imam, tidaklah disukai baginya membaca surat.
    
Adapun tentang kewajiban membaca Al-Fatihah ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat (sahih) adalah wajib dan pendapat kedua tidak wajib. Jika tidak mendengar bacaan imam, maka yang sahih adalah wajib membaca Al-Fatihah dan diutamakan membaca surat. Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat wajib membaca Al-Fatihah da tidak sunah membaca Surat. Wallahua’lam.

     Wajib membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dari sembahyang jenazah. Manakala membaca Al-Fatihah dalam sembahyang nafilah, maka mesti dilakukan. Para sahabat kami berlainan pendapat berkenaan dengan penanamannya dalam sembahyang. Al-Qaffal berkata, dia dinamakan kewajiban. Kawannya Qadhi Husain berkata, dia dinamakan syarat.

     Orang lainnya berkata, dia dinamakan rukun dan itulah yang benar. Wallahua’lam.

     Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam semua ini maka hendaklah dia menggantinya dengan membaca ayat-ayat yang setara dengannya dari Al-Qur’an. Jika tidak mempu membaca sesuatu, dia berdiri sekedar lamanya bacaan Al-Fatihah kemudian rukuk. Wallahua’lam.

Masalah ke-59:
Tidaklah mengapa jika menggabungkan dua surat dalam satu rakaat. Mengikut riwayat yang terdapat di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Aku telah mengetahui surat-surat dimana pernah Rasulullah saw menggabungkannya. Dia menyebut dua puluh surat dari Al-Mufashshal, setiap dua surat dalam rakaat. Telah kami kemukakan dari jamaah Salaf pembacaan berkhatam dalam satu rakaat.

Masalah ke-60:
Para Ulam muslim sependapat atas sunahnya membaca dengan suara kuat dalam sembahyang Subuh, Jumaat, dua hari raya dan dua rakaat dari sembahyang Maghrib dan Isyak, sembahyang Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah mustahab bagi imam dan orang yang sembahyang sendirian. Sementara makmum, maka ia tidak menguatkan suaranya sesuai dengan ijmak. Sunah membaca dengan suara kuat dalam sembahyang gerhana bulan dan tidak membaca dengan keras dalam sembahyang gerhana Matahari, membaca dengan keras dalam sembahyang Istisqa’ (minta hujan) dan tidak membaca dengan suara kuat dalam sembahyang jenazah, jika sembahyangnya berlangsung pada waktu siang, demikian jugalah di malam hari menurut madzhab yang sahih dan terpilih.

     Tidak membaca dengan suara kuat dalam sembahyang nawafil siang hari kecuali sembahyang Hari Raya dan Istisqa’. Para sahabat kami berlainan pendapat berkenaan dengan sembahyang nawafil(sunah) di malam hari. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua membaca dengan suara kuat. Pendapt ketiga, yaitu yang lebih sahih dan didukung bersama oleh Al-Qadhi Husain dan Al-Baghawi ialah membaca antara kuat dan pelan.
    
Sekiranya tertinggal sembahyang pada waktu malam, kemudian dia mengqadhanya pada waktu siang atau tertinggal pada waktu siang dan mengqadahnya di malam hari, sama saja dikira dalam bacaan kuat dan bacaan pelan waktu yang tertinggal itu ataukah waktu qadha?
    
Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat dari pada sahabat kami. Pendapat yang lebih tepat adalah dikira waktu qadha.
    
Sekiranya membaca dengan kuat di tempat bacaan pelan atau membaca dengan pelan di tempat bacaan kuat, maka sembahyangnya sah, tetapi melakukan perbuatan yang makruh dan tidak sujud karena lupa.
    
Ingatlah bahwa bersuara pelan dalam mereka membaca Al-Qur’an, takbir dan dzikir-dzikir lainnya adalah dengan mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya dan mesti diucapkan kalau pendengarannya sehat dan tidak ada penghalangnya. Jika dirinya tidak mendengar bacaannya, maka tidak sah bacaannya ataupun dzikir-dzikir lainnya tanpa ada perselisihan.

Masalah ke-61:
Para sahabat kami berkata, disunahkan bagi imam dalam sembahyang yang kuat bacaannya agar diam empat kali dalam keadaan berdiri.

1.  Diam sesudah takbiratul ihram untuk membaca doa tawajjuh dan para makmum membaca takbir.
2.  Sesudah Al-Fatihah diam sebentar saja antara akhir Al-Fatihah dan uacapanm Aamiin supaya tidak timbul sangkaan bahwa Aamiin termasuk Al-Fatihah.
3.  Diam lama setelah mengucapkan Aamiin.
4.  Setelah membaca surat untuk memisahkan dengannya antara pembacaan surat dan takbir untuk melakukan rukuk.

Masalah ke-62:
Disunahkan bagi setiap pembaca, sama saja dalam sembahyang atau di luar sembahyang, jika selesai membaca Al-Fatihah agar menguacapkan Aamiin. Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Telah kami kemukakan dalam bab sebelumnya bahwa disunahkan memisahkan antara akhir Al-Fatihah dan ucapan Aamiin dengan diam sebentat. Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah. Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat, “Demikianlah, maka jadilah.”
    
Ada orang yang berpendapat, lakukanlah. Ada orang yang berpendapat artinya tidak ada seorangpun yang dapat melakukan ini selain Engkau.

     Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat artinya “Jangan sia-siakan harapan kami.” Ada orang yang berpendapat, artinya adalah “Ya Allah, selamatkanlah kami dengan kebaikan.” Ada orang yang berpendapat, ia pelindung dari Allah swt untuk hamba-hamba-Nya dengan menolak berbagai bencana dari mereka. Ada orang yang berpendapat, ia adalah derajat di Syurga yang dianugerahkan kepada siapa yang mengucapkannya. Ada orang yang berpendapat, ia adalah salah satu nama Allah swt Para pengkaji menolak pendapat ini. Ada orang yang berpendapat, ia adalah nama Ibrani yang tidak diarabkan. Abu Bakar Al-Warraq berkata, ia adalah kekuatan untuk berdoa dan permintaan turunnya rahmat. Ad orang yang berpendapt selain itu.

     Terdapat beberapa cara mengucapkan Aamiin. Para ulama berkata, yang paling fasih adalah Aamiin dengan memanjangkan Hamzah dan meringankan mim, cara kedua dengan memendekkannya. Kedua pendapat ini mansyur. Cara ketiga dengan imaalah diserta mad. Al-Wahidi menceritakan hal itu dari Hamzah dan Al-Kisaa’i. Cara keempat dengan tasydid pada mim disertai mad. Al-Wahidi menceritakannya dari Al-Hasan dan Al-Husain bin Al-Fudhail.

     Katanya: itu ditegaskan oleh apa yang diriwayatkan dari Jaafar Ash-Shidiq ra, katanya: Artinya adalah kami menuju kepada-Mu sedang Engkau Maha Pemurah hingga tidak menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini pendapat Al-Wahidi. Cara keempat ini asing sekali. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai kesalahan ucapan dari golongan orang awam.

     Sebagian dari sahabat kami berpendapat, barangsiapa mengucapkan cara keempat, batallah sembahyangnya. Ahli bahasa Arab berkata, haknya dalam bahasa Arab adalah waqaf (berhenti) karena kedudukannya seperti suara. Jika disambung, huruf nuun diberi harakat fathah karena adanya pertemuan dua sukun sebagaimana dia diberi harakat fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak diberi harakat kasrah karena beratnya bacaan kasrah sesudah ya’. Inilah penjelasan yang berkaitan dengan lafaz Aamiin.

     Saya telah menjelaskan hal itu dengan banyak bukti dan pendapat tambahan dalam kitab Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat.

     Para ulama berkata, diutamakan mengucapkan Aamiin dalam sembahyang bagi imam, makmum dan orang yang sembahyang sendirian. Imam dan orang yang sembahyang sendirian membaca Aamiin dengan suara kuat dalam sembahyang yang jahar bacaannya. Mereka berlainan pendapat berkenaan dengan bacaan kuat oleh makmum. Pendapat yang sahih ialah membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat ketiga membaca dengan suara  kuat jika banyak jumlahnya. Kalau tidak banyak, maka tidak membaca dengan kuat. Ucapan Aamiin oleh makmum bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya sesuai dengan sabda Nabi saw dalam hadits sahih:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Jika imam mengucapkan ‘Wa ladhdhaalliin,’ ucapkanlah ‘Aamiin’ karena barangsiapa yang ucapan ‘Aamiin’nya bertepatan dengan ucapan ‘Aamiin’ para malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu.”

     Manakala sabda Nabi saw dalam hadits sahih: “Jika imam mangucapkan Aamiin, maka ucapkanlah Aamiin.” Artinya ialah apabila ingin mengucapkan Aamiin.

     Para sahabat kami berkata, tidak ada dalam sembahyang suatu tempat yang diutamakan agar ucapan makmum bersamaan dengan ucapan imam, kecuali dalam ucapan Aamiin. Sementara dalam ucapan-ucapan lainnya, maka ucapan makmum datang kemudian setelah imam.

Masalah ke-63:
Sujud Tilawah. Para ulama sependapat atas perintah melakukan Sujud Tilawah. Mereka berlainan pendapat sama saja perintah itu merupakan sunah atau wajib?

     Mayoritas ulama mengatakan, tidak wajib, tetapi mustahab (sunah). Ini pendapat Umar Ibnu Al-Khattab ra, Ibnu Abbas, Imran bin Hushairi, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tahur, Dawud dan lainnya.

     Abu Hanifah rahimahullah berkata, hukumnya wajib. Dia berhujah dengan firman Allah swt:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.”
(QS Al-Insyiqaaq 84:20-21)

     Mayoritas ulam berhujah dengan hadsi sahih dari Umar Ibnu Al-Khattab ra, “Bahwa dia membaca di atas mimbar pada hari Jumaat surat An-Naml hingga sampai ayat sajadah, dia turun kemudian sujud dan orang lain pun sujud. Sehingga pada hari Jumaat berikutnya dia membacanya hingga tiba pada ayat sajadah, katanya: ‘Wahai para manusia. Sesungguhnya kita melalui tempat sujud, maka barangsiapa yang sujud, dia telah melakukan sesuatu yang benar. Dan siapa yang tidak sujud, dia tidak berdosa,’ dan Umar tidak sujud.”
                                      (Riwayat Bukhari)
    
Perbuatan dan perkataan Umar ra di majelis ini adalah dalil yang jelas.
    
Sementara jawaban terhadap ayat yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah ra adalah jelas karena yang dimaksud adalah mencela mereka yang meninggalkan sujud sebagai ungkapan pendustaan, sebagaimana firman Allah swt sesudahnya:

(Teks Bahasa Arab)
    
Terjemahan: “Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (nya)”
(QS Al-Insyiqaaq 84:22)

     Diriwayatkan dalam Shahihain dari Zaid bin Thabit ra. “bahwa dia membca di hadapan Nabi saw. ‘Wa-Najmi’ dan beliau tidak sujud.”

     Diriwayatkan dalam Shahihain “bahwa Nabi saw sujud ketika membaca surat An-Najm.” Maka semua itu menunjukkan bahwa Sujud Tilawah tidak wajib.

Masalah ke-64:
Penjelasan tentang jumlah Sujud Tilawah dan tempatnya. Manakala jumlahnya sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah danm mayoritas ulama adalah 14 sajadah, yaitu: Surat Al-A’raaf, Ar-Ra’ad, An-Nahl. Al-Israa’, Maryam, dalam surat Al-Hajj ada dua sujud, Al-Furqan, An-Naml, Alif Laam Tanziil, Haa Mim As-Sajadah, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.
    
Sementara sajadah dalam surat Shaad, maka hukumnya mustahab dan tidak ditekankan untuk melakukan sujud. Diriwayatkan dalah Shahih Muslim dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Sajadah dalam surat Shaad bukanlah sujud yang ditekankan dan aku telah melihat Nabi saw sujud pada ayat itu. “Ini adalah madzhab Asy’Asy-Syafi’i dan orang yang berpendapat seperti dia.
    
Abu Hanifah berkata, jumlahnya ada 14 sajadah, tetapi dia menggugurkan sajadah kedua surat Al-Hajj dan menetapkan sajadah dalam surat Shaad serta menjadikannya sebagai sajadah yang diharuskan sujud. Diriwayatkan dari Ahmad ada dua riwayat. Yang satu seperti Asy’Asy-Syafi’i dan yang kedua ada 15 sajadah dengan tambahan dalam surat Shaad. Ini adalah pendapat Abul Abbas bin Syuraih dan Abu Ishaq Al-Marzuki dari pengikut Asy-Syafi’i dan paling terkenal dari keduannya adalah 11 sajadah. Dia menggugurkan sajadah dalam surat An-Najm, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.

     Ini adalh pendapat lama dari Asy-Syafi’i dan yang sahih adalah apa yang kami kemukakan. Hadits-hadits yang sahih menunjukkan hal itu. Manakala tempat Sujud Tilawah terdapat pada:

1.  Akhir Surat Al-A’raf:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang disisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah swt dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.”
(QS Al-A’raf 7:206)

2.  Dalam surat Ar-Ra’d ialah sesudah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “… pada waktu pagi dan petang hari.”
 (QS Ar-Ra’d 13:15)

3.  Dalam surat An-Nahl:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “…dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
(QS An-Nahl 16:50)

4.  Dalam Al-Israa’:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “… dan mereka bertambah khusyuk.”
(QS Al-Israa’ 17:109)

5.  Dalam Surat Maryam:

(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “… maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangsis.”
(QS Maryam 19:58)

6.  Sajadah pertama dari surat Al-Hajj ialah:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “…Sesungguhnya Allah swt berbuat apa yang dia kehendaki.”
 (QS Al-Hajj 22: 18)

7.  Sajadah kedua dalam surat Al-Hajj:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “…berbutlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.”
(QS Al-Hajj 22:77)

8.  Dalam surat Al-Furqan:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “…dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh dari (iman).”
(QS Al-Furqan 25:60)

9.  Dalam surat An-Naml:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan:“… Tuhan Yang Mempunyai ‘Arasy yang agung.”
(QS An-Naml 27:26)

10.     Dalam surat Alif Laam Mim Berita:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “… sedang mereka tidak menyombongkan diri.”
(QS As-Sajadah 32: 5)

11.    Dalam Surat Haa Mim:

(Teks Bahasa Arab)
Terjemahan: “…sedang mereka tidak merasa jemu.”
(QS Fushshilat 41:15)

12.    Akhir surat An-Najm:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Maka bersujudlah kepada Allah swt dan sembahlah (Dia).”
(QS An-Najm 53:62)

13.    Dalam surat Al-Insyiqaaq:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “… mereka tidak sujud.”
(QS Al-Insyiqaaq 84:21)

14.    Dan bacalah di akhir surat Al-‘Alaq (QS ke-19)

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al-‘Alaq 96:19)

Tidak ada perselisihan yang berarti berkenaan dengan suatu tempatnya, kecuali berkenaan dengan sajadah yang terdapat dalam surat Haa Mim. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa tempatnya adalah apa yang kami sebutkan, yaitu sesudah yas-amuuna. Ini adalah madzhab Said Ibnu Musayyab, Muhammad bin Sirin, Abu Waail Syaqiq bin Salamah, Sufyan Ath-Thauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin Rahaqaih. Orang lainnya berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah swt In Kuntum iyyaahu ta’ buduun (QS Fushshilat: 37).
Ibny Nundzir menceritakannya dari Umar Ibnul Khattab, Hasan Al-Bashri dan para pengikut Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’I, Abu Shahih, Thalhah bin Masharif, Zubaid Ibnul Harith, Malik bin Anas dan Al-Laith bin Sa’ad. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, Al-Baghawi menceritakannya dalam At-Tahdziib.
Semenatara pendapat Abul Hasan Ali bin Said Al-Abdi salah seorang sahabat kami dalam kitabnya Al-Kifayah berkenaan dengan perselisihan fuqaha di kalangan kami, bahwa sajadah dalam surat An-Naml ayat 25, adalah pada firman Allah swt, Wa ya’lamu maayukhfuuna wamaa yu’linuun, berkata bahwa iniadalah madzhab sebagian besar fuqaha.
Malik berkata, bahwa sajadah itu pda firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘azhiim (QS An-Naml: 26)
Pendapat ini yang dipetik dari madzhab kami dan madzhab sebagian besar fuqaha yang tidak dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan yang nyata. Inilah kitab-kitab para sahabat kami yang menegaskan bahwa sajadah itu pada firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘Azhiim.

Masalah ke-65:
Hukum Sujud Tilawah sama dengan hukum sembahyang, nafilah dalam pensyaratan suci dari hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka haram Sujud Tilawah pada orang yang di badan atau bajunya terdapat najis yang tidak dapat dimaafkan. Dan haram atas orang yang berhadas, kecuali jika dia bertayamum di suatu tempat yang diharuskan bertayamum.
    
Diharamkan pula menghadap selain kiblat, kecuali dalam perjalanan di mana bisa menghadap selain kiblat dalam sembahyang nafilah. Semua ini disetujui oleh para ulama.

Masalah ke-66:
Jika membaca sajadah (dalam Surat Shaad), orang yang berpendapat bahwa dalam surat itu merupakan ketentuan tempatnya Sujud Tilawah, maka dia berkata, bisa sujud sama saja ketika dia membacanya di dalam sembahyang atau di luarnya sebagaimana sajadah-sajadah lainnya. Manakala Asy-Syafi’i dan lainnya berpendapat bahwa pada tempat itu tidak termasuk tempat tujuan Sujud Tilawah, maka mereka berkata, apabila membacanya di luar sembahyang, diutamakan baginya sujud karena Nabi saw sujud pada tempat itu sebagaimana kami kemukakan.
    
Jika membacanya dalam sembahyang, dia tidak sujud. Jika sujud, sedang dia tidak tahu atau lupa, tidaklah batal sembahyangnya, tetapi dia lakukan sujud Sahwi. Jika dia mengetahui, maka pendapat yang shahih adalah batal sembahyangnya karena dia menambah dalam sembahyang sesuatu yang bukan termasuk dari sembahyang, maka batallah sembahyangnya. Sebagaimana jika dia lakukan sujud syukur, maka sujud itu membatalkan sembahyangnya tanpa ada perselisihan.
    
Pendapat kedua adalah tidak batal karena berkaitan dengan sembahyang. Sekiranya imamnya sujud pada sajadah dalam surat Shaad karena dia meyakininya termasuk sajadah yang ditekankan untuk sujud sedang makmum tidak menyakininya, maka dia tidak mengikuti imam, tetapi memsisahkan diri daripadanya atau menunggunya sambil berdiri. Jika menunggunya, apakah makmum itu melakukan sujud Sahwi? Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak sujud.


Masalah ke-67:
Berkenaan dengan orang yang disunahkan untuk Sujud Tilawah. Ingatlah bahwa disunahkan melakukan Sujud Tilawah bagi pembaca Al-Qur’an yang bersuci dengan air atau tanah, sama saja dalam sembahyang atau di luarnya. Disunahkan pula bagi orang yang mendengar dan orang yang mendengar tanpa sengaja. Bagaimanapun Imam Asy-Syafi’i berkata, bahwa saya tidak menekankan ke atasnya sebagaimana saya tekankan bagi orang yang mendengar. Inilah pendapat yang shahih.

     Imamul Haramain sahabat kami berkata, bahwa orang yang mendengar tidak perlu sujud. Pendapat yang mansyur adalah pendapat pertama. Tiada bedanya sama saja pembacanya dalam sembahyang atau di luar sembahyang disunahkan bagi orang yang mendengar ataupun yang mendengar untuk sujud. Sama saja pembacanya sujud atau tidak. Inilah pendapat yang shahih dan mansyur menurut para sahabat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah juga menyatakan demikian. Sahibul Bayaan dari Ash-Habusy Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa orang yang mendengar bacaan orang yang membaca di dalam sembahyang, tidak perlu sujud.
    
Ash-Shaidalani sahabat Asy-Syafi’i berkata, bahwa tidak disunahkan sujud, kecuali jika pembacanya sujud. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Tidak ada bedanya sama saja pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan bersuci atau sorang kafir atau anak kecil atau berhadas atau seorang perempuan. Ini adalah pendapat yang sahih menurut pendapat kami dan Abu Hanifah juga berkata demikian.
    
Sebagian sahabat kami berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang kafir, anak kecil, orang yang berhadas dan orang yang mabuk. Sejumlah ulama Salaf berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang perempuan. Ibnul Munzir menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq. Pendapat yang lebih benar adalah apa yang kami kemukakan.

Masalah ke-68:
Tentang meringkas sujud Tilawah. Yang dimaksud adalah membaca satu atau dua ayat, kemudian sujud. Ibnul Mundzir menceritakan dari Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, An-Nakha’I, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal itu. Diriwayatkan daripada Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Thsaur bahwa hal itu tidak ada masalah denganya dan ini sesuai dengan madzhab kami.

Masalah ke-69:
Jika sembahyang sendirian, dia bisa sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya dia meninggalkan Sujud Tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah sesudahnya, maka tidak bisa. Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk tetapi belum sampai ke batas rukuk, maka bisa melakukan Sujud Tilawah. Jika dia lakukan dengan mengetahuinya, batallah sembahyangnya. Jika dia sudah merebahkan dirinya untuk sujud Tilawah, kemudian teringat dan berdiri semula, maka hal itu bisa.
    
Sementara jika orang yang sembahyang sendirian mendengar bacaan seorang pembaca dalam sembahyang atau lainnya, maka dia tidak bisa sujud karena mendengarnya. Jika dia sujud dengan mengetahui, batallah sembahyangnya.
    
Manakala orang yang sembahyang berjamaah, apabila dai sebagai imam, maka dia seprti orang yang sembahyang sendirian. Jika Imam Sujud Tilawah karena bacaannya sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya, batallah sembahyangnya, Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak bisa sujud. Jika makmum sujud, batallah sembahyangnya. Bagaimanapun diutamakan baginya untuk sujud jika selesai sembahyang dan tidak ditekankan.
    
Sekiranya imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari sujud, maka dia dimaafkan atas ketertinggalannya dan dia tidak bisa sujud. Sekiranya dia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, wajiblah dia sujud. Sekiranya dia rebahkan diri untuk sujud, kemudian imam mengangkat kepalanya ketika dia sedang bergerak untuk sujud, maka dia mesti berdiri semula bersamanya dan tidak bisa sujud.
    
Demikian orang lemah yang merebahkan untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka dia kembali bersamanya dan tidak bisa meneruskan sujud.

     Sementara jika orang yang sembahyang itu sebagai makmum, maka dia tidak bisa sujud karena bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain imamnya. Jika dia sujud, batallah sembahyangnya. Dan makruh baginya membaca ayat sajadah dan mendengar pada bacaan selain imamnya.

Masalah ke-70:
Waktu sujud Tilawah. Para Ulama berkata, bahwa sujud Tilawah itu mesti dilakukan sesudah ayat sajadah yang dibaca atau didengarnya. Jika dia tangguhkan dan tidak lama selang waktunya, dia bisa sujud. Jika lama selang waktunya, maka telah berlalu waktu sujudnya dan tidak perlu mengqadha menurut madzhab yang sahih dan masyhur, sebagaimana sembahyang gerhana matahari tidak bisa di qadha. Salah seorang sahabat kami berkata, bahwa ada pendapat lemah yang mengatakan bahwa sujud itu bisa di qadha sebagaimana mengqadha sunah-sunah rawatib, seperti sunah Subuh, Zuhur dan lainnya.

     Kalau pembaca atau pendengarnya berhadas ketika membaca sajadah, kemudian bersuci dalam waktu yang tidak lama, dia bisa sujud. Jika bersucinya terlambat hingga lama selang waktunya, maka pendapat yang sahih dan terpilih yang ditetapkan oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.

     Ada orang yang berpendapat bahwa dia bisa sujud. Ini adalah pilihan Al-Baghawi sahabat kami. Dia pun bisa menjawab muadzin (orang yang azan) setelah selesai sembahyang. Hal yang dikira berkenaan dengan lamanya selang waktu dalam hal ini adalah menurut kebiasaan sebagai madzhab terpilih. Wallahua’lam.

Masalah ke-71:
Jika seluruh ayat sajadah atau beberapa sajadah dibaca dalam suatu majelis, maka dia sujud pada setiap sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulangi bacaan satu ayat dalam beberapa majelis, maka dia sujud untuk setiap kali sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulanginya dalam satu majelis, maka ada beberapa pandangan. Jika tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya sekali sujud untuk semuanya. Jika dia sujud untuk kali yang pertama, maka ada tiga pendapat berkenaan dengan puasaerkara tersebut. cara yang lebih sahih adalah sujud sekali untuk setiap bacaan karena adanya sebab baru setelah memenuhi hukum yang pertama.

     Pendapat kedua, cukuplah baginya sujud setelah bacaan pertama untuk semuanya. Ini adalah pendapat Ibnu Surajj dan MerekaAzhab Abu Hanifah rahimahullah. Penulis Al-‘Uddah sahabat kami berkata, inilah yang difatwakan. Asy-Syeikh Nashr Al-Maqdisi Az-Zaahid sahabat kami memilih pendapat ini.
    
Pendapat ketiga, jika selang waktunya berlangsung lama, dia bisa sujud. Kalau tidak, cukuplah baginya  sujud karena sajadah yang pertama. Jika satu ayat dibaca berulang-ulang dalam sembahyang dan kalau hal itu dilakukan dalam satu rakaat, maka seperti satu majelis. Kalau berlangsung dalam dua rakaat, maka dia seperti dua majelis hingga dia ulangi sujudnya tanpa ada perselisihan.

Masalah ke-72:
Jika membaca sajadah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, dia bisa sujud dangan memberi isyarat. Ini adalah madzhab kami, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya. Seorang sahabat Abu Hanifah berkata dia, tidak perlu sujud. Pendapat yang lebih banar adalah madzhab mayoritas ulama. Manakala orang yang menaiki kendaraan di tempat menetap, maka dia tidak bisa sujud dengn memberi isyarat.

Masalah ke-73:
Jika dia membaca ayat sajadah dalam sembahyang sebelum Al-Fatihah, maka dia bisa sujud. Lain halnya jia dia membaca dalam rukuk atau sujud, maka dia tidak bisa sujud. Karena berarti adalah tempat membaca. Sekiranya dia membaca sajadah, kemudian merebahkan diri untuk sujud, kemudian dia ragu sama saja membaca Al-Fatihah atau belum, maka dia bisa sujud untuk tilawah. Kemudian dia berdiri lagi dan membaca Al-fatihah karena Sujud Tilawah tidak bisa ditangguhkan.

Masalah ke-74:
Jika seseorang membaca sajadah dengan bahasa Parsi, maka menurut pendapat kami tidak perlu sujud, sebagaimana jika ayat sajadah itu ditafsirkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bisa sujud.

Masalah ke-75:
Jika orang yang mendengar ayat sajadah itu sujud bersama pembaca, dia tidak terikat dengannya dan tidak berniat mengikutinya dan dia bisa bangkit dari sujud sebelumnya.

Masalah ke-76:
Tidaklah makruh pembacaan ayat sajadah oleh imam, menurut pendapat kami, sama saja dalam sembahyang yang pelan bacaannya atau dalam sembahyang yang jahar bacaannya dan dia bisa sujud jika membacanya.

     Dalam hal ini Imam Malik berpendapat, bahwa sujud tidak disukai sama sekali. Abu Hanifah berpendapat, Makruh sujud Tilawah dalam sembahyang yang pelan bacaannya, bukan sembahyang yang jahar bacaannya.

Masalah ke-77:
Menurut pendapat kami tidak makruh Sujud Tilawah dalam waktu-waktu yang dilarang sembahyang. Ini juga merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Salim bin Abdullah, Al-Qasim, Atha’, Ikrimah, Abu Hanifah, Ashabur Ra’yi dan Malik dalam salah satu dari dua riwayat. Sejumlah ulama tidak menyukai hal itu. Diantara mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’id, Ibnul Musayyab dan Malik dalam riwayat lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Thaur.

Masalah ke-78:
Rukuk tidak bisa manggantikan kedudukan sujud Tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini mazhab kami dan madzhab mayoritas Ulama Salaf dan Kalaf. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, rukuk bisa menggantikannya. Dalil yang dipakai oleh mayoritas adalah mengkiaskannya dengan sujud dalam sembahyang. Sementara orang yang tidak sanggup sujud, maka dia memberi isyarat untuk Sujud Tilawah sebagaimana dia memberi isyarat untuk sujud dalam sembahyang.


Masalah ke-79:
Tentang sifat sujud. Ingatlah bahwa orang yang melakukan sujud Tilawah mempunyai dua keadaan. Yang pertama, di luar sembahyang dan yang kedua di dalam sembahyang.
    
Manakala keadaan pertama, maka jika dia ingin sujud, dia niatkan Sujud Tilawah dan melakukan takbiratul ihram dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahunya sebagaimana dia melakukan takbiratul ihram untuk sembahyang. Kemudian dia takbir lagi untuk Sujud Tilawah tanpa mengangkat tangan. Takbir yang kedua ini mustahab, bukan syarat, seperti takbir sujud untuk sembahyang. Sementara takbir yang pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari sahabat-sahabat kami.
    
Pendapat pertama adalah yang paling tepat yaitu pendapat sebagian besar dari mereka, bahwa takbir yang pertama (takbiratul ihram) merupakan rukun dan tidak sah sujud Tilawah kecuali dengannya.
    
Pendapat kedua adalah mustahab. Sekiranya takbir itu ditinggalkan sujudnya tetap sah. Ia adalah pendapat Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini.

     Pendapat ketiga tidak mustahab. Wallahua’lam.

     Kemudian, jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan berdiri, dia pun mengucapkan takbiratul ihram, kemudian takbir untuk sujud ketika merebahkan diri ke tempat sujud. Jika dalam keadaan duduk, maka jamaah  daripada sahabat kami berpendapat: Disunahkan baginya berdiri, kemudian takbiratul Ihram dalam keadaan berdiri kemudian merebahkan diri untuk sujud, sebagaimana halnya ketika permulaan dalam keadaan berdiri.

     Dalil pendapat ini adalah mengkiaskan takbiratul ihram dan sujud dalam sembahyang. Orang yang menetapkan ini antara lain imam-imam sahabat kami Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan AlQadhi Husain dan kedua sahabatnya ini adalah penulis At-Titimmah dan At-Tahdzib dan Imam Al-Muhaqiq Abul Qasim Ar-Rafi’i. Imamul Haramainmenceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh Abu Muhammad.
    
Kemudian dia mengingkarinya dan berkata, saya tidak melihat dasar dikemukakannya alasan perkara ini. Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramainini adalah benar. Tidak ada riwayat yang sahih berkenaan dengan hal ini dari pada Nabi saw dan tidak pula dari ulama Salaf yang bisa dibuat sandaran. Mayoritas dari sahabat kami tidak ada yang menyebutnya. Wallahua’lam.
    
Kemudian ketika sujud dia mesti memperhatikan adab-adab sujud dalam bentuk (haiah) dan tasbihnya. Manakala berkenaan dengan haiahnya, maka dia letakkan kedua tangannya setakat kedua bahunya di atas tanah dan merapatkan jari-jemarinya serta membentangkannya ke arah kiblat dan membentangkan jari-jemarinya dari genggaman sebagaimana orang yang melakukan sujud dalam sembahyang. Dia jauhkan kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya kalau seorang lelaki. Jika dia seorang perempuan, maka dia tidak menjauhkannya. Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat sembahyang) dan tenang dalam sujudnya.

     Sementara tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami berpendapat, dia bertasbih seperti bertasbih dalam sujud sembahyang. Dia ucapkan tiga kali Subhana Rabbiyal A’la tiga kali.

     Kemudian dia ucapkan:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, kapada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”
    
Dan dia ucapkan Subbuhun Qudduusun Rabbul malaaikati warruuh.
    
Semia ini diucapkan orang yang sembahyang dalam sujudnya ketika sembahyang. Para sahabat kami juga berkata, diutamakan mengucapkan:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisi-Mua dan jadikanlah dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku dan terimalah dia dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud as.”
    
Doa ini khusus bagi sujud ini (Sujud Tilawah), maka patutlah dia selalu dibaca.
    
Al-Uatad Isma’il Adh-Dharir berkata dalam kitabnya At-Tafsir bahwa pilihan Asy-Syafi’i ra dalam doa sujud Tilawah adalah mengucapkan:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.”
(QS Al-Isra’ 17:108)
    
     Petikan dari Asy-Syafi’i ini aneh sekali dan ia adalah baik. Karena zahir Al-Qur’an menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh pelakunya. Maka disunahkan menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya dan berdoa berkenaan dengan urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya. Jika dia batasi pada sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya. Sekiranya tidak bertasbih dengan sesuatu apa pun, tercapailah sujudnya seperti halnya sujud dalam sembahyang.

     Kemudian ketika selesai dari bertasbih dan berdoa, dia angkat kepalanya sambil bertakbir.

     Apakah Sujud Tilwah memerlukan salam? Terdapat dua pendapat yang masyhur dari Asy-Syafi’i. Cara yang lebih sahih dari keduanya menurut mayoritas sahabatnya ialah dia memerlukan salam karena memerlukan takbiratul ihram dan menjadi seperti sembahyang jenazah. Di didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa apabila membaca ayat sajadah, dia pun sujud, kemudian memberi salam.

     Pendapat kedua, tidak memerlukan salam seperti Sujud Tilawah dalam sembahyang karena hal itu tidak dinukil dari pada Nabi saw.
    
Berdasarkan pendapat pertama, apakah dia memerlukan tasyahud? Terdapat dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih sahih dari keduanya ialah tidak perlu tasyahud, sebagaimana tidak perlu berdiri.
    
Salah seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah dan berkata, berkenaan dengan tasyahud dan salam ada tiga pendapat:

1.    Pendapat yang lebih sahih ialah mesti memberi salam tanpa membaca tasyahud.
2.    Pendapat kedua, dia tidak memerlukan salah satu dari keduanya.
3.    Dan pendapat ketiga ialah mesti melakukan keduanya.

Mereka yang berpendapat harus memberi salam, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu Abdurrahman As-Salami, Abul Ahwash, Abu Qalabah dan Ishaq bin Rahawain.

Mereka yang berpendapat tidak perlu memberi salam, antara lain Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’I, Yahya bin Wathab dan Ahmad. Semua ini dalam keadaan pertama, yaitu sujud di luar sembahyang. Keadaan kedua, yaitu melakukan Sujud Tilawah dalam sembahyang, maka dia tidak perlu mengucapkan takbiratul ihram dan diutamakan bertakbir untuk sujud dan tidak mengangkat kedua tangannya serta bertakbir untuk bangkit dari sujud. Inilah pendapat yang sahih dan masyhur yang didukung bersama oleh mayoritas ulama.

Abu Ali bin Abu Huarirah salah seorang sahabat kami berkata, dia tidak perlu bertakbir untuk sujud ataupun untuk bangkit dari sujud. Pendapat yang terkenal adalah pendapat pertama.

Manakala adab-adab dalam haiah dan tasbih dalam Sujud Tilawah adalah seperti dalam sikap sujud yang lalu di luar sembahyang. Kecuali jika orang yang sujud itu menjadi imam, maka hendaklah dia tidak memanjangkan tasbih, kecuali jika dia tahu dari keadaan para makmuk bahwa mereka lebih suka memanjangkannya.
Kemudian, ketika bangkit dari sujud, dia berdiri dan tidak duduk untuk diam sejenak tanpa ada perselisihan. Ini adalah masalah yang aneh dan jarang orang menyebutnya. Di antara yang menyebutnya adalah Al_Qadhi Husain, Al-Baghawi dan Ar-Rafi’i. Ini berlainan dengan sujud sembahyang.

Pendapat yang sahih dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan terpilih yang tercatat dalam hadits-hadits sahih riwayat Bukhari dan lainnya adalah anjuran untuk duduk istirahat sesudah sujud yang kedua dari rakaat pertama dalam setiap sembahyang dan pada rakaat ketiga dalam sembahyang yang rakaatnya empat.

Kemudian, apabila bangkit dari Sujud Tilawah, maka harus berdiri tegak. Disunahkan ketika berdiri tegak adalah membaca sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak, kemudian rukuk tanpa membaca sesuatu, maka hukumnya bisa.

Masalah ke-80:
Waktu-waktu terpilih membaca Al-Qur’an. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an yang paling baik adalah di dalam sembahyang. Manurut madzhab Asy-Syafi’i dan lainnya, bahwa berdiri lama dalam sembahyang lebih baik daripada sujud yang lama.

     Sementara membaca Al-Qur’an di luar sembahyang, maka yang paling utama adalah pada waktu malam dan dalam separuh terakhir dari waktu malam lebih baik daripada separuh pertama. Membacanya di antara Maghrib dan Isyak disukai. Manakala pembacaan pada waktu siang, maka yang paling utama adalah setelah sembahyang Subuh dan tidak ada makruhnya membaca Al-Qur’an pada waktu-waktu yang mengandung makan.

     Sementara yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mu’adz bin Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka tidak suka membaca Al-Qur’an sesudah Ashar. Waktu itu adalah waktu orang Yahudi belajar. Riwayat itu tidak bisa diterima dan tidak ada dasarnya.

     Hari-hari yang terpilih ialah Jumaat, Senin, Kamis dan hari Arafah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah; sedang bulan yang paling utama dalah bulan Ramadhan.

Masalah ke-81:
Jika pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah dicapainya, maka bertanyalah kepada orang lain. Patutlah dia mengacu dengan apa yang diriwayatkan daripada Abdullah Abu Mas’ud, Ibrahium An-Nakha’I dan Basyir bin Abu Mas’ud ra. Mereka berkata, apabila seseorang dari kamu bertanya kepada saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah dia membaca ayat yang sebelumnya, kemudian diam dan tidak mengatakan bagaimana bisa begini dan begini, hal itu akan mengelirukannya.

Masalah ke-82:
Jika ingin berdalil dengan suatu ayat, maka dia bisa berkata, Qaalallahu Ta’ala kadza (Allah telah berfirman demikian) dan dia bisa berkata, Allaahu Ta’ala Yaquulu kadza (Allah berfirman demikian). Tidak ada makruhnya sesuatu pun dalam hal ini. Ini adalah pendapat yang sahih dan yang terpilih yang didukung bersama oleh ulama Salaf dan Kalaf.

     Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharif bin Abdullah Ibn Asy-Syakhiir seorang tabi’in yang masyhur, katanya: Janganlah kamu katakan, Innallaaha Ta’ala Yaquulu, tetapi katakanlah, InnAllah swta Ta’ala qaala. Apa yang diingkari oleh Mutharif rahimahullah ini bertentangan dengan apa yang disebut di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilakukan oleh para sahabat serta para ulama setelah mereka-mudah-mudahan Allah swt meridhaoi mereka.
Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
(QS Al-Ahzab 33:4)

     Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr ra katanya: Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Barangsiapa berbuat baik, maka dia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.”
(QS Al-An’am 6:60)

     Diriwayatkan dalam shahih Muslim dalam bagian Tafsir; “Lan Tanaalul birra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuun.”

     Abu Talhah berkata:

     Terjemahan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(QS Ali-Imran 3:92)

     Ini adalah pendapat Abu Thalhah di hadapan Nabi saw

     Diriwayatkan dalam hadits sahih dari Masruq rahimahullah, katanya: Aku berkata kepada Aisyah ra, bukankah Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.”
 (QS At-Takwir 81:23)

     Maka Aisyah menjawab, tidaklah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.”
(QS Al-An’am 6:130)
    
Atau tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.”
(QS Asy-Syuura 26:51)

     Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
(QS Al-Maidah 5:67)

     Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.”
(QS An-Naml 27:65)

     Pendapat ini lebih banyak ditemukan dalam pandangan ulama Salaf dan Kalaf. Wallahua’lam.

Masalah ke-83:
Adab-adab berkhatam Al-Qur’an dan segala yang berkaitan dengannya. Dalam bab ini ada beberapa Masalah:
    
Masalah pertama, berkenaan dengan waktunya telah ditentukan bahwa pengkhataman oleh pembaca sendirian disunahkan untuk dilakukan dalam sembahyang. Ada orang yang berpendapat, disunahkan melakukan pengkhataman itu dalam dua rakaat sunah Fajar dan dalam dua rakaat sunah Maghrib, sedangkan dalam dua rakaat Fajar lebih utama.
    
Disunahkan pengkhataman Al-Qur’an sekali khatam di awal siang dalam suatu rumah dan mengkhatamkn lainnya diakhir siang di rumah lain. Manakala yang mengkhatamkan di luar sembahyang dalam jamaah yang mengkhatamkan bersama-sama, maka disunahkan pengkhataman mereka berlangsung di awal siang atau di awal malam sebagaimana dikemukakan. Awal siang lebih utama menurut sebagian ulama.
    
Masalah kedua, diutamakan berpuasa pada hari pengkhataman, kecuali jika bertepatan dengan hari yang dilarang syarak puasa hari itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Dawud dengan isnadnya yang sahih, bahwa Thalhah bin Mutharif dan Habib bin Abu Thabit, serta Al-Musayyib bin Raafi’ para tabi’im Kuffah ra, dianjurkan berpuasa pada hari di mana mereka mengkhatamkan Al-Qur’an.

     Masalah ketiga, diutamakan sekali menghadiri majelis pengkhataman Al-Qur’an.
    
Diriwayatkan dalam Shahihain:

Terjemahan: “Bahwa Rasulullah saw menyuruh perempuan-perempuan yang haid keluar pada hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.”
    
Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi dan Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari ibnu Abbas ra bahwa dia menyuruh seseorang memperhatikan seorang yang membaca Al-Qur’an. Jika pembaca Al-Qur’an itu akan khatam, hendaklah dia memberitahukan kepada Ibnu Abbas, sehingga dia dapat menyaksikan berkhatam itu.
    
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan dua isnadnya yang sahih dari Qatadah seorang tabi’in besar sahabat Anas ra, katanya: Anas bin Malik ra. Apabila mengkhatamkan Al-Qur’an, dia kumpulkan keluarganya dan berdoa. Dia meriwayatkan dengan isnad-isndnya yang sahih dari Al-Hakam bin Uyainah seorang tabi’in yang mulia.
    
Katanya: Mujahid dan Utbah bin Lubabah mengutus orang kepadaku, keduanya berkata, kami mengutus orang kepadamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Qur’an. Doa sangat mustajab ketika mengkhatamkan Al-Qur’an. Dalam suatu riwayat yang sahih disebutkan, bahwa rahmat turun ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.
    
Diriwayatkan dengan isnadnya yang sahih dari mujahid, katanya: Mereka berkumpul ketika mengkhatamkan Al-Qur’an dan berkata, rahmat Allah swt turun.
    
Masalah keempat, berdoa sesudah pengkhataman Al-Qur’an amat disunahkan berdasarkan apa yang kami sebutkan dalam masalah sebelumnya. Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi dengan isnadnya dari Humaid Al-A’raj, katanya: Barangsiapa membaca Al-Qur’an, kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4.000 malaikat. Hendaklah dia bersungguh-sungguh dalam bedoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta memperbanyak untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin mereka.

     Diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Nisaburi dengan isnadnya bahwa Abdullah Ibn Al-Mubarak ra apabila mengkhatamkan Al-Qur’an, maka sebagian besar doanya adalah untuk kaum  muslimin, Mukminin dan mukminat. Pada waktu yang sama dia juga berkata seperti itu. Maka hendaklah orang yang berdoa memilih doa-doa yang menyeluruh, seperti:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, sempurnakanlah hati kami, hilangkanlah keburukan kami, bimbinglah kami dengan jalan yang terbaik, hiasilah kami dengan ketaqwaan, kumpulkanlah bagi kami kebaikan akhirat dan dunia dan anugerahkanlah kami ketaatan kepada-Mu selama Engkau menghidupkan kami.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, mudahkanlah kami ke jalan kemudahan dan jauhkanlah kami dari kesukaran, lindungilah kami dari keburukan diri kami dan amal-amal kami yang buruk, lindungilah kami dari siksa neraka dan siksa kubur, fitnah semasa hidup dan sesudah mati serta fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, kami mohon kepada-Mu petunjuk, kekuatan, kesucian diri dak kecukupan.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, Kami amanahkan pada-Mu agama, jiwaraga dan penghabisan amal-amal kami, keluarga dan orang-orang yang kami cintai, kaum muslimin lainnya dan segala urusan akhirat dan dunia yang Engkau anugerahkan kepada kami dan mereka.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agama, dunia dan akhirat. Kumpulkanlah antara kami dan orang-orang yang kami cintai di negeri kemuliaan-Mu dengan anugerah dan rahmat-Mu.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, sempurnakanlah para pemimpin muslimin dan jadikanlah mereka berlaku adil terhadap rakyat mereka, berbuat baik kepada mereka, menunjukkan kasih sayang dan bersikap lemah-lembut kepada mereka serta memperhatikan maslahat-maslahat mereka. Jadikanlah mereka mencintai rakyat dan mereka dicintai rakyat. Jadikanlah mereka menempuh jalan-Mu dan mengamalkan tugas-tugas agama-Mu yang lurus.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, berlembutlah kepada hamba-Mu penguasa kami dan jadikanlah dia memperhatikan maslahat-maslahat dunia dan akhirat. Jadikanlah dia mencintai rakyatnya dan jadikanlah dia dicintai rakyat.”

     Dia membaca doa-doa lanjutan berkenaan dengan para pemimpin dan menambahkan sebagai berikut:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, rahmatilah diri dan negerinya, jagalah para pengikut dan tentaranya, tolonglah dia untuk menghadapi musuh-musuh agama dan para penantang lainnya. Jadikanlah dia bertindak menghilangkan berbagai kemungkaran dan menunjukkan kebaikan-kebaikan serta berbagai bentuk kebajikan. Jadikanlah Islam semakin tersebar dengan sebabnya, muliakanlah dia dan rakyatnya dengan kemuliaan yang cemerlang.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin dan murahkanlah harga-harag mereka, amankanlah mereka di negeri-negeri mereka, lunasilah hutang-hutang mereka, sembuhkanlah orang-orang yang sakit diantara mereka, bebaskanlah mereka yang ditawan, sembuhkanlah penyakit hati mereka, hilangkanlah kemarahan hati mereka dan persatukanlah diantara mereka.

Jadikanlah iman dan hikmah dalam hati mereka, tetapkanlah mereka diatas agama Rasul-Mu saw. Ilhamilah mereka agar memenuhi janji-Mu yang Engkau berikan kepada mereka, tolonglah mereka dalam menghadapi musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Tuhan Yang Maha Besar dan jadikanlah kami dari golongan mereka.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, jadikanlah mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mengamalkannya, mencegah dari yang mungkar dan menjauhinya, memelihara batas-batas-Mu, melakukan ketaatan kepada-Mu, saling berbuat baik dan menasihati.”

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ya Allah, jagalah dalam pendapat dan perbuatan mereka, berkatilah mereka dalam semua keadaan mereka.”
    
Orang yang berdoa hendaklah memulai dan mengakhiri doanya dengan ucapan:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Segala Puji bagi Allah Tuhan sekalian alam dengan pujian yang memadai dengan nikmat-nikmat-Nya dan sepadan dengan tambahan-Nya.

Ya Allah, limpahkanlah sholwat dan salam ke atas Muhammad dan keluarga (Penghulu Kami) Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan sholwat ke atas Ibrahim dan keluarganya.

Berkatilah (Penghulu kami) Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkati Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”
    
Masalah kelima, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, disunahkan memualai lagi membaca Al-Qur’an sesudahnya. Para Ulama Salaf dan Kalaf telah menganjurkan hal itu. Mereka berhujah dengan hadits Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Sebaik-baik amal adalah al-Hallu dan ar-Rahlah. Ditanyakan kepada baginda, ‘Apakah keduanya itu?’ Nabi saw menjawab, ‘Memulai membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkannya’.”
==

BAB VII:
ADAB BERINTERAKSI DENGAN AL-QUR’AN

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Tamim Ad-Daariy ra, katanya: Nabi saw bersabda:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Agama itu nasihat. Kami berkata, ‘Untuk siapa? Nabi saw menjawab, ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam mereka.”
    
Para ulama rahimahullah berkata, nasihat untuk Kitab Allah swt adalah, “Beriman bahwa ia adalah kalam Allah dan wahyu-Nya, tidak ada sesuatupun dari makhluk yang menyerupainya dan seluruh makhluk tidak ada yang mampu berbuat seperti itu.”

     Kemudian mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Bersikap khusyuk ketika membacanya, seperti makhraj huruf-hurufnya yang tepat, membelanya dari penakwilan orang-orang yang menyelewengkannya dan gangguan orang-orang yang melampaui batas, membenarkan isinya, menjalankan hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaannya, memperhatikan nasihat-nasihatnya, memikirkan keajaiban-keajaiban dan mengamalkan ayat-ayatnya yang muhkam (jelas) dan menerima ayat-ayatnya yang mutasyabih (samar) mencari keumuman dan kekhususan, nasikh dan mansukhnya, menyebarkan keumuman dan kekhususan ilmu-ilmunya, menyeri kepadanya.

Masalah ke-84:
Kaum muslimin sependapat atas wajibnya mengagungkan Al-Qur’an yang mulia secara mutlak, menyucikan dan menjaganya. Dan mereka sependapat bahwa siapa yang mengingkari satu huruf daripadanya yang telah disetujui atau menambah satu huruf yang tidak pernah dibaca oleh seorang pun sedang dia mengetahui hal itu, maka dia kafir.
    
Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Ingatlah bahwa siapa yang meremehkan Al-Qur’an atau sebagian daripadanya atau memakainya atau mengingkari satu huruf daripadanya atau mendustakan sesuatu hukum atau kabar yang ditegaskan di dalamnya atau membenarkan sesuatu yang dinafikannya atau menafikan sesuatu yang ditetapkannya, sedang dia mengetahui hal itu atau meragukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ul muslimin.                             
    
Demikian jugalah jika dia mengingkari Taurat dan Injil atau Kitab-kitab Allah Yang diberitakan atau kafir dengannya atau memakainya atau meremehkannya, maka dia telah kafir.
    
Katanya: Para ulama muslimin sependapat bahwa Al-Qur’an yang dibaca di negeri-negeri dan tertulis di dalam Mushaf yang berada di tangan kaum muslimin dan dihimpun di antara dua sampul mulai dari Al-Hamdulillahi rabbil ‘aalamiin hingga akhir Qul A’uudzu birabbin naas adalah Kalamullah dan wahyu-Nya yang diberitakan kepada Nabi-Nya Muhammad saw.
    
Dan mereka sependapat bahwa semua yang terdapat di dalamnya adalah benar dan barangsiapa yang menguranginya dengan sengaja atau menggantikan sehuruf dengan huruf lain atau menambah sehuruf di dalamnya yang tidak tercatat dalam Mushaf yang telah disetujui itu serta menyatakan dengan sengaja bahwa ia bukan termasuk Al-Qur’an, maka dia telah kafir.

     Abu Usman Al-Haddad berkata, “Semua ahli tauhid bersepakat bahwa mengingkari stu huruf dari Al-Qur’an adalah kufur.”

     Fuqaha Baghadad sependapat untuk menyuruh bertaubat Ibnu Syahbudz Al-Muqri seorang imam qari (yang mahir membaca) Al-Qur’an terkemuka bersama Ibnu Mujahid karena membaca dan mengajarkan bacaan dengan huruf-huruf yang ganjil dan tidak terdapat dalam Mushaf. Mereka menyuruh membuat pernyataan untuk berhenti dan bertaubat dengan kesaksiaam mereka di majelis Al-Waziir Ubay bin Maqlah tahun 323 H. Muhammad bin Abu Zaid berfatwa berkenaan dengan orang yang mengatakan kepada seorang anak kecil,” Mudah-mudahan Allah swt mengutuk gurumu dan apa yang diajarkannya kepadamu?”

     Katanya: “Aku maksudkan adab yang tidak baik dan tidak saya maksudkan Al-Qur’an.” Muhammad berkata: “Orang yang mengatakan itu perlu dihukum.” Sementara yang mengutuk Mushaf, maka dia bisa dibunuh. Inilah akhir pendapat Al-Qadhi Iyadh rahimahullah.

Masalah ke-85:
Diharamkan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang makna-maknanya bagi siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits berkenaan dengan perkara tersebut dan ijmak berlaku atasnya.
    
Sedangkan penafsirannya oleh ulama, itu sesuatu yang diharuskan dan baik. Dan ijmak telah menetapkan atas hal itu. Maka siapa yang ahli menafsirkan dan mempunyai alat-alat untuk mengetahui maknanya dan benar sangkaannya terhadap apa yang dimaksud, dia pun bisa menafsirkannya jika dapat diketahui dengan ijtihad. Seperti makna-makan dan hukum-hukum yang terang ataupun yang samar, tentang keumuman dan kakhususan serta I’raab dan lainnya.

     Kalau tidak dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkara-perkara yang jalannya adalah menukil dan menafsirkan lafaz-lafaz bahasa, maka tidak bisa berbicara berkenaang dengannya. Kecuali dengan nukilan yang sahih oleh ahlinya yang dapat diambil kira. Sementara orang yang bukan ahlinya karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan maknanya. Bagaimanapun dia bisa menukil tafsirnya dari ahlinya yang layak.

     Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka tanpa dalil yang sahih ada beberapa golongan.

·         Di antara mereka ada yang berhujah dengan ayat untuk membenarkan madzhabnya dan menguatkan pikirannya, meskipun tidak benar sangkaannya bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu. Dia hanya ingin mengalahkan lawannya.
·         Ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujah dengan suatu ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.
·         Bahkan ada yang menafsirkan lafaz-lafaz Arabnya tanpa memahami makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu tidak bisa diambil kecuali dengan mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli tafsir, seperti penjelasan makna. lafaz dan I’rabnya, hadzaf, ringkasan, idhmaar, hakekat dan majaz, keumuman dan kekhususan, ijmaal dan bayan, pendahuluan dan pengakhiran dan sebagainya dari hal-hal yang berbeda dengan zahirnya.

Disamping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi mesti menmgetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir berkenaan dengannya. Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan zahirnya atau mendatangkan kekususannya atau yang idhmaar dan sebagainya dari sesuatu yang berbeda dengan zahirnya.

Apabila lafaznya mempunyai beberapa makna, kemudian dia mengetahui di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari beberapa makna yang dimaksudnya. Kemudian dia menafsirkan dengan apa yang datang kepadanya, maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir ra’yi) dan hukumnya haram. Wallahua’lam.

Masalah ke-86:
Diharamkan mira’ dalam Al-Qur’an dan berbantah-bantah tentang Al-Qur’an tanpa alasan yang benar. Misalnya dia melihat petunjuk ayat itu atas sesuatu yang berlawanan dengan madzhabnya dan mengandung kemungkinan yang lemah sesuai dengan madzhabnya, kemudian dia mengartikan menurut madzhabnya dan mempertahankannya, meskipun ternyata berlawanan dengan apa yang dikatakannya. Manakala orang yang tidak mengetahuinya, maka dia dapat dimaafkan.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Baginda bersabda:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Berbantah-bantahan berkenaan dengan Al-Qur’an adalah kufur.”

Al-Khattabi berkata: Maksud perkataan al-Miraa’u adalah keraguan. ada orang yang berpendapat, berbantah-bantahan yang menimbulkan keraguan. Ada orang yang berpendapat, berbanrah-bantahan yang dilakukan oleh para pengikut aliran sesat berkenaan dengan ayat-ayat takdir dan seumpanya.

Masalah ke-87:
Siapa yang ingin mengetahui tentang pendahuluan suatu ayat sebelum ayat lainnya di dalam Mushaf atau kedudukan ayat ini ditempat ini dan seumpamanya, sepatutnya dia bertanya: Apa hikmahnya ini?

Masalah ke-88:
Dihukumkan makruh seseorang yang mengatakan, aku lupa ayat ini. Bagaimanapun dia katakan, “Aku dilupakan terhadapnya atau aku menggugurkannya.” Mengikut riwayat yang terdapat di dalam Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Janganlah seseorang dari kamu berkata: ‘Aku lupa ayat begini dan begini.’ Tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”

Menurut suatu riwayat dalam Shahihain juga:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Sungguh buruk seseorang dari kamu yang mengatakan ‘aku lupa ayat begini dan begini’ tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”

Diriwayatkan dalam Shahihain juga dari Aisyah ra.:

“Bahwa Nabi saw mendengar seorang laki-laki membaca, kemudian beliau berkata: ‘Mudah-Mudahan Allah mengasihani si fulan, dia telah mengingatkan aku kepada sesuatu ayat yang aku telah menggugurkannya.”

Dalam suatu riwayat di dalam kitab Ash-Shahih: “Aku dibuat lupa terhadapnya.”

Sementara yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Abdirrahman As-Salami seorang tabi’in yang mulia, katanya: “Janganlah engkau katakan: ‘Aku telah menggugurkan ayat begini’ tetapi katakanlah: ‘Aku telah dibuat lalai’.”

Maka riwayat ini bertentangan dengan yang diriwayatkan dalam hadits sahih. Justru, yang diambil kira adalah hadits yang menyatakan keharusan mengatakan: “Aku telah menggugurkan dan tidak ada celaan terhadapnya.”

Masalah ke-89:
Tidak ada halangan menyebut surat Al-Baqarah, surat Ali Imran, surat An-Nisa’, surat Al-Maidah dan surat Al-An’aam. Demikian jugalah surat-surat lainnya. Sebagian ulama Salaf tidak suka perkara seperti, sebaliknya mereka berkata: Surat yang disebut Al-Baqarah di dalamnya dan yang disebut Ali-Imran di dalamnya, surat yanbg disebut An-Nisa’ di dalamnya dan begitulah seterusnya. Pendapat yang lebih benar ialah pendapat pertama.

Mengikut riwayat yang terdapat di dalam Shahihain daripada Rasulullah saw katanya, Surat Al-Baqarah, surat Al-Kahfi dan surat-surat lainnya. Demikian jugalah diriwayatkan dari pada para sahabat ra.

Ibnu Mas’ud berkata: “Ini tempat yang diberitakan kepadanya surat Al-Baqarah.”

Diriwayatkan daripada Ibnu Mas’ud ra. dalam Shahihain: “Aku membacakan kepada Rasulullah Saw surat An-Nisa’.”

Hadits-hadits dan pendapat ulama Salaf berkenaan dengan hal ini banyak sekali.

Berkenaan dengan surat itu ada dua ucapan, dengan hamzah dan tanpa hamzah, sedangkan tanpa hamzah lebih fasih. Itulah yang dimuat dalam Al-Qur’an. Diantara yang menyebutkan dua ucapan adalah Ibnu Qutaibah dalam Ghariib al-Hadits.

Masalah ke-89:
Tidaklah dihukumkan makruh jika dikatakan, ini bacaan Abu Amrin atau bacaan Naafi’ atau Hamzah atau Al-Kisa’I atau lainnya. Ini adalah pendapat terpilih yang didukung bersama oleh ulama Salaf dan Kalaf tanpa diingkari.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I, katanya: Mereka tidak suka mengatakan: “Sunnah fulan dan  bacaan fulan.” Pendapat yang lebih benar adalah apa yang kami kemukakan.

Masalah ke-90:
Orang kafir tidak dilarang mendengar Al-Qur’an berdasarkan firman Allah:

(Teks Bahasa Arab)

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.”(QS At-Taubah 9:6)

Bagaimanapun, mereka (orang kafir) dilarang menyentuh Mushaf. Bisakah mengajarinya Al-Qur’an? Para sahabat kami berpendapat, jika tidak bisa diharapkan keislamannya, maka ada dua pendapat. Pendapat yang labih kuat (sahih) adalah bisa karena mengharapkan keislamannya.

Pendapat yang kedua adalah tidak bisa, sebagaimana tidak bisa menjual Mushaf kepadanya, meskipun diharapkan keislamannya. Jika kita melihatnya belajar, apakah dia dilarang? Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat.

Masalah ke-91:
Para ulama berlainan pendapat berkenaan dengan penulisan Al-Qur’an dalam bejana, kemudian dicuci dan diberi minum kepada orang sakit. Al-Hasan, Mujahid, Abu Qulabah dan Al-Auza’i berkata: “Tidak ada masalah dengannya.” Sedangkan An-Nakha’i tidak menyukainya. Al-Qadhi Husain, Al-Baghawi dan para sahabat kami lainnya berkata: “Sekiranya Al-Qur’an ditulis di atas halwa (sejenis makanan) dan makanan lainnya, tidaklah mengapa memakannya.”

Al-Qadhi berkata: “Sekiranya ditulis di atas sepotong kayu, tidaklah disukai membakarnya.”

Masalah ke-92:
Madzhab kami ialah tidak menyukai penulisan Al-Qur’an dan nama-nama Allah swt di atas dinding dan baju. Atha’ berkata: “Tidaklah mengapa jika menulis Al-Qur’an dalam bentuk azimat, maka Malik berpendapat, tidak ada masalah dengannya kalau ditulis pada sepotong buluk atau kulit kemudian dibalut.

Sebagian sahabat kami berpendapat, apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dalam suatu wadah bersama lainnya, maka tidaklah haram, tetapi lebih baik ditinggalkan karena dibawa dalam keadaan berhadas.

Jika ditulis, maka ia mesti dijaga sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Asy-Syeikh Abu Amrin Ibnu Ash-Shalah rahimahullah.

Masalah ke-93:
Tentang meniup dengan membca Al-Qur’an sebagai ruqyah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Juhaifah seorang sahabat Nabi saw dan namanya Wahb bin Abdullah atau lainnya, dari Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’I bahwa mereka tidak menyukai itu. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh, bahkan sunah muakkad.

Diriwayatkan daripada Aisyah ra:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Bahwa Nabi saw apabila hendak tidur setiap malam, beliau merapatkan kedua telapak tangannya, kemudian meniup pada keduanya, kemudian membaca ‘Qul Huwallaahu Ahad, Qul A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul A’udzu bi rabbin Naas’. Kemudian dia sapukan keduanya pada tubuhnya sedapat mungkin dimulai dari atas kepala dan mukanya serta bagian tubuhnya yang dapat dicapai. Beliau lakukan yang demikian tiga kali.”
(Riwayat Bukhari & Muslim)

Menurut beberapa riwayat dalam Shahihain ada tambahan dari ini. Sebagiannya sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ra, kataanya:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Ketika Nabi saw sakit, beliau menyuruhku melakukannya dengan cara demikian.”

Dan sebagian lainnya:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Nabi saw meniup pada dirinya ketika sakit yang menyebabkan wafatnya dengan membaca Al-Mu’awwidzaat.”

Aisyah ra berkata: “Ketika sakit beliau bertambah tenat, akulah yang meniup padanya dengan membaca Al-Mu’awwidzaat dan mengusapkan tangannya sendiri untuk mengambil berkatnya.”

Dan sebagian lainnyanya lagi: “Nabi saw ketika sakit membaca untuk dirinya Al-Mu’awwidzaat dan meniup.”

Pakar bahasa mengatakan, An-Nafth ialah tiupan yang ringan tanpa mengeluarkan air ludah. Wallahua’lam.
==

BAB VIII:
AYAT DAN SURAT YANG DIUTAMAKAN MEMBACANYA PADA WAKTU-WAKTU TERTENTU

Ingatlah bahwa bagian ini luas sekali cakupannya, ia tidak mungkin dibatasi karena isinya memang banyak. Bagaimanapun, saya kemukakan sebagian besar saja atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang diringkas. Sebagian besar masalah yang saya sebutkan di dalamnya telah diketahui oleh orang-orang terkemuka ataupun mungkin orang-orang awam juga.

Justru, saya tidak menyebut dalil-dalil dalam sebagian besarnya. Antara lain karena besarnya perhatian atas mambaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan terutama dalam sepuluh terakhir dan terutama pula di malam-malam yang ganjil. Antara lain sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, hari Arafah, hari Jumaat, sesudah sembahyang Subuh dan ketika malam. Hendaklah dia selalu membaca surat Yassin, Al-Waqiah da termasuk Tabarak Al-Mulk.

Masalah ke-94:
Sunah membaca dalam sembahyang Subuh pada hari Jumaat sesudah Al-Fatihah pada rakaat pertama surat Alif Lam Mim Tanziil selengkapnya. Dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ihsaan selengkapnya. Janganlah melakukan apa yang dilakukan banyak imam masjid yang hanya membaca beberapa ayat dari masing-masing surat dengan memanjangkan bacaan. Tetapi membaca keduanya dengan sempurna dan membacanya secara perlahan-lahan dengan tartil.

Sunah membaca dalam sembahyang Jumaat pada rakaat pertama surat Al-Jumu’ah selengkapnya dan pada rakaat kedua surat Al-Munafiquun selengkapnya juga. Jika dia menghendaki, bisa membaca surat Al-A’laa pada rakaat pertama dan membaca Surat Al-Ghaasyiyah pada rakaat kedua.

Keduanya adalah riwayat yang sahih dari rasulullah saw Hendaklah dia tidak membatasi dengan membaca pada sebagian surat dan hendaklah melakukan apa yang kami kemukakan.

Sunah dalam sembahyang Hari Raya membaca Surat Qaaf pada rakaat pertama dan membaca surat Iqtabatis Saa’atu selengkapnya pada rakaat kedua. Jika mahu, dia bisa membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghaasyiyah. Kedua riwayat itu sahih dari Rasulullah saw dan janganlah dia membatasi pada sebagiannya.

Masalah ke-95:
Dibaca dalam dua rakaat sembahyang sunah Fajar sesudah Al-Fatihah yang pertama Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun dan pada rakaat kedua Qul HuwAllah swtu Ahad. Jika mau, dia bisa membaca pada rakaat pertama:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah swt dan apa yang diberitakan kepada kami…”
(QS Al-Baqarah 2:136)

Dan pada rakaat kedua:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Katakanlah, ‘Whai ahli kitab, marilah kepad suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,…”
(QS Ali-Imran 3:64)

Keduanya sahih dari perbuatan Rasulullah saw Dalam sembahyang sunah Maghrib rakaat pertama, membaca Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan rakaat kedua Qul huwAllah swtu Ahad. Dan keduanya juga dibaca dalam dua rakaat Thawaf dan dua rakaat Istikharah.

Dan dalam sembahyang witir tiga rakaat, rakaat pertama membaca Sabbihisma rabbikal a’laa dan rakaat kedua Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun serta rakaat ketiga Qul Huwallahtu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.

Masalah ke-96:
Sunah membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumaat berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri ra dan lainnya. Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm, disunahkan juga membacanya pada malam Jumaat.

Dalil ini ialah riwayat Abu Muhammad Ad-Daarimi dengan isnadnya dari Abu Said Al-Khudri ra, dia berkata: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumaat. Dia diterangi cahaya antara rumahnya dan Al-Baitul Atiiq (Kaabah).”

Ad-Daarimi menyebut suatu hadits yang menganjurkan membac Surat Huud pada hari Jumaat. Diriwayatkan dari Makhul seorang tabi’in yang mulia, bahwa sunah membaca Surat Ali-Imran pada hari Jumaat.

Masalah ke-97:
Disunahkan memperbanyak membaca Ayat Kursi disemua tempat dan membacanya setiap malam ketika hendak tidur dan membaca Al-Mu’awwidzatain setiap ba’dal sembahyang.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, katanya:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Rasulullah saw menyuruhku membaca Al-Mu’awwidzatain setiap selesai sembahyang.”

(Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih.

Masalah ke-98:
Disunahkan ketika akan tidur membaca ayat Kursi, Qul huwAllah swtu Ahad, Al-Mu’awwidzatain dan akhir surat Al-Baqarah. Ini amalan yang perlu diperhatikan. Diriwayatkan berkenaan dengannya menerusi hadits-hadits sahih dari Abu Mas’ud Al-Badri ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah dalam suatu alam maka kedua yat itu mencakupinya (melindungi)nya.”

Sejumlah pakar mengatakan, maksudnya mencukupinya dari sembahyang malam. Para ulam lainnya berkata: yaitu melindunginya dari gangguan pada malam tersebut.

Diriwayatkan dari Aisyah ra:

Terjemahan: “Bahwa Nabi saw setiap malam membaca Qul huwallahtu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.”

Kami telah mengemukakannya dalam bab meniup dengan membaca Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Ali ka, katanya: “Saya belum pernah melihat seorang berakal yang masuk Islam tidur seblum membaca ayat Kursi.” Dan diriwayatkan dari Ali ra, katanya: “Saya belum pernah melihat orang yang berakal tidur sebelum membaca tiga ayat terakhir dari surat Al-Baqarah.” Isnadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, katanya: Rasulullah saw berkata kepadaku:

Terjemahan: “Janganlah engkau biarkan malam berlalu, kecuali engkau membaca di dalamnya Qul huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain. Maka tidaklah tiba suatu malam kepadaku kitaecuali aku membacanya.”

Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I, katanya: “Mereka menganjurkan agar membaca surat-surat ini setiap malam tiga kali, yaitu Qul Huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.” Isnadnya sahih berdasarkan syarat Muslim.

Diriwayatkan dari Ibrahim pula, mereka mengajari orang-orang apabila hendak tidur membaca Al-Mu’awwidzatain.

Diriwayatkan dari Aisyah ra:

“Nabi saw tidak tidur hingga membaca surat Az-Zumar dan Bani Israil.”
(Riwayat Tirmdizi dan dia berkata: Hadits Hasan)

Masalah ke-99:
Jika bangun setiap malam sunah membaca akhir Surat Ali-Imran dari firman Allah swt: Inna fii khalqis samaawaati wal ardhi sehingga akhir ayat.

Mengikuti riwayat yang terdapat di dalam Shahihain:

Terjemahan: “Sesungguhnya Rasulullah saw membaca akhir Surat Ali Imran apabila bangun dari tidur.”

Masalah ke-100:
Tentang apa yang dibacakan untuk orang sakit. Sunah membaca Al-Fatihah di samping orang sakit berdasarkan sabda Nabi saw dalam hadits sahih berkenaan dengan perkara tersebut: “Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah adalah ruqtah (sejenis obat dan mantera)?”

Sunah membaca Qul Huwallaahu Ahad, Qul A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul A’uudzu bi rabbin Naas uantuk orang sakit dengan meniup pada kedua telapak tangan.

Hal tersebut diriwayatkan dalam Shahihain dari perbuatan Rasulullah saw yang telah dijelaskan dalam bab meniup di akhir bagian yang sebelum ini.

Diriwayatkan dari Thalhah bin Mutharif, katanya: “Jika Al-Qur’an dibaca di dekat orang sakit, dia merasa lebih ringan. “Pada suatu hari aku memasuki khemah seseorang yang sedang sakit”. Aku berkata: “Aku melihatmu hari ini dalam keadaan baik.” Dia berkata: “Telah dibacakan Al-Qur’an di dekatku.”

Diriwayatkan oleh Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi rahimahullah dengan isnadnya, bahwa Ar-Ramadi ra ketika menderita sakit, katanya: bacakan hadits kepadaku. Ini baru hadits, apalagi Al-Qur’an.

Masalah ke-101:
Tentang apa yang dibacakan di dekat mayat. Para ulama sahabat kami dan yang berkata, sunah membaca surat yasiin di dekatnya berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar ra bahwa Nabi saw bersabda:

“Bacakanlah surat Yasiin untuk mayatmu.”

(Riwayat Abu dawud dan Nasa’I, dalam Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Majah dengan isnad dha’if)

Diriwayatkan oleh Mujalid dari Asy-Sya’bi, katanya:

“Kaum Anshor apabila hadir di dekat mayat, mereka membaca surat Al-Baqarah.”

Dan orang bernama Mujalid ini adalah sha’if. Wallahua’lam.
==

BAB XI:
RIWAYAT PENULISAN MUSHAF AL-QUR’AN

Sebenarnya Kitab Al-Qur’an sudah mulai ditulis pada masa nabi saw sebagaimana yang tercatat dalam Mushaf-mushaf yang kita dapati dewasa ini. Bagaimanapun pada masa itu ia belum dihimpun dalam bentuk sebuah Mushaf, kecuali dihafaz dalam hati sejumlah manusia saja. Sejumlah sahabat ada yang hafaz seleruhnya dan ada pula yang hanya hafaz sebagiannya.

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq ra menjadi khalifah dan banyak penghafaz Al-Qur’an terbunuh, dia nimbang mereka akan meninggal dunia semua dan terjadi perselisihan berkenaan dengan Al-Qur’an sesudah mereka. Maka Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat ra untuk mengumpulkannya dalam sebuah Mushaf dan mereka bersetuju dengannya.

Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh menulisnya dalam sebuah Mushaf dan menyimpannya dirumah Hafsah Ummul Mukminin ra.

Ketika Islam sudah tersebar pada masa pemerintahan Usman ra dia takut terjadi perselisihan yang menyebabkan tertinggalkan sesuatu ayat dari Al-Qur’an atau terjadi penambahan di dalamnya. Kemudian Usman menulis/menyalin kumpulan Al-Qur’an yang ada pada Hafsah dan disetujui oleh para sahabat dalam Mushaf-Mushaf dan mengirimkannya ke berbagai negeri serta menyuruh melenyapkan tulisan yang bertentangan dengan itu. Tidakan ini disetujui oleh Ali bin Abu Thalib dan para sahabat lainnya. Mudah-Mudahan Allah swt meridhoi mereka.

Nabi saw tidak menjadikannya dalam satu Mushaf karena bleiau membingkan terjadinya pertambahan dan penghapusan sebagian tulisan. Kebimbangan itu tersu berlangsung hingga wafatnya Nabi saw. Ketika Abu Bakar dan para sahabatnya lainnya merasa aman dari kebimbangan itu menghendaki pengumpulannya, maka para sahabat ra pun melakukannya.

Para ulama berlainan pendapat berkenaan dengan jumlah Mushaf yang dikirimkan Usman. Imam Abu Amrin Ad-Daani berkata, sebagian besar ulama mengatakan bahwa Usman menulis empat naskhah. Dia kirimkan sebuah maskhah ke Bashrah, sebuah ke Kufah dan sebuah ke Syam, sedangkan yang sebuah lagi disimpannya.

Abu Hatim As-Sijistani berkata: Usman menulis tujuh Mushaf. Dia kirimkan sebuah Mushaf ke Mekah, sebuiah Mushaf ke Syam, sebuha Mushaf ke Yaman, Sebuah Mushaf ke Bahrain, sebuah Mushaf ke Bashrah, sebuah Mushaf ke Kufah dan sebuah Mushaf disimpannya di Madinah. Inilah ringkasan yang berkaitan dengan awal pengumpulan Mushaf.

Berkenaan dengan cara menyebut kata Al-Mushaf ada yang membaca Mushaf, ada yang membaca Mishaf dan ada yang membaca Mashaf. Pendapat yang masyhur adalah dibaca Mushaf dan Mishaf. Bacaan Mashaf disebutkan oleh Abu Jaafar An-Nahaas dan lainnya.

Masalah ke-101:
Para ulama sependapat atas anjuran menulis Muahaf-mushaf dan mengindahkan tulisannya, lalu menjelaskannya serta memastikan bentuk tulisannya. Para ulama berkata, diutamakan memberi titik dan syakal (harakat) pada Mushaf, untuk menjaga dari kesalahan dan perubahan di dalamnya. Sementara ketidaksukaan Asy-Sya’bi dan An-Nakha’I pada titik-titik tersebut, maka keduanya tidak menyukainya pada masa itu karena takut terjadi perubahan di dalamnya. Masa itu sudah berlalu, maka tidaka ada larangan. Hal itu tidak dilarang karena merupakan sesuatu yang baru karena ia termasuk hal-hal yang baik sehingga tidak dilarang seperti mengarang ilmu, membina sekolah dan sekolah agama rakyat serta lainnya. Wallahua’lam.

Masalah ke-102:
Tidak bisa menulis Al-Qur’an dengan sesuatu yang najis dan dihukumkan makruh menulisnya di atas dinding menurut madzhab kami. Ini adalah madzhab Atha’ yang kami kemukakan. Telah kami kemukakan bahwa apabila di tulis di atas sepotong kayu, maka makruh membakarnya.

Masalah ke-103:
Kaum Muslimin sependapat atas wajibnya menjaga Muahaf dan memuliakannya. Para sahabat kami dan lainnya berkata, andaikata seorang Muslim mencampakkannya dalam kotoran-mudah-mudahan Allah swt melindunginya-maka pembalingnya menjadi kafir. Mereka berkata, haram menjadikannya sebagai bantal. Bahakan menjadikan kitab ilmu sebagai bantal adalah haram. Sunah berdiri menyambut Mushaf apabila diserahkan kepadanya karena berdiri untuk menyambut orang-orang terkemuka seperti para ulama dan orang-orang sholeh adalah mustahab. Maka sudah tentulah Mushaf lebih utama. Saya telah menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran berdiri ini pada bagian lainnya.

Telah kami terima riwayat dalam Musnad Ad-Daarimi dengan isnad sahih dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ikrimah bin Abu Jahal ra. meletakkan Mushaf di atas wajahnya dan berkata: “Kitab Tuhanku, Kitab Tuhanku.”

Masalah ke-103:
Diharamkan pergi membawa Mushaf ke negeri musuh jika ditakutkan Mushaf akan jatuh ke tangan mereka berdasarkan hadits manyhur dalam Shahihain:

(Teks Bahasa Arab)

Terjemahan: “Sesungghunya Rasulullah saw melarang pergi membawa Al-Qur’an ke negeri musuh.”

Diharamkan menjual Mushaf kepada orang Dzimmi. Jika dia menjualnya, maka ada dua pendapat Asy-Syafi’i berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih sahih adalah tidak sah jual belinya, sedang pendapat kedua jual belinya sah. Dalam keadaan itu diperintahkan menghilangkan pemilikan daripadanya. Orang gila dan anak kecil yang belum  bisa membedakan (belum mumayyiz) dilarang menyentuh Mushaf supaya tidak melanggar kehormatannya. Larangan ini wajib dilakukan oleh walinya dan orang yang melihatnya.

Masalah ke-104:
Diharamkan atas seorang berhadas menyentuh Mushaf dan membawanya, sama saja membawanya dengan cara memegangnya atau dengan lainnya, sama saja dia menyentuh tulisannya, tepinya atau kulitnya. Diharamkan menyentuh wadah dan sampul serta kotak tempat Mushaf itu berada. Inilah madzhab yang terpilih. Ada orang yang berpendapat, ketiga cara ini tidak haram dan pendapat ini lemah.

Sekiranya Al-Qur’an ditulis pada sebuah papan, maka hukumnya sama dengan Mushaf itu sendiri, sama saja tulisannya sedikit atau banyak. Bahkan seandainya hanya sebaiah atau ayat yang ditulis untuk belajar, haram menyentuh papan itu.

Masalah ke-104:
Jika orang yang berhadas atau junub atau perempuan haid membuka lembaran-lembaran Mushaf dengan sepotong kayu atau seumpanya, maka ada dua pendapat dari para sahabat kami tentang keharusannya. Pendapat yang lebih jelas adalah bisa. Pendapat ini didukung bersama oleh para ulama Iraq sahabat kami karena dia tidak menyentuh dan tidak membawanya.

Pendapat kedua adalah haram karena dia dianggap membawa kertas dan kertas itu seperti seluruhnya. Jika dia mnggulung lengan bajunya di atas tangannya dan membalik kertas itu, maka hukumnya haram tanpa ada perselisihan. Salah seorang sahabat kami menceritakan adanya dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang benar adalah memastikan haramnya, sebab pembalikan kertas itu dilakukan oleh tangan, bukan lengan bajunya.

Masalah ke-105:
Jika orang yang berjunub berhadas menulis Mushaf, sedangkan dia membawa kertasnya atau menyentuhnya ketika menulis, maka hukumnya haram. Jika dia tidak membawanya dan tidak menyentuhnya, maka ada tiga pendapat berkenaan dengannya. Pendapat yang lebih sahih adalah bisa, pendapat kedua mengaramkannya. Pendapat ketiga, diharuskan bagi yang berhadas kecil dan haram bagi orang yang berjunub.

Masalah ke-106:
Jika orang yang  berhadas atau junub atau perempuan haid menyentuh atau membawa sebuah kitab fiqh atau kitab ilmu lain yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an atau bersulam ayat Al-Qur’an atau yang uang dirham atau uang dinar berukiranayat Al-Qur’an atau membawa barang-barang yang di antaranya terdapat Mushaf atau menyentuh dinding atau makanan kuil atau roti yang berukiran Al-Qur’an, maka madzhab yang sahih adalah bisa melakukan semua ini karena ia bukan Mushaf. Terdapat satu pendapat yang mengatakan haram. Qadhi besar Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Haawi berkata, bisa menyentuh baju yang bersulam Al-Qur’an dan tidak bisa memakainya tanpa ada perselisihan karena tujuan memakainya adalah tabarruk (mengambil berkat) dengan Al-Qur’an.

Pendapat yang disebutkan atau dikatakannya ini adalah lemah dan tidak seorang pun yang berpendapat seperti itu menurut pengetahuan saya. Bahkan Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan lainnya menegaskan keharusan memakainya. Inilah pendapat yang benar. Wallahua’lam.

Manakala Kitab tafsir Al-Qur’an, apabila Al-Qur’an yang terdapat di dalamnya lebih banyak dari lainnya, haram menyentuh dan membawanya. Kalau lainnya lebih banyak sebagaimana pada umumnya, maka ada tiga pendapat. Pedapat yang lebih shahih tidak haram. Pendapat kedua, haram. Pendapat ketiga, kalau Al-Qur’an di tulis dengan huruf yang kelas karena tebal atau dengan huruf merah atau lainnya, maka haram. Jika tulisannya tidak jelas, maka tidak haram.

Saya katakan: Dan haram menyentuhnya apabila sama antara keduanya.

Sahabat kami penulis kitab At-Titimmah berkata, apabila kami katakan, tidak haram, maka hukumnya makruh.

Sementara menulis hadits Rasulullah saw jika tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah haram menyentuhnya. Pendapat yang lebih utama adalah tidak disentuh, kecuali dalam keadaan suci. Kalau terdapat ayat-ayat dari Al-Qur’an, tidaklah haram menurut madzhab kami, tetapi makruh. Dalam hal ini ada satu pendapat bahwa hal itu haram, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.

Sedangkan ayat yang dinasakh tilawahnya seperti rejam dan selain itu, maka tidak haram menyentuh ataupun membawanya. Para sahabat kami berkata, demikian jugalah Taurat dan Injil.

Masalah ke-107:
Jika pada suatu tempat dari badan yang bersuci terdapat najis yang tidak dimaafkan, haram atasnya menyentuh Mushaf dengan tempat yang bernajis itu tanpa ada perselisihan dan tidak haram dengan lainnya menurut madzhab yang sahih dan yang masyhur yang dikatakan oleh sebagian besar sahabat kami dan para ulama lainnya. Abdul Qasim Ash-Shaimari salah seorang sahabat kami berkata, haram. Al-Qadhi Abui Thayyib berkata, pendapat ini tertolak menurut ijmak. Kemudian menurut pendapat yang masyhur, sebagian sahabat kami mengatakan makruh. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh.

Masalah ke-108:
Barangsiapa tidak menemukan air, kemudian bertayamum sebagaimana dia dibenarkan melakukan tayamum, maka dia bisa menyentuh Mushaf, sama saja tayamum itu untuk sembahyang atau untuk keperluan lain yang mengharuskan tayamum. Sementara siapa yang tidak menemukan air ataupun tanah, maka dia bisa sembahyang saja dan tidak bisa menyentuh Mushaf karena dia berhadas. Kami bisakan baginya sembahyang karena darurat.

Sekiranya ada bersamanya Mushaf dan tidak menemukan orang yang bisa diamanahkannya sedang dia tidak dapat berwudhu, duharuskan baginya membawanya karena darurat. Al-Qadhi Abu Thayyib berkata, tidak wajib baginya pertayamum.

Kalau dia membimbangkan Mushaf terbakar atau tenggelam atau jatuh dalam najis atau jatuh ke tangan orang kafir, maka dia bisa mengambilnya karena darurat, meskipun dia berhadas.

Masalah ke-109:
Apakah wali dan guru wajib memaksa anak kecil yang sudah bisa membedakan (sudah mumayyiz) bersuci untuk membawa Mushaf. Terdapat dua pendapat yang masyhur berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih kuat (sahih) adalah tidak wajib karena memberatkan.

Masalah ke-110:
Bisa menjual Mushaf dan membelinya dan tidak makruh pembeliannya. Adapun tentang makruhnya atas penjualannya ada dua pendapat dari tiga sahabat kami. Pendapat yang lebih kuat(sahih) sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syafi’i adalah makruh. Mereka yang berpendapat tidak makruh menjual dan menjual dan membelinya ialah Hasan Al-Bashri, Ikrimah dan Al-Hakam bin Uyainah.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sebagian ulam tidak menyukai penjualan dan pembeliannya. Ibnu Mundzir menceritakannya dari Alqamah, Ibnu Sirin, An-Nakh’I, Syuraih, Masruq dan Abdullah bin Zaid. Diriwayatkan dari Umar bin Abu Musa Al-Asy’ari adanya larangan keras menjualnya.

Sebagian ulama mengharuskan pembeliannya dan tidak menyukai penjualannya. Ibnu Mundzir menceritakan dari Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Ahmad bin Hanval dan Ishaq bin Rahawaih. Wallahua’lam

Wassalam
==TAMAT==

1 komentar: