Fariz Salman Alfarisi: MADZHAB AHLUSS SUNNAH WAL JAMA'AH SECARA IJMAL MENGENAI SIFAT-SIFAT ALLAH

Laman

04/03/12

MADZHAB AHLUSS SUNNAH WAL JAMA'AH SECARA IJMAL MENGENAI SIFAT-SIFAT ALLAH





Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta'ala, tanpa ta'thil, tamtsil, tahrif, dan takyif[1]. Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadits.

[1]. Tahrif
Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut pengertian syar'i berarti: merubah lafazh Al-Asma'ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya. Tahrif ini dibagi menjadi dua:

Pertama:
Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh. Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa istawa [2] Adalah istaula [3] Disini ada penambahan huruf lam. Demikian pula perkataan orang-orang Yahudi, "Hinthah [4] ketika mereka diperintah untuk mengatakan "Hiththah[5]" Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid'ah yang memanshubkan[6] lafazh Allah dalam ayat :

وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
"Artinya : Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung."[An-Nisa' : 164].

Kedua:
Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya. Contohnya adalah perkataan Ahli Bid'ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in'am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni'mah (nikmat).

[2]. Ta'thil
Ta'thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar'i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta'ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta'thil yaitu : ta'thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.

MACAM-MACAM TA'THIL

Ta'thil ada bermacam-macam.


[a]. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma' dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu'tazilah.

[b]. Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.

[c]. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.

Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta'thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta'thil melakukan tahrif. Siapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta'thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu'athil (pelaku ta'thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).

[3]. Takyif
Takyif artinya bertanya dengan kaifa (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/ keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum Salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullahu Ta'ala ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa', -bersemayam-. Beliau Rahimahullah menjawab :

"Istiwa' itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya adalah bid'ah."[7]

Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.

[4]. Tamtsil
Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta'ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi'liyah-Nya.

Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :

Pertama :
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta'ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan 'Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.

Kedua :
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.[8]

ILHAD TERHADAP ASMA' DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

Pengertian ilhad terhadap Asma' dan Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti. Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut untuk menyebut hal-hal yang bid'ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham "Ittihad". Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah tahrif, ta'thil, takyif, tamtsil dan tasbih. [9]
 

Foote Note.
[1]. Serta tanpa tafwidh
[2]. Istawa artinya berada di atas; (setelah dahulunya tidak)
[3]. Istaula artinya menguasai
[4]. Hinthat artinya gandum
[5]. Hiththah artinya bebaskan kami dari dosa
[6]. Maksudnya, lapazh Allah dibaca dengan harakat akhir fathah, padahal semestinya harakat akhirnya dibaca dengan dhammah . Dengan dimanshubkan, maka kedudukan lapazh Allah dalam ayat tersebut menjadi obyek, sehingga arti ayat tersebut berubah menjadi, Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung.
[7]. Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144
[8]. Al-Kawasyif Al-jaliyah an Ma'ani Al-Wasithiyah, hal.86.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah berkata : Ada tasybih jenis ketiga, yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan madumat, (sesuatu yang tidak ada), tidak sempurna dan benda-benda mati. Inilah tasybih yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham Jahmiyah dan Mu'tazilah.
[9]. Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 32 dan Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal. 24.

MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TENTANG ASMA' DAN SIFAT-SIFAT ALLAH SECARA TAFSHIL

Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah madzhab kaum salaf Rahimahumullah Ta'ala. Mereka beriman kepada apa saja yang disampaikan oleh Allah mengenai diri-Nya di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam dengan keimanan yang bersih dari tahrif dan ta'thil serta dari takyif dan tamtsil. Mereka menyatukan pembicaraan mengenai sifat-sifat Allah dengan pembicaraan mengenai Dzat-Nya, dalam satu bab. Pendapat mereka mengenai sifat-sifat Allah sama dengan pendapat mereka mengenai Dzat-Nya. Bila penetapan Dzat adalah penetapan tentang keberadaannya, bukan penetapan tentang bagaimananya, maka seperti itu pulalah penetapan sifat. Menurut mereka, wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah ditegaskan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau oleh salah satu dari keduanya. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut wajib diimani sebagaimana yang disebutkan dalam nash, tanpa takyif, wajib diimani berikut makna-makna agung yang terkandung didalamnya yang merupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Wajib mensifati Allah dengan makna sifat-sifat tersebut, dengan penyifatan yang layak bagi-Nya, tanpa tahrif, ta'thil, takyif, atau tamtsil [1]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengkiaskan Allah dengan makhluk-Nya, karena mereka tidak memperbolehkan penggunaan berbagai kias (analogi) yang mengandung konsekuensi penyerupaan dan penyamaan antara apa yang dikiaskan dengan apa yang menjadi obyek pengkiasan dalam masalah-masalah Ilahiyah. Karena itu mereka tidak menggunakan kias, tamtsil dan kias syumul/ menyeluruh terhadap Allah Ta'ala. Terhadap Allah SWT mereka menggunakan kias aula/ yang lebih utama. Inti kias ini adalah bahwa setiap kesempurnaan yang terdapat pada makhluk, tanpa kekurangan dipandang dari berbagai segi, maka Al-Khaliq lebih layak untuk memilikinya, sebaliknya setiap sifat kekurangan dihindari oleh makhluk, maka Al-Khaliq lebih layak untuk terhindar darinya.


AYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH

Setelah Syaikhul Islam Rahimahullah Ta'ala menyebutkan akidah Firqah Najiyah secara ijmal, yaitu: Iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah, maka beliau mulai menjelaskan hal itu secara mendetail. Beliau Rahimahullah menyebutkan bahwa di antara manifestasi iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang disifatkan oleh-Nya untuk diri-Nya, atau oleh rasul-Nya Sallallahu 'alaihi wassalam, tanpa tahrif, ta'thil, takyif atau tamtsil.
Beliau Rahimahullah lalu menyebutkan sejumlah ayat dan hadits sahih yang di situ Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam menetapkan Sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, dengan penetapan yang layak bagi-Nya. Dalam hal ini, beliau Rahimahullah bermaksud menegaskan bahwa tidak ada jalan bagi seorang muslim untuk mengetahui Sifat-sifat Rabbnya yang Maha Tinggi dan Asma'-Nya yang Maha Indah, melainkan melalui perantaraan wahyu. Asma' dan Sifat-sifat Allah itu bersifat tauqifiyah (hanya bisa diketahui dari Allah). Maka, apapun yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya, atau oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam, kita meyakininya. Demikian pula, apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam, kita menafikannya. Cukuplah bagi kita informasi yang datang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih ini.

Di antara ayat dan hadits yang disebutkan oleh beliau Rahimahullah adalah sebagai berikut:
 

Foote Note.
[1]. Lihat "Al-Aqidah Asy-Shahihah wa maa Yudhaadhuha", Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, hal 7 dan 'Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah", Al-Haras hal. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar