Fariz Salman Alfarisi: Hubungan Ilmu Tahsin (Tajwid) dan Ilmu Qira’at

Laman

17/12/12

Hubungan Ilmu Tahsin (Tajwid) dan Ilmu Qira’at


Ilmu Tajwid tidak bisa dilepaskan keberadaannya dari ilmu Qiraat. Keberagaman cara membaca lafazh-lafazh Al Qur’an merupakan dasar bagi kaidah-kaidah dalam Ilmu Tajwid. Ilmu qiraat adalah ilmu yang membahas bermacam-macam bacaan (qiraat) yang diterima dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam dan menjelaskan sanad serta penerimaannya dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Dalam ilmu ini, diungkapkan qiraat yang shahih serta tidak shahih seraya menisbatkan setiap wajah bacaannya kepada seorang imam qiraat.[1]

Asal mula terjadinya perbedaan ini adalah karena bangsa Arab dahulu memiliki berbagai dialek bahasa (lahjah) yang berbeda antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Dan al qur’an yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa kepada Rasulnya Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam menjadi semakin sempurna kemu’jizatannya karena ia mampu menampung berbagai macam dialek tersebut sehingga tiap kabilah dapat membaca, menghafal, dan memahami wahyu Allah.[2]

Qiraat yang bermacam-macam ini telah mantap pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam dan beliau mengajarkannya kepada para shahabat radliallaahu ‘anhum sebagaimana beliau menerimanya dari Jibril ‘Alayhissalaam. Kemudian pada masa shahabat muncul para ahli qiraat Al qur’an yang menjadi panutan masyarakat. Yang termahsyur diantara mereka antara lain Ubay bin Ka’b, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abu Musa Al Asy’ari radliallaahu ‘anhum. Mereka lah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian besar shahabat dan tabi’in.



Namun dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan qiraat ini menghadapi masalah yang serius karena munculnya banyak versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Untuk itu dilakukanlah penelitian dan pengujian oleh para pakar qira’at dengan menggunakan kaidah dan kriteria dari segi sanad, rasm ‘utsmani, dan tata bahasa arab.

Setelah melalui upaya yang keras serta penelitian dan pengujian yang mendalam terhadap berbagai qira’at Al qur’an yang banyak beredar tersebut, ternyata yang memenuhi syarat mutawatir[3], menurut kesepakatan para ulama ada tujuh qiraat. Tujuh qira’at ini selanjutnya dikenal dengan sebutan qira’ah sab’ah (bacaan yang tujuh)

Qiraat sab’ah ini masing masih dibawa dan dipopulerkan oleh seorang imam qira’at, sehingga seluruhnya berjumlah tujuh orang imam qiraat. Sebagai penghargaan dan agar mudah diingat, nama-nama mereka selanjutnya diabadikan pada qiraahnya masing-masing (contohnya : Qiraat ‘ashim, Qira’at Nafi’dan seterusnya). Patut dipahami, hal ini bukan berarti bahwa merekalah yang menciptajan qiraat sendiri, namun qiraat yang mereka anut dan gunakan tetap bersumber dari rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam yang diperolehnya secara talaqqi dari generasi-generasi sebelumya.
Berikut nama Imam qiraat sab’ah dan para perawi yang mahsyur meriwayatkan qiraat darinya[4] :  
  1.  ‘Abdullah bin Amir Al Yahsabi (Imam Ibnu ‘Amir)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu dan ‘Utsman mengambilnya dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya antara lain : Hisyam bin ‘Ammar Ad Dimasyqi (Hisyam) serta Abu ‘Amir “abdullah bin Ahmad Bin Basyir bin Zakwan Ad Dimasyqi (Ibnu Zakwan)
  2. Abu Ma’bad ‘Abdullah bin Katsir Al Makki (Imam Ibnu Katsir)
    Beliau mengambil qiraat dari Ubay bin Ka’b dan ‘Umar bin Khattab radliyallaahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam melalui ‘Abdullah bin Sa’id Al Makhzumi. Para perawinya yang terkenal antara lain Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Abu Bazzah (Al Bazzi) serta muhammad bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Makhzumi (Qunbul)
  3. Abu Bakr ‘Ashim bin Abin Nujud Al Asadi (Imam ‘Ashim)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ubay bin Ka’b, dan Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhum dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam melalui Abu Abdurrahman bin Hubaib As Sulami. Para perawinya yang terkenal antara lain Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyasy bin Salim Al Asadi (Syu’bah) dan Abu ‘Amr Hafs bin Sulaiman bin Al Mughirah (Hafs)
  4. Zabban bin al ‘Ala bin ‘ammar (Imam Abu Amr)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Umar bin Khattab dan ‘Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhuma melalui Abu Ja’far Yazid bin Al Qa’qa dan Hasan Al Bashri. Hasan Al Bashri mengambil qiraat dari Haththan dan Abul ‘Aliyyah, Abul ‘Aliyyah dari Umar bin Khattab dan ‘Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya yang terkenal antara Abu ‘Umar Hafs bin ‘Umar (Ad Duri) dan Abu Syu’aib shalih bin Zaiyad As Susi (As Susi)
  5. Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Laitsi (Imam Nafi’)
    Beliau mengambil qiraat dari banyak guru, diantaranya ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang mengambil qirat dari ‘Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma yang mengambil qiraah dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu’anhu. ‘Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya yang terkenal antara lain Abu Musa ‘Isa bin Mina (Qalun) dan “utsman bin Sa’id Al Mishri (Warsy)
  6. Hamzah bin Hubaib Az Zayat (Imam Hamzah)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu melalui Abu Muhammad bin Sulaiman bin Mahran Al ‘Amasyi yangmengambil qiraat dari Abu Muhammad Yahya Al Asdi dari Alqamah bin Qais. Alqamah bin Qais talaqqi dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya yang terkenal antara Abu Muhammad Khalaf bin Hisayam Al Bazzaz (Khalaf) dan Abi ‘Isa Khallad bin Khalid As Sairafi (Khallad)
  7. Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah Al Kisa’i (Imam Al Kisa-i)
    Beliau mengambil qiraat dari Imam Hamzah dan juga talaqqi kepada Muhammad bin Abu Laili dan ‘Isa bin ‘Umar. Sementara ‘Isa Bin ‘Umar mengambil qiraat dari Imam ‘Ashim. Para perawi Imam Al Kisa-i yang terkenal antara lain Al Lais bin Khalid Al Baghdadi (abu Harits) serta Abu ‘Umar Hafsh bin ‘Umar (ad Duri al Kisa-i)
Qiraat Al qur’an yang dibawa oleh ketujuh imam qiraat diatas bukanlah hasil ijtihad, melainkan perkara tauqifi yang berpegangkepada riwayat-riwayat mutawaatir[5]Qiraat yang banyak dipelajari dan dipakai oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh thariqah Syatibiyyah. Riwayat Hafs memiliki 2 thariqah yaitu thariqah Syatibiyah dan thariqah Thayyibatun Nasyr.

Definisi Tahsin dan Tajwid

Tajwid menurut bahasa merupakan isim mashdar dari جَوَّدَ- يُجَوِّدُ- تَجْوِيْدًا yang artinya membaguskan atau membuat jadi bagus.

Pengertian tajwid secara bahasa ini sama seperti pengertian Tahsin (تحسين) yang berasal dari kata حَسَّنَ- يُحَسِّنُ- تَحْسِيْنًا yang berarti membaguskan atau memperbaiki.

Sedangkan tajwid menurut istilah (terminologi) ialah:
إ ِخْرَاجُ كُلّ ِحَرْفٍ مِنْ مَخْرَجِهِ مَعَ إِعْطَائِهِ حَقَّهُ وَ مُسْتَحَقَّهُ
“Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya masing-masing sesuai dengan hak dan mustahaqnya.”

Haq huruf yaitu sifat asli yang senantiasa ada pada setiap huruf atau seperti sifat Al-jahr, Isti’la, dan lain sebagainya. Hak huruf meliputi sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluar huruf.
Mustahaq huruf yaitu sifat yang sewaktu-waktu timbul oleh sebab-sebab tertentu ,seperti; izh-har, ikhfa, iqlab, idgham, qalqalah, ghunnah, tafkhim, tarqiq, mad, waqaf, dan lain-lain.


HUKUM MEMPELAJARI TAJWID (TAHSIN)

Hukum mempelajari Ilmu Tajwid sebagai disiplin ilmu adalah fardu kifayah. Adapun hukum membaca AlQuran dengan memakai aturan-aturan tajwid adalah fardu ‘ain . Firman Allah SWT:

وَرَتِّلِ الْقُرْ ا نَ تَرْتِيْلًا..
“Dan bacalah AlQuran dengan tartil.” (Q.S. Al-Muzzammil 73: 4).

Rasulullah SAW juga bersabda :

إ ِقْرَؤُوْا الْقُرْآَنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَ أَصْوَاتِهَا (رواه الطبران)

“Bacalah AlQuran dengan cara dan suara orang Arab yang fasih”. (HR. Thabrani)

Syekh Ibnul Jazari (Ulama pakar ilmu tajwid dan qiro’at) dalam syairnya mengatakan:

وَ الْأَخْذُ بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لَازِمٌ # مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ القُرْآَنَ اَثِمٌ
لِأَنَّهُ بِهِ الْإِلَهُ اَنْزَلَ # وَ هَكَذَا مِنْهُ اِلَيْنَا وَ صَلَا
“Membaca AlQuran dengan tajwid hukumnya wajib, Siapa saja yang membaca AlQuran tanpa memakai tajwid hukumnya dosa, Karena sesungguhnya Allah menurunkan AlQuran berikut tajwidnya. Demikianlah yang sampai pada kita dari-Nya.”

TUJUAN TAHSIN TILAWAH

Tujuan utama mempelajari ilmu tajwid dalam rangka tahsin tilawah adalah menjaga lidah dari kesalahan ketika membaca AlQuran. Dan kesalahan dalam membaca AlQuran ada dua macam :

a. ا َلَّلحْنُ اْلجَلِيْ /Al-Lahnul Jaliy

Kesalahan yang terlihat dengan jelas baik dikalangan awam maupun para ahli tajwid.
• perubahan bunyi huruf dengan huruf lain
• perubahan harakat dengan harakat lain
• memanjangkan huruf yang pendek atau sebaliknya.
• Mentasydidkan huruf yang tidak seharusnya atau sebaliknya.

b. اَلّلحْنُ اْلخَفِيْ /Al-Lahnul Khofiy

Kesalahan ringan yang tidak diketahui secara umum, kecuali oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca AlQuran.
Diantaranya:
• hukum-hukum pembacaan seperti membaca mad wajib muttashil atau lazim dengan dua atau tiga harakat
• tidak menerapkan kaidah ghunnah pada huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan ghunnah.
Contoh :
أَنْزَلَ – يُنْفِقُوْنَ – وَمَا أَنْزَلَ مِنْ قَبْلِكَ – إِذَا جَآءَ


FAIDAH TAHSIN TILAWAH

• Refleksi keimanan seorang muslim terhadap AlQuran
• Mencapai kualitas yang terbaik dalam membaca AlQuran
• Mengikuti jejak Rasulullah SAW yang telah mengajarkan AlQuran
• Terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam membaca AlQuran
• Mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan AlQuran


KEUTAMAAN ALQURAN

a. Mendapat syafa'at di hari Qiyamat.
Dari Abi Umamah RA, ia berkata : “Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Bacalah oleh kamu sekalian AlQuran, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari qiamat sebagai penolong bagi para pembacanya.” (HR. Muslim).

b. Mendapat derajat yang tinggi.
Dari Aisyah RA, ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW : “Orang yang membaca AlQuran dengan mahir, akan bersama-sama malaikat yang mulia lagi taat, dan orang yang membaca AlQuran dengan terbata-bata dan merasa berat, maka ia mendapat dua pahala.” (HR. Bukhari).

c. Merupakan ciri keimanan seseorang.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari RA, ia berkata : Telah berkata Rasulullah SAW : “Perumpamaan orang mukmin yang membaca AlQuran, bagaikan buah Utrujjah, harum baunya dan lezat rasanya. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca AlQuran, bagaikan buah kurma, tidak harum dan rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca AlQuran, bagaikan bunga (rihanah), harum baunya dan pahit rasanya. Dan orang munafik yang tidak membaca AlQuran bagaikan buah Handzalah, tidak harum dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari dan Muslim).

d. Mendapat kebaikan.
Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW : “Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar