Surat
itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI
Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya
pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada
pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Buat banyak orang pengunduran diri Hamka
sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang
alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik
gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya
mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan
tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak
umat lslam sendiri.”
Kenapa Hamka mengundurkan diri?
Hamka sendiri mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan
oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut
pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal,
meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M.
Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat
untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.
“Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret
pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei
1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama
no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga
beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari
setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali
beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu
ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku
Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.