Kata-kata
yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan
Imam Asy Syafi’i. Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka
tidaklah masalah diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah
hasanah) dan ada bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun
yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi
legal.
Khalifah ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara
Mengenai Bid’ah Hasanah
‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menghidupkan
shalat tarawih secara berjama’ah, beliau berkata,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
البدعة بدعتان: بدعة
محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah
mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan
bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika
menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[2]
Memahami Perkataan ‘Umar bin Khottob tentang
Shalat Tarawih
Mengenai kisah
keluarnya ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita saksikan pada
hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي
بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ
جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ,
وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ
اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin
Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana,
ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat
sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata:
“Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan
lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh
Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan
ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat
dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir
malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam.[3]
Perkataan ‘Umar di atas disikapi oleh
Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,
“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka
yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut
istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin
Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam
Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar
keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata,
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata
pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini
baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih
sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan
dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam
Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang
melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau
berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para
sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan
melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak
merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di
malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.[4]
Ibnu Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan
kembali oleh ‘Umar tetap sah dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari
sunnah[5] (ajaran) khulafaur rosyidin al mahdiyyin[6] yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah
(ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih telah menjadi sunnah
(ajaran) khulafaur rosyidin. Manausia di masa ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali juga
menghidupkannya secara berjama’ah.”[7]
Dalil bahwasanya kita
diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan
ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal, berpegang teguhlah
dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”.[8]
Ibnu Taimiyah berkata, “Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang
disebutkan ‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah
syari’at. Karena bid’ah secara bahasa berarti setiap perbuatan yang
diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”[9]
Perkataan bid’ah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan
pula oleh anak ‘Umar bin Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Yang namanya adzan pertama pada shalat
Jum’at baru dilakukan di masa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan hal itu.
Dan amalan ini diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu ‘Umar
lantas berkata, “Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan
maksud Ibnu ‘Umar, “Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya
dalam masalah qiyam Ramadhan (shalat tarawih).”[10]
Bagaimana bisa hadits dipertentangkan
dengan perkataan sahabat?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat?”[11] Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan
keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu,
tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[12] Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Lalu bagaimana kita menyikapi perkataan
‘Umar?
Taruhlah kita setuju dengan perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena
beliau telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah
seperti kata Ibnu Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana
perkataan sahabat bisa sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[13]
Jika dengan perkataan sahabat saja tidak
bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lantas
bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat?
Memahami Perkataan Imam Syafi’i
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatawanya
menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas seraya berkata, “Apa saja
yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para
ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak
disebut bid’ah. Imam Syafi’i rahimahullah menuturkan, “Bid’ah
itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, ijma’
dan atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, bid’ah seperti ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena
‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Perkataan semacam ini dan
semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih”.[14]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai
bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam
Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa
bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya
dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam
syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah
yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari
Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai
pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah
secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini
bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[15]
Ibnu Rajab rahimahullah juga menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy
Syafi’i perkataan beliau yang menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam
Syafi’i berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو
سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا
خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang baru)
itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As
Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam
kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara
baru (bid’ah) yang tercela”.[16]
Intinya di sini,
sahabat mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah orang yang
begitu mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang
beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid, selamatan
kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena
perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas
sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang
terkemuka di atas.
Pertama: Secara jelas Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat tanpa ada pengecualian. Maka
tidak bisa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau perkataan imam madzhab.
Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu perkataan ini masyhur diucapkan
oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam Ahmad,
ليس أحد إلا ويؤخذ من
رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي
“Pendapat seseorang bisa diambil atau
ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kedua: Jika seseorang merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah
madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul,
itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk
amalan tercela”. Maksud beliau di sini adalah jika suatu amalan tidak menyelisihi Al
Qur’an dan As Sunnah, maka itulah bid’ah hasanah (mahmudah) karena dalam
perkataan beliau dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian maksudnya,
apalah gunanya beliau membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap bid’ah
yang menyelisihi syari’at bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam
telah sempurna,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3). Begitu pula bid’ah yang tercela bertentangan dengan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru
dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 20
dan Muslim no. 1718).
Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia
termasuk bid’ah sayyi’ah dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan)
menurut sepakat para ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan
bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang
menyatakan bahwa amalan tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan
bukan pula sunnah (anjuran), maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan
tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”[17]
Ketiga: Sudah sangat ma’ruf bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang
paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang
sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang
yang menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ar Rabie’ (murid Imam
Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang
sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana
pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata
kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ
تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan
bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[18]
Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin
kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin
dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan
Imam Syafi’I, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan
sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa.
Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i
karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي
كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ
اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا
إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku
sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam
riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan
pedulikan ucapan orang.”[19]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ
النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak
mendengarnya dariku.”[20]
كُلُّ مَا قُلْتُ
فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ
النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي
“Semua yang pernah kukatakan jika
ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”[21]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ
فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ
مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits
shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan
pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik
semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[22]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ
فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah
mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik)
tembok.”[23]
أَجْمَعَ
الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ
يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja
yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena
mengikuti pendapat siapa pun.”[24]
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan dari
ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan
mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa,
–yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian,
antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda
Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan
bertabrakan.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh,
KSA, 14 Jumadats Tsaniyah 1433 H
[1] HR. Bukhari no. 2010.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9: 113.
[3] HR. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan.
[4] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[5] Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Sunnah di sini bukan hanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, termasuk pula
ajaran para kholifah rosyidin berupa i’tiqod, keyakinan, amalan dan perkataan.
Inilah pengertian sunnah yang sempurna dan yang dipegang oleh para ulama salaf,
mereka tidaklah memaksudkan kecuali demikian. Inilah yang diriwayatkan dari Al
Hasan Al Bashri, Al Auza’i dan Al Fudhail bin ‘Iyadh.
Namun kebanyakan ulama
belakangan memahami sunnah dengan maksud i’tiqod (keyakinan) karena i'tiqod
itulah yang disebut ushulud diin (pokok ajaran Islam). Sehingga yang
menyelisihi sunnah ini, ia berarti telah berada dalam bahaya yang besar
(Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 120).
[6] Rusydu adalah mengenal kebenaran dan mengikutinya (mengamalkannya). Ghowi
adalah mengenal kebenaran tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan dholal adalah
tidaklah mengenal dan mengamalkan kebenaran. Setiap orang yang rosyid, maka dia
disebut muhtad (mendapat petunjuk). Setiap yang mendapati petunjuk secara
sempurna dialah rosyid. Yang namanya hidayah adalah dengan mengenal dan
mengamalkan kebenaran sekaligus (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 126).
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[8] HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. Abu Isa At
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula hal yang sama
dinyatakan oleh Syaikh Al Albani.
[9] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[10] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[11] HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.
[12] Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam fatawanya hal. 180-181. Dinukil dari Ilmu
Ushul Bida’, hal. 91.
[13] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 20: 163.
[15] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat
ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau
terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 1: 162.
[18] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[19] Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[20] Tarikh Dimasyq, 51: 389.
[21] Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15.
[22] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[23] Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285.
[24] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar