قَالَتْ عَائِشَةُ: كَانَ النَّبِىُّ y يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
‘Aisyah berkata: Nabi saw berdzikir kepada Allah di setiap waktunya
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:
- Shahih Muslim kitab al-haidl bab dzikril-’Llah ta’ala fi halil-janabah no. 852.
- Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fir-rajul yadzkurul-’Llah ta’ala fi ghairi thuhrin no. 18
- Sunan at-Tirmidzi kitab ad-da’awat bab anna da’watal-muslim mustajabah no. 3384
- Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab dzikril-’Llah ‘azza wa jalla ‘alal-khala` 302
- Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24455, 25241, 26419.
Syarah Mufradat
‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an menjelaskan:
اَلذِّكْرُ تَارَةً يُقَالُ وَيُرَادُ بِهِ هَيْئَةٌ لِلنَّفْسِ بِهَا يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَحْفَظَ مَا يَقْتَنِيْهِ
مِنَ الْمَعْرِفَةِ وَهُوَ كَالْحِفْظِ… وَتَارَةً يُقَالُ لِحُضُوْرِ الشَّيْءِ الْقَلْبَ أَوِ الْقَوْلَ
وَلِذَلِكَ قِيْلَ اَلذِّكْرُ ذِكْرَانِ: ذِكْرٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ. وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
ضَرْبَانِ ذِكْرٌ عَنْ نِسْيَانٍ وَذِكْرٌ لاَ عَنْ نِسْيَانٍ بَلْ عَنْ إِدَامَةِ الْحِفْظِ
Dzikir itu adalah (1) keadaan jiwa yang
memungkinkan seseorang mengingat pengetahuan yang dimilikinya, sama
dengan makna hifzh (mengingat/menghafal) atau (2) hadirnya sesuatu pada
hati atau ucapan (teringat selalu). Oleh karena itu dzikir ada dua;
dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan. Masing-masingnya ada yang
berupa dzikir dari lupa (mengingat kembali) ada juga dzikir bukan dari
lupa, melainkan selalu mengingatnya (teringat selalu).
Menurut ar-Raghib ayat-ayat al-Qur`an mengandung dua makna dzikir di atas. Dalam QS. Al-Baqarah [2] : 198 dan 200, dzikir disebutkan sebagai sebuah amal yang sengaja diamalkan, melibatkan lisan dan hati. Dalam QS. Ali ‘Imran [2] : 191 dzikir disebutkan
sebagai sebuah keadaan selalu sadar dan tafakkur kepada Allah swt.
Artinya, kalau ada seseorang yang hatinya selalu ingat kepada Allah swt,
di waktu pagi, siang, sore, sampai malam ia selalu menjauhi ma’shiyat
dan penuh ta’at kepada Allah swt maka orang ini bisa disebut sebagai
orang yang berdzikir. Demikian juga seseorang yang membaca bacaan yang
dicontohkan Nabi saw sesudah shalat wajib, ketika berpakaian, ketika
berkendaraan, ketika hujan lebat, orang tersebut pun sedang berdzikir.
Atau seseorang yang senang mengucapkan subhanal-’Llah, al-hamdu lil-’Llah, la ilaha illal-’Llah, Allahu Akbar, dalam setiap kesempatan yang ia sempat padanya, orang tersebut pun adalah orang yang sedang berdzikir.
Syarah Ijmali
Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitabnya, Fath al-Bari, pada kitab ad-da’awat bab fadlli dzikril-’Llah ‘azza wa jalla, menjelaskan bahwa dzikir pada bisa bermakna mengucapkan ucapan yang dianjurkan syari’at seperti al-baqiyat as-shalihat (artinya amal-amalan yang kekal lagi baik, yakni subhanal-’Llah, al-hamdu lil-’Llah, la ilaha illal-’Llah, Allahu Akbar), hauqalah (la haula wa la quwwata illa bil-’Llah), basmalah, hasbalah (hasbiyal-’Llah wa ni’mal-wakil), istighfar, dan do’a-do’a untuk kebaikan dunia dan akhirat. Selain itu sebenarnya, termasuk dzikir juga
selalu menjaga amal-amal wajib dan sunat seperti membaca al-Qur`an,
membaca hadits, mengkaji ilmu, dan mengamalkan shalat sunat.
Al-Hafizh menjelaskan juga bahwa dzikir dengan lisan sudah
dapat pahala walau sebatas terucap di lisan dan tidak menyertakan hati,
asalkan tahu makna dari apa yang diucapkan itu. Tetapi apabila dzikir
tersebut dengan menyertakan hati, itu lebih baik lagi. Apabila disertai
dengan penghayatan terhadap makna dzikir yang diucapkan seperti
mengagungkan Allah Ta’ala dan menghilangkan segala kekurangan dari-Nya,
itu lebih baik lagi. Apabila disertai amal seperti jihad, shalat atau
yang lainnya, itu lebih baik lagi. Dan apabila ia betul-betul ikhlash
dan hanya menghadap Allah swt, itu adalah dzikir yang paling sempurna.
Mengutip penjelasan al-Fahrur-Razi, al-Hafizh menyimpulkan
bahwa dzikir itu bisa dengan hati yakni bertafakkur; dengan lisan yakni
mengucapkan bacaan yang disyari’atkan; atau dengan anggota badan yakni
melaksanakan ketaatan. Oleh karena itu shalat di dalam QS. Al-Jumu’ah
[62] : 9 disebut juga dzikr (fas’au ila dzikril-’Llah).
Imam an-Nawawi, dalam salah satu kitab master piece-nya
tentang dzikir, al-Adzkar, juga menegaskan: “Ketahuilah bahwasanya
keutamaan dzikir itu tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir
dan yang semacamnya. Tetapi semua orang yang mengamalkan ketaatan, itu
termasuk orang yang berdzikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana
dinyatakan oleh Sa’id ibn Jubair dan para ulama lainnya.” Ketika
menyinggung ayat: “…dan lelaki dan perempuan yang berdzikir kepada Allah
dengan banyak, Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar bagi
mereka.” (QS. Al-Ahzab [33] : 35), Imam an-Nawawi mengutip penjelasan
dari Ibn ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha` dan Abu ‘Amr ibn as-Shalah bahwa yang
dimaksud adalah berdzikir sesudah shalat, di waktu pagi dan petang,
ketika hendak tidur, bangun tidur, setiap kali keluar dari rumah,
melaksanakan shalat lima waktu dengan sebenarnya, selalu ingat kepada
Allah di setiap saat, dan dzikir-dzikir yang ma`tsur (ada landasan
dalilnya) di setiap waktunya baik di waktu siang atau malam, itu semua
termasuk dalam pengertian ayat di atas (al-Adzkar, hlm. 7).
Penjelasan dari para ‘ulama di atas bisa memperjelas maksud
hadits yang disampaikan ‘Aisyah di atas. Maksud dari Nabi saw berdzikir
di setiap saatnya bukan berarti Nabi saw duduk terus menerus sepanjang
harinya mengucapkan tasbih, tahmid, takbir dan semacamnya; bukan pula
Nabi saw sebatas ingat saja tanpa mengucapkan ucapan-ucapan tertentu
yang ma`tsur, melainkan dzikir dalam pengertian yang sepenuhnya, tidak
sepotong-sepotong, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ‘ulama di
atas.
Dzikir-dzikir yang ma`tsur telah banyak dikompilasikan oleh
para ulama melalui berbagai kitab dan bukunya, yang di Indonesia lebih
popular dengan istilah do’a, seperti dzikir bangun tidur, pergi ke WC,
bercermin, berpakaian, sebelum dan sesudah makan, keluar dan masuk
rumah, masuk dan keluar masjid, berkendaraan, ketika melihat fenomena
alam, angin rebut, hujan besar, petir, sampai ketika hendak tidur lagi
ataupun bersenggama. Semua dzikir tersebut tentu tidak hanya dengan
mengandalkan “ingat” saja, tetapi harus diucapkan.
Syaikh ‘Abdur-Razzaq ibn ‘Abdil-Muhsin al-Badr dalam
kitabnya Fiqh al-Ad’iyyah wal-Adzkar menjelaskan, bentuk amal dzikir
sudah dijelaskan Allah swt dalam salah satu firman-Nya, yaitu:
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu
dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai (QS. Al-A’raf [7] : 205).
Dari ayat di atas, menurut al-Badr, setidaknya ada
delapan kriteria dari dzikir, yaitu: (1) Menyebut/mengingat Allah; (2)
Di dalam hati, penuh keikhlasan, melibatkan emosi, tidak hanya di lisan
atau dalam lintasan pikiran; (3) Tadlarru’, merendah diri,
menjauhkan semua sifat kesombongan dan mengakui kerendahan diri di
hadapan keagungan ilahi; (4) Penuh ketakutan, takut dzikir dan
permohonannya tidak diterima Allah swt; (5) Tidak menjaharkan
[mengeraskan] suara, sebab merenung yang paling baik adalah dengan cara
seperti ini; (6) Melibatkan lisan, tidak hanya hati, meski tidak sampai
jahar. Terambil dari firman Allah swt: dunal-jahri minal-qaul, jadi adanya qaul, gerak
lisan yang tidak sampai jahar. Terlebih memang Nabi saw mencontohkan
dalam berbagai haditsnya dzikir itu diucapkan oleh lisan; (7) Di waktu
pagi dan petang, dua waktu ini merupakan waktu istimewa untuk dzikir,
bukan berarti hanya di dua waktu ini, melainkan waktu yang terbaik dan
harus diprioritaskan; (8) tidak lalai dari dzikir, selalu merutinkannya
walaupun sedikit (Fiqh al-Ad’iyyah wal-Adzkar 1 : 57-59)
Terkait waktu pagi dan petang, ada ulama yang menafsirkan
sepanjang waktu dari pagi sampai petang, tetapi lebih banyak lagi yang
menafsirkan adanya dzikir khusus di kedua waktu tersebut. Praktiknya
bisa sesudah shalat Shubuh dan ‘Ashar, sebab di hadits juga disebutkan
dua waktu tersebutlah waktu pergantian malaikat siang dan malam (Shahih
Muslim kitab al-masajid bab fadlli shalatais-shubhi wal-’ashri no.
1464-1465), bisa juga di luar shalat itu asalkan di waktu pagi dan
sore, semisal waktu shalat Dluha ataupun qabla Maghrib. Salah satu
hadits di antaranya menginformasikan jenis dzikir yang satu ini:
مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِى سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ. لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ
Barang siapa, ketika pagi dan sore, membaca doa;
Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak seratus kali, maka
pada hari kiamat tidak ada orang lain yang melebihi pahalanya kecuali
orang yang juga pernah mengucapkan bacaan seperti itu atau lebih dari
itu (Shahih Muslim kitab adz-dzikr wad-du’a wat-taubah no. 7019).
Berkaitan dengan dzikir ini terdapat hadits yang
menginformasikan adanya dzikir melalui satu majelis, seperti hadits
berikut ini:
قَالَ مُعَاوِيَةُ: خَرَجَ رسولُ اللهِ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ. قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ. قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ. قَالَ أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ
Mu’awiyah berkata: Rasulullsah saw pernah keluar menemui sebuah kumpulan para shahabat, lalu beliau bertanya: “Apa yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memujinya atas anugerah dan hidayah Islam yang telah diberikan kepada kami.” Nabi saw bertanya: “Demi Allah, betulkah kalian tidak duduk kecuali untuk itu?” Mereka menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu.” Sabda Nabi saw: “Aku
tidak meminta kalian bersumpah disebabkan meragukan kalian, tetapi
Jibril tadi datang dan memberitahukan bahwa Allah ‘azza wa jalla merasa
bangga dengan kalian di hadapan malaikat.” (Shahih Muslim kitab adz-dzikr wad-du’a wat-taubah bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an wa ‘aladz-dzikr no. 7032)
Akan tetapi Syaikh al-’Utsaimin menegaskan, jangan langsung
dipahami bahwa majelis dzikir para shahabat ini adalah dengan suara
yang sama, sebab tidak ada satu pun keterangan bahwa generasi salaf (terdahulu)
mempraktikkan dzikir berjama’ah seperti kaum sufi/tasawuf saat ini.
Dzikir di sini hanya sebatas mengingat-ingat nikmat Allah swt, tidak
lebih dari itu (Syarah Riyadlus-Shalihin 4 : 25-26). Imam an-Nawawi
dalam hal ini mengutip penjelasan ‘Atha: “Majelis-majelis dzikir itu
adalah majelis-majelis yang membahas hukum halal dan haram, bagaimana
cara jual beli, shalat, shaum, nikah, thalaq, haji, dan semacamnya.”
(al-Adzkar, hlm. 7). Maka dari itu Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Riyadlus-Shalihin, memasukkan juga dalam bab majelis dzikir ini hadits tentang majelis ta’lim dan kajian al-Qur`an.
Terlebih khabar yang disampaikan Ibn Mas’ud terlalu jelas untuk menyanggah adanya majelis-majelis dzikir buatan yang tidak ma`tsur dari
Nabi saw. Tatkala mendengar ada beberapa halaqah (kumpulan) orang-orang
yang berdzikir berjama’ah dipandu oleh seseorang dengan menggunakan
batu kerikil sebagai alat menghitungnya, Ibn Mas’ud langsung datang ke
masjid tersebut dan berkata dengan keras: “Celaka kalian hai umat
Muhammad, alangkah cepatnya kalian binasa. Padahal para shahabat masih
banyak, baju Rasul belum musnah, bejana-bejanannya belum hancur
(maksudnya belum lama Rasul saw wafat—pen). Demi Allah, apakah kalian
mengira ada dalam millah yang lebih bagus daripada millah Muhammad,
ataukah justru kalian membuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, maksud kami baik.” Jawab Ibn Mas’ud: “Bukankah
banyak dari orang yang bermaksud baik tapi ia tidak mencapai kebaikan!?
Sesungguhnya Rasulullah saw sudah mengingatkan kita akan adanya
sekelompok orang yang mereka membaca al-Qur`an, tapi tidak bisa melewati
tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu, bisa jadi kebanyakan
dari kalian termasuk dari mereka.” Kemudian ‘Abdullah ibn Mas’ud pergi meninggalkan mereka (Sunan ad-Darimi kitab al-muqaddimah bab fi karahiyah akhdzir-ra`yi no. 204. Hadits dinilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silisilah as-Shahihah 5 : 4).
Maksud dari “kelompok yang membaca al-Qur`an, tapi tidak
melewati tenggorokan” adalah kelompok sesat yang diinformasikan Nabi saw
akan datang di masa sesudah Nabi saw. Ciri mereka membaca al-Qur`an,
tapi hanya sekedar suara saja, tidak mengkaji dan memahami apa
maksudnya. Wal-’ilm ‘indal-’Llah.
by Nashruddin Syarief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar