Perjalanan kaum Syi'ah di negeri ini semakin
jelas.Dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau
(tepatnya disebut) dîn (agama) Syi'ah menguasai Iran sebagai agama penguasa
setelah pemerintahan Reza Pahlevi runtuh. Setelah terjadi revolusi di Iran
di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka ke seluruh
negeri Islam dengan mengatas-namakan dakwah Islam. Terutama ke negeri
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ada tiga faktor yang
menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu: Pertama, kaum
Muslim terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang Shahihah (benar)
yang berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah. Kedua, mayoritas kaum Muslimin pada
saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka hanya sekedar
mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah
jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik umat
Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur'ân
dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang
akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh (benar). Ketiga,
kebanyakan kaum muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham
atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya
terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan untuk seluruh umat
manusia. Pemahaman
mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana
madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama
seperti Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad dan lain-lain.Mereka
mengira perbedaan antara Syi'ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah
khilafiyah furû'iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita
dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
antara kita dengan Syi'ah kecuali sekedar perbedaan furu'iyyah. Dengan
tiga sebab ini, Syi'ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum
muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk
menegakan Daulah Islamiyah. [1] Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah
Rafidhah. Mereka ingin menyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena
dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran
ini (Syi'ah) dan ditegakkan oleh mereka. Khomaini, pemimpin mereka telah
menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan
gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga
kitab itu adalah: Kitab Hukumâtul Islamiyah Kitab Tahrîrul Wasilah Kitab
Jihadun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar.Dalam tiga kitab ini, khususnya
dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara tegas tanpa taqiyyah
menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama mereka. Diantaranya
dua hal yang sangat mendasar yaitu: Tidak ada hukum kecuali hukum Syi'ah. Jadi
yang dimaksud dengan Hukumatul Islamiyah adalah hukum Rafidhah. Tidak ada
negeri islam kecuali yang ditegakkan oleh mereka. Karena itu mereka
menyerukan agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Berbagai upaya dilakukan,
misalnya mengirimkan dai-dai ke seluruh negeri-negeri Islam atau dengan istilah
pertukaran pelajar, atau cendekiawan, mempertemukan tokoh-tokoh mereka dengan
tokoh-tokoh kaum muslimin untuk mempersatukan Islam. Sebuah tanda tanya
besar! Padahal yang diinginkan adalah agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Dalam
kitab Hukumâtul Islamiyah ini, Khomaini dengan tegas mengatakan bahwa derajat
imam-imam mereka lebih tinggi dari derajat para Nabi dan Rasul bahkan para
Malaikat. Dalam kitab itu juga, Khomaini tidak mengenal Daulah Islamiyah
kecuali yang ditegakkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Ali
bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, adapun tiga khalifah sebelum Ali
radhiyallâhu'anhu yaitu Abu Bakar radhiyallâhu'anhu, Umar radhiyallâhu'anhu,
dan Utsman radhiyallâhu'anhu tidak dianggap sebagai Muslim. Bahkan dalam
kitab Jihâdul Akbar, Khomaini dengan tegas mengutuk sahabat agung, penulis
wahyu, ipar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan pamannya kaum muslimin
yaitu Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallâhu'anhu. Khomaini mengatakan
bahwa Mu'awiyah radhiyallâhu'anhu terlaknat di dunia dan di akhirat dengan
mendapatkan adzab di akhirat. Seolah-olah dengan perkataannya ini, dia
mengetahui hal yang ghaib. Apakah Allah Ta'ala telah mengikat perjanjian
dengan dia?Apakah Allah Ta'ala telah memberikan berita gaib kepadanya? Sehingga
dengan tegas dia berani mengucapkan kata ini? Ini menunjukkan betapa kuat
kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu
para Sahabat radhiyallahu'anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui
kata-kata Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh Muslim
berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan "Persatuan dan Kesatuan
Umat Islam", "Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu
'saja", semuanya adalah kebohongan .dikutip dari: majalah as Sunnah Insya
Allah pada bulan ini kami akan membongkar sepak terjang Syi'ah dibumi nusantara
ini (/ red.QS)
Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat Hafizhahullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar