Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam dan Filsafat Untuk
Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah
besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam
adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami
Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani
Kuno), yaitu philos dan sophia.
Philos artinya cinta; atau philia
berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia
berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian,
pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah
al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf)
disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk
mencapai Kebahagiaan menurut mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan,
baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam
berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu
sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali
tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami dan
menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat dalam di
kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in. Mengapa
Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq?
Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1.
Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama
sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam
melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat
Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan
meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj
umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian
dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).
Alloh
Swt berfirman :
Maka
patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah
menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan terperinci?
orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui
bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka
janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah
kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.
tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti
kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih
mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al An`am [6]: 114-117)
Ibnu
Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat ini :
“Firman
Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai
kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya
dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil
dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah
kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah
yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya.
Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu
kecuali pasti mengandung mafsadah…”
Di
bagian lain beliau menjelaskan :
“Alloh
swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni
bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir : 3/1351)
2.
Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama
sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat
memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita
telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para
salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya,
dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu,
kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan
Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti salafus solih (terutama para
sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua kebenaran iman dan
keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para sohabat beliau saw.
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin
dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido
kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya,
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. At Taubah [9]: 100)
Jika
mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman
bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah;
dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh
akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Qs.
Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh
Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para
sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.
Apabila
dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu
(yaitu para sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami
harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah,
Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)
Akan
tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka
mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan
mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka
dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa
perkataan mereka yang mulia, di antaranya :
Abu
Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya
Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang
mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu
tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu
seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah
nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah beristinja?”
Beliau
rda menjawab :
“Ya
betul”. (Hr. Muslim: 262)
Az
Zuhri rhm berkata :
مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا اَلتَّسْلِيْمُ
“Dari
Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan
kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”. (Hr. Bukhori:
46)
Ilmu
kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali
tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan
aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles
dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme
(musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum musyrikin kafir dijadikan manhaj atau
metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?
Syihristani rhm
berkata :
“awal syubhat yang
terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber
Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk
menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh
serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api
dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An
Nihal: 1/16)
Bencana filsafat, ilmu
kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam
telah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya
pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M)
sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist
karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal:
93). Akan tetapi titik
terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada
masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah
kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang
dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak
berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung
selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah
adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali
diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah
Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen
dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya.
Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn
Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang
diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama
manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para
penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya.
Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari
Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah berbahasa
Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah
berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya
Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah
oleh ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa
Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam
kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga
berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari
orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan
oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak
cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah
dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan kita bahwa orang-orang
yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir
serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun
tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang menyebut-nyebutnya
apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak
sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang
penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.
5.
Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan
Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan,
kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al
Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu
ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam
al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam
perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai
pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah.
Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung
hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai
sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu
Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku
pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang
disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu
adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan,
kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk
mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja
Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al
Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam
masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini.
Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi
seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak cukup).
Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata
ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian
mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti
jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an
‘ilmil Kalam.
Ibnu
Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H).
Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia
menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj filsafat dan
pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak
bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan
kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf
‘an Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj
al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia
mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih
dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu
juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah logika adalah
kekacauan.
dan penghujung usaha dunia adalah
kesesatan.
Ruh-ruh yang berada di jasad
selalu galau…
Hasil dunia hanyalah kepedihan dan
bencana.
Kami tidak mendapatkan faidah dari
pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.
Berapa banyak kami melihat seorang
rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan sirna.
Berapa banyak gunung yang
menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi gunung tetaplah
gunung
Kemudian
dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat
hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan
dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan
al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku membaca
firmanNya:
Alloh
yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy (Thoha:5)
Kepada-Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan
di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:
Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)
Sedang
ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)
Kemudian
dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia
akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).
Syekh
Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H,
pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu
kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia bersyair:
Aku telah mengelilingi berbagai
universitas sepanjang umurku,
Akupun telah menempuh berbagai
lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat kecuali orang yang
meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian menyesal.
Dan
dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir
hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang
indah tentang masalah ini adalah:
Wahai Dzat yang melihat sayap
nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga
sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan
menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua
ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan
besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita
simak beberapa perkataan mereka:
Abu
Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang
diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab : “Semua
itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan
metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru, karena semua itu adalah bid`ah”.
(Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman
bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada
seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm
berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat
bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat
Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum dan syari`at-syari`at
mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”. (Dzammul
Kalam : 294)
Abu
Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H) berkata :
“Barangsiapa
mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari
makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta
dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”. (Dzammul Kalam: 326)
Sehingga
Al Imam Syafi'i mengatakan : 'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah
mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di
berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah
balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam
ilmu kalam.' (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul Kalam: 356)
Berkata
Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni
orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan)." (Talbis Iblis: 83)
Imam
al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf. Wafat : 329 H) rhm berkata
:
“Ketahuilah…
Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan
dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan
peseteruan”. (Syarh as Sunnah : 38)
Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Memahami Islam
1.
Sumber agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh dalam bentuk Al
Qur`an dan Hadits yang shohih.
Islam
diturunkan dan diajarkan oleh Alloh Swt kepada Rosululloh saw, baik dalam
lafadz-lafadzNya, cara memahaminya maupun cara menerapkannya. Untuk itu,
sumber yang benar dalam agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh
sendiri, yaitu Al Qur`an dan hadits-hadits yang shohih. Dalil-dalil prinsip
ini adalah firman Alloh Swt :
48.
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan pembatas kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Alloh hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada
kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Alloh-lah
kembali kalian semua, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah
kalian perselisihkan itu, (Qs. Al Maidah [5]:48)
Imam
Asy Syafi`i rhm berkata :
"
ولا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله ، أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وما
سواهما تبع لهما "
“Satu
pendapat bagaimanapun tidak akan menjadi keniscayaan kecuali dengan
Kitabulloh atau sunnah RosulNya. Selain kedua sumber tersebut hanya mengikuti
keduanya.” (Jima` al `Ilm: 11)
2. Ijma`
Sohabat adalah hujjah syar`iyyah.
Walaupun
satuan sohabat Nabi saw tidaklah ma`sum, akan tetapi ketika mereka bersatu
pendapat dalam satu faham atau cara penerapan tertentu dalam agama ini maka
kedudukannya adalah ma`sum dan sebagai hujjah syar`iyyah.
Alloh
swt berfirman :
Barangsiapa
yang berselisih jalan dengan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An Nisa
[4]:115)
Imam
asy Syafi`I rh memberikan kesimpulan tentang ayat ini sangat jelas:
“Alloh
menggabungkan ancaman kepada orang yang berselisih jalan dengan Rosul saw
bersama orang yang menyelisihi jalan (kesepakatan) orang-orang yang beriman.
Seandainya mengikuti selain (kesepakatan) jalan orang-orang yang beriman itu
boleh, niscaya Alloh tidak menggabungkan keharamnya dengan menentang Rosul.
Mengikuti selain jalan (kesepakatan) mereka berarti menyelisihib
pendapat-pendapat dan amal-amal mereka”. (Anwar at Tanzil, Baidowi : 1/243)
Rosululloh
saw bersabda :
“Alloh
tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan selama-lamanya”. (Hr. Al Hakim
dalam Mustadroknya: 1/115)
3.
Menolak semua bentuk bid`ah, baik bid`ah dalam aqidah, manhaj maupun amal.
Ahlus
Sunnah wal Jama`ah berkeyakinan bahwa bid`ah dengan segala bentuknya dalam
agama adalah kesesatan yang nyata. Bid`ah adalah semua aqidah atau
peribadatan yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak disyari`atkan atau
diajarkan oleh Islam. Secara umum dan global bid`ah sangat berbahaya, lebih
berbahaya daripada maksiat meninggalkan perintah atau melanggar larangan,
karena pembuatnya telah menempatkan dirinya sebagai pemegang hak membuat
hokum. Walaupun, dari segi satuan-satuannya keberbahayaan bid`ah
bertingkat-tingkat.
Alloh
swt berfirman :
Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah
Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu menyimpangkan kalian dari jalanNya (yang lurus). yang
demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa. (Qs. Al An`am [6] :
153)
4.
Semua hadits shohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah
termasuk masalah aqidah, baik hadits itu berderajat mutawatir atau ahad.
Semua
ulama salafus solih telah menjadikan hadits Nabi saw yang shohih berasal dari
beliau sebagai sumber ilmu dan hokum. Mereka sama sekali tidak
membeda-bedakan antara riwayat hadits yang dibawa oleh banyak orang yang
berderajat mutawatir atau orang perorang yang tidak mencapai derajat
mutawatir.
Alloh
Swt berfirman :
apa
yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya
Alloh amat keras hukumanNya. (Qs. Al Hasyr : 7)
Ibnu
Hazm rhm berkata :
“Abu
Sulaiman, Husein bin Ali al Karobisi , Harits bin Asad al Muhasibi dan ulama
lainnya berkata : sesungguhnya khobar satu orang yang adil dari orang yang
semisalnya sampai kepada Rosululloh saw meniscayakan keilmuan dan keharusan
mengamalkannya. Inilah pendapat yang kami pegang”.
Ahmad
Syakir rhm berkata :
“Kebenaran
yang didukung oleh dalil-dalil yang shohih adalah pendapat Ibnu Hazm dan para
ulama yang sependapat dengan beliau bahwa hadits yang shohih menyampaikan
kepada ilmu qot`I, baik yang ada pada salah satu kitab bukhori muslim atau
kitab hadits lainnya. Ilmu keyakinan ini adalah ilmu teoritis ilmiyah yang
hanya bisa dicapai oleh seorang alim yang luas dalam ilmu hadits serta
mengetahui kondisi para perawi dan cacat-cacatnya”. (al Bais al Hasis:39)
5.
Wahyu dari Alloh Swt tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.
Wahyu
Alloh swt adalah kalamNya Yang maha berilmu dan Maha luas ilmuNya, Yang Maha
adil lagi Maha bijaksana. Wahyu ini ditujukan untuk manusia-manusia yang
berakal dan akallah tempat tugas-tugas keagamaan dariNya diberikan. Jadi tak
mungkin wahyu bertentangan dengan akal yang bersih dan sehat. Kalau
seakan-akan terjadi secara dzohir ada pertentangan di antara kedunya, maka
kemungkinan yang paling meyakinkan adalah akal yang kurang bersih atau kurang
tepat dalam memahaminya.
Dan
Kami mengutus rosul-rosul hanya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil
agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap
ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai
olok-olokan. (QS. Al Kahfi [18]:56)
6.
Beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh melalui Al
Qur`an dan As Sunnah dan tidak mempercayai khabar gaib apapun dari selain
keduanya.
Sesuatu
yang goib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia.
Hanya Alloh Swt Yang Maha luas ilmuNya yang mengetahui yang goib dan tak ada
satu makhlukpun yang mengetahuinya kecuali yang diberitahu atau diajarkan
oleh Alloh Swt sendiri, seperti para Nabi dan rosul. Siapapun yang mengaku mengetahui
yang goib atau menganalisa dan melahirkan teori-teori tentang yang goib, maka
orang itu pendusta dan telah melakukan kesyirikan yang amat besar.
Alloh
Swt berfirman:
Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku,
dan tidak (pula) Aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) Aku mengatakan
kepada kalian bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta
dengan yang melihat?" Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)?"
(Qs. Al An`am [6]:50)
Dan pada sisi Alloh-lah
kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz)" (Qs. Al An`am [6] : 59
)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar