Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda :
إن
أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا يا رسول الله وما الشرك الأصغر قال الرياء
إن الله تبارك وتعالى يقول يوم تجازى العباد بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم
تراءون بأعمالكم في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya
yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik paling kecil” Para sahabat
bertanya : “Apa yang dimaksud syirik paling kecil itu?” Beliau menawab :
“Riya`” Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman pada hari semua
amal hamba dibalas (hari kiamat) : “ Datangilah orang yang dulu kalian
tunjukkan amal kalian padanya di dunia, lihatlah apakah kalian mendapatkan
balasan dari mereka.” (HR Ahmad no 22742 dan Al Baghawi. Syekh al Albani berkata : sanadnya
baik (jayyid) (lihat Silsilah Hadits Shahihah no 951)
Abu Umamah al Bahiliy melihat seorang lelaki di
dalam masjid sedang menangis ketika sujud, kemudian beliau berkata : “Anda,
seandainya ini anda lakukan di rumah anda (tentu lebih baik).”
Kata
riya` berasal dari kata ru`yah (melihat). Asalnya adalah mencari kedudukan di
hati manusia dengan menunjukkan kepada mereka berbagai perangai dan sifat baik.
Adapun yang ditunjukkan kepada manusia cukup banyak, namun bisa dikelompokkan
menjadi lima bagian, yang semuanya merupakan sarana yang biasa digunakan oleh
seorang hamba untuk berhias di hadapan manusia, yaitu : fisik (badan), pakaian,
perkataan, perbuatan, pengikut, dan barang-barang yang tampak di luar.
Adapun
riya` dalam agama dengan badannya adalah dengan menampakkan keletihan dan
kelelahan yang mengesankan kerja keras, merasa sedih memikirkan berbagai
persoalan agama dan sangat takut dengan akhirat.
Adapun
riya` dengan penampilan dan pakaian seperti rambut kusut, menundukkan kepala
ketika berjalan, sangat tenang dalam melakukan aktivitas dan membiarkan bekas
sujud menempel di wajahnya.
Riya`
dengan perkataan seperti riya` yang dilakukan oleh orang-orang mendalami agama
dengan memberikan mau’izhah (nasehat), peringatan dan berbicara dengan
kata-kata hikmah (mutiara) dan atsaar (Hadits Nabi atau perkataan ‘ulama`)
untuk menampakkan perhatiannya dengan perbuataan orang-orang shaleh serta
menggerakkan kedua bibirnya untuk bedzikir di depan orang banyak.
Riya`
dengan amal seperti riya`nya orang yang shalat dengan memanjangkan berdiri, sujud
dan ruku’, menundukkan kepala dan tidak menoleh.
Sedangkan
riya` dengan teman dan orang-orang yang mengunjungi seperti orang yang meminta
seorang alim ulama mengunjungi supaya dikatakan bahwa (alim) fulan sudah
mengunjungi fulan.
Orang
yang riya` mempunyai tujuan-tujuan yang bisa kita bagi menjadi beberapa
tingkat,
Pertama
: Tujuannya adalah agar ia dapat lebih
leluasa berbuat ma’siyat. Seperti orang yang riya` dengan menampakkan taqwa dan
wara`. Tujuannya agar dikenal orang sebagai orang yang mempunyai sifat amanah
kemudian orang-orang memberikan kedudukan untuk posisi tertentu atau
mempercayakan pembagian harta (zakat, infak dan yang sejenis) kepadanya. Ia
mendapat keuntungan dari kepercayaan tersebut. Ini adalah jenis riya` yang dibenci
oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa karena menjadikan ta’at kepada Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa sebagai salah satu tangga menuju kema’siyatan kepada
Nya.
Kedua
: Tujuannya mendapatkan keuntungan duniawi
semata, baik berupa harta ataupun wanita yang ingin dinikahinya. Seperti orang
yang menampakkan ilmu dan ketaqwaannya karena ingin menikah atau mendapatkan
uang. Ini juga riya` yang dicela, karena ia melakukan ketaatan karena mencari
keuntungan duniawi, tetapi tingkatannya di bawah yang pertama.
Ketiga
: Tidak bertujuan mendapatkan harta atau
menikahi wanita, tetapi ia menampakkan ibadah karena takut dilihat kurang oleh
orang, tidak dianggap orang-orang khusus dan zuhud serta dianggap seperti
orang-orang pada umumnya.
PEMBAGIAN
RIYA`
1.
Riya`
Jaliy (tampak jelas) yaitu riya` yang menjadi pendorong untuk beramal meski
dimaksudkan untuk mendapatkan pahala.
2.
Riya`
Khafiy (samar). Riya` ini lebih ringan. Meski bukan motivasi untuk beramal
tetapi membuat amalnya yang ditujukan karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa lemah.
Seperti orang yang biasa melakukan tahajjud setiap malam dan itu ia jalani
dengan berat, tetapi kalau ada tamu yang datang (menginap) ia tambah semangat
dan ia jalani shalat tersebut dengan ringan. Tergolong dalam jenis riya` khafiy
juga adalah orang yang menyembunyikan berbagai ketaatannya, tetapi jika
orang-orang melinhatnya ia senang jika orang-orang menyambutnya dengan penuh
ceria dan penghormatan, memujinya, bersemangat untuk membantu memenuhi
keperluannya, tidak banyak menuntutnya dalam berjual beli dan memberinya tempat
(dalam berbagai pertemuan) dan jika ada orang yang kurang memberikan haknya
hatinya merasa keberatan.
Orang-orang
yang ikhlas senantiasa takut terhadap riya` khafiy. Kesungguhannya untuk
menyembunyikan berbagai ketaatannya lebih besar daripada kesungguhan
orang-orang menyembunyikan keburukan mereka. Semua itu ia lakukan karena
mengharap agar seluruh amal shalehnya ikhlas, kemudian hanya Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa yang membalasnya pada hari kiamat karena keikhlasan mereka. Sebab mereka
mengetahui bahwa pada hari kiamat nanti tidak akan diterima (amalan) kecuali
dari orang yang ikhlas dan mereka menyadari bahwa pada saat itu mereka sangat
membutuhkannya.
OBAT RIYA` DAN
CARA MEMBERSIHKAN HATI DARI RIYA`
Anda
telah mengetahui bahwa riya` menghapuskan amal, sebab kemurkaan Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan merupakan pembinasa yang paling besar. Kalau memang
begini sifatnya maka sudah sepantasnya untuk secara sungguh-sungguh
menghilangkannya. Ada beberapa tingkatan untuk mengatasinya.
Pertama : Memotong
akar dan asal usulnya yaitu senang dipuji, menghindari pahitnya dicela dan
sangat tamak terhadap yang dimiliki manusia. Tiga hal inilah yang menggerakan
orang untuk riya`. Cara mengatasinya : Menyadari bahaya riya` dan akibat yang
ditimbulkannya dengan tidak didapatkannya hati yang baik (bersih), terhalang
mendapatkan taufiq di dunia, tidak mendapatkan kedudukan di sisi Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa di akhirat nanti, balasan yang akan diterima berupa
siksaan, kemurkaan yang dahsyat dan kehinaan yang tampak. Bagaimanapun, jika
seorang hamba memikirkan kehinaan tersebut, kemudian membandingkan apa yang
didapatkannya dari menampakkan keindahan (perkataan, amal dll) dihadapan
manusia di dunia dengan apa yang tidak bisa ia raih di akhirat dan pahala yang
terhapus, ia akan dengan mudah menghilangkan keinginan tersebut. Seperti orang
yang mengetahui bahwa madu itu enak tetapi kalau ternyata di dalamnya ada racun
yang akan berakibat buruk baginya, ia akan tinggalkan madu tersebut.
Kedua : Menghilangkan
berbagai (bisikan) yang sempat mengganggunya ketika melakukan ibadah. Ini juga
perlu dipelajari. Orang yang berjuang memerangi (penyakit) jiwanya dengan
memotong akar-akar riya`, menghilangkan rasa tamak dan menganggap hina pujian
dan celaan orang, kadang-kadang syetan tidak membiarkannya pada saat
menjalankan ibadah, tetapi membisikkan riya`. Jika terbetik dalam benaknya
bahwaorang-orang sedang melihatnya, melawannya dengan mengatakan pada dirinya :
Apa urasanmu dengan orang-orang itu, merek tahu atau tidak, Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa mengetahui keadaanmu. Apa faidahnya orang mengetahui (amal kita) ?
Jika keinginan untuk mendapatkan pujian sedang bergejolak, ingat dengan
penyakit riya` yang ada dalam hatinya yang menyebabkannya mendapatkan murka
dari Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan kerugian ukhrawi lainnya.
SALAH, JIKA
ORANG MENINGGALKAN KETAATAN KARENA TAKUT RIYA`
Ada
orang yang meninggalkan amal karena takut riya`. Ini satu sikap salah, cocok
dengan keinginan syetan untuk mengajak manusia malas (beramal) dan meninggalkan
kebaikan. Selama motivasi untuk beramalnya sudah benar dan sesuai dengan
tuntunansyari’at yang lurus, maka jangan meninggalkan amal karena ada bisikan
riya`, tetapi ia wajib berusaha mengatasi bisikan riya`, menanamkan dalam
dirinya malu terhadap Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan mengganti pujian manusia
dengan pujian Nya.
Fudhail
bin Iyadl berkata : “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal
karena manusia adalah riya` dan ikhlas adalah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
selamatkan anda dari keduanya.”
Ada
orang alim lain yang berkata : “Barang siapa yang meninggalkan amal karena
takut ikhlas maka ia telah meninggalkan ikhlas dan amal.
(Diterjemahkan dari buku Al Bahrur Roo-iq fiz Zuhdi War
Roqoo-iq karya DR Ahmad Farid. Penerbit Muassasah al Kutub ats Tsaqofiyah,
cetakan pertama, hal 117-120)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar