1.
Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya “Iqtidlous
Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim” Hal: 295 tentang Maulid Nabawy:
“Tidak pernah dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk
diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga
seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as
salaf (ulama’ terdahulu) –semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam
melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai
Rosulullah dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam
mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan
kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan
menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan
ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan
lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu dari kalangan kaum
muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan”. Dan silahkan
baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al Misriyah” 1/312.
- Pernyataan AL Allamah AL
Imam As Syeikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih
dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala
Amali Al Maulid”
- Beberapa ulama’ berpegangan
dengan pernyataan Al fakihany dalam bukunya ini, diantaranya:
1.
Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor
As Syikh Kholil AL Maliky” 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau
menyatakan: “Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al
fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
- Dan diantara mereka Abu
Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu Al Aly Al Malik Fi Al
Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik” 1/171 ketika ditanya tentang seorang
lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang
hamil, lalu orang itu berkata “ Kalau Allah menyembuhkan sapiku, maka
wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara
maulid Rosulullah , dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan
melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak
sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi
tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban
apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan :
“Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina
Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan
maulid Rosulillah tidaklah disunnahkan”.
4.
Ungkapkan pengarang kitab “al mi’yar al maqhrib”
dalam nukilannya terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib “Ustaz abu
‘abdillah al hiar” terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya
tentang seseorang yang mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian
orang tersebut meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?,
berdasarkan apa yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam
tersebut adalah Bid’ah, mewakafkanan pohon tersebut adalah satu sebab masih
berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk
melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut dalam agama,
kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di zamannya dilakukan dengan
tatacara kaum fakir(),
sebagai mana dalam ungkapan beliau: “cara-cara mereka pada saat ini telah
mencemari agama, karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya
menyanyi dan bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum
muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk
dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah, sedangkan
kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara mereka banyak yang
tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan kepadanya dalam sehari-hari,
sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan untuk menyesatkan orang awam kaum
muslimin, dengan menghiasi kebatilan kepada mereka, mereka telah memasukan
kedalam agama Allah sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi
dan bersorak-sorai adalah termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka
menganggap hal yang demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu
kebohongan dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka
untuk memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka
adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang, maka apa
yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak menurut cara
yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi orang yang berwakaf
tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang dianjurkan dalam syari’at,
kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah ia ambil untuk dirinya sendiri,
semoga Allah menuntun kita selalu untuk mengikut sunnah nabiNya Muhammad ,
dan mengikuti para salaf sholih karena keselamatan terdapat dalam langkah
mereka”.
- Ungkapan Syehk Abdul
Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syehk Islam Muhammad bin
Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang dilakukan oleh Syehk
Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada kebenaran, inilah ungkapan
beliau tersebut: “sang imam Muhammad bin Abdul Wahab melarang kebiasaan
orang-orang di negri tersebut dan daerah lainnya dari membesarkan hari
maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya, yang tidak ada dalil yang
memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak pula keterangan dan hujah
syar’iyah, karena hal yang demikian adalah menyerupai umat nasroni
(kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik secara waktu maupun
tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at penghulu segala
rasul (agama Islam), di kutib dari “kumpulan risalah dan masalah para
ulama nejed” hal: (4 / 440).
- Jawaban Syehk Abdur
rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang dikemukakan kepada
beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan berkorban, yang mereka
sebut “nafilah”, dan apa yang dilakuakn pada tanggal 27 rajab
mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut, kemudian
amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut haram
dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi pemerintah
dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam terhadap hal
tersebut?, beliau menjawab: “semua hal tersebut adalah Bid’ah, sebagaimana
yang terdapat dalam sabda Nabi , bahwa beliau berkata:
(( مَنْ أَحْدَثَ في أمْرِنا
هذا ما ليس منه فهو ردّ ))
“Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami
ini (agama ini), sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut
adalah ditolak”.
Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan:
(( وإيّاكُمْ ومحدثاتِ الأمور فإنّ كلَّ محدثةٍ بدعةٌ وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ))
“Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru
dalam agama ini, sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah,
dan setiap Bid’ah itu adalah sesat”.
Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau
larangan serta mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas
(pelaksanaan maulid), tidak pernah disuruh oleh rasulullah saw, dan tidak
pernah dilakukan oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah
disebutkan dalam hadist yang shohih:
(( مَنْ عَمِلَ
عملاً ليس عليه أمْرُنا فهو ردٌّ ))
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang
tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak”.
Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung
diatas tidak ada contoh dari rasulullah saw, makanya ditolak dan wajib
diingkari, karena ia termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.
Sebagaiman firman Allah swt:
أمْ لَهُمْ شُرَكاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ
مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ الله
“apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang
membuat syari’at agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah” (Asy
syuura: 12). Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan
orang-orang bodoh tampa
petunjuk dari Allah, hanya Allah swt yang lebih mengetahui”.
(dinukil dari kumpulan risalah dan masalah para ulama
nejed bagian II. Hal: ( 4 / 357-358 ).
- Jawaban Syehk Muhammad
bin Abdul latif ketika beliau di tanya tentang hukum mengeluarkan
harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab “perbuatan maulid adalah perbuatan
bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan harta untuk perbuatan tersebut
adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang yang melakukannya adalah berdosa,
maka wajib dicegah orang yang melakukannya. (dinukil dari “ad-durar
as-sunniyah” Hal: ( 7 / 285 ).
- Jawaban Imam Asysyatiby
ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab “adapun yang pertama yaitu
mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang
banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap
bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh,
dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk
membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli
waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum
fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini. (dikutib
dari fatwa Asy syatiby, no: ( 203, 204 ).
- Ungkapkan syehk Muhammad
Abdussalam khadhar al qusyairy dalam kitabnya “as sunan wal
mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat” Hal: 138-139.
Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan bid’ah melakukan maulid
pada waktu itu. “tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul awal) dengan
berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim
ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan
kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi
Muhammad saw, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak
bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan
maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara’
dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan
lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat
yang lainnya, dan para tabi’iin serata para ulama yang hidup setelah
mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok
sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian
diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan
Allah serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
- Perkataan Ibnul hajj
dalam kitab “Al madkhal” Hal: ( 2 / 11, 12 ) setelah ia menyinggung
kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang dizamanya dalam
melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang ditimbulkan akibat
pelaksanaan tersebut, “sekalipun tidak terdapat dalam pelaksanaan maulid
tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan bersama saja dengan maksud
melaksanaka maulid, bersamaan dengan itu mengajak teman-teman, maka hal
tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun hanya sebatas niat saja, karena
hal tersebut adalah menambah-nambah dalam urusan agama yang tidak pernah
dilakukan oleh para ulama salaf yang silam, mengikuti salaf adalah lebih
utama dan wajib dari pada menambah niat yang melanggar terhadap apa yang
mereka lakukan, mereka adalah manusia yang sangat bersungguh-sungguh dalam
mengikuti sunnah Rasulullah saw, dan lebih cinta kepadanya dan kepada
sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah mereka orang yang pertama
sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang
melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah mengetahui bahwa
mengikut mereka dalam segala sumber dan keputusan.
Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al makky dalam
sebuah karangannya “sungguh telah disebutkan dalam hadist:
“tidak akan terjadi hari qiamat sampai yang ma’ruf di
anggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma’ruf”.
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah saw
sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada
berikut ini: mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah
ketaatan, barang siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah
lalai dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.“
Ibnul Hajj menambahkan lagi “sebagian penyair telah
menceritakan keadaan zaman kita ini dalam syair mereka:
Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka,
Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang
mungkar,
Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan
Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan
masing-masing,
Anak ku sebagian orang telah menyerupai binatang,
Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan
melihat,
Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa
hartanya,
Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa,
Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia,
Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.
Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, Hal:
25. berbagai macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga
sebagian mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran
yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih
buhkary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist merupakan
ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk yang
digambarkan syara’ (agama)”.
- perkataan Ibnul Qoyyim
dalam kitabnya “I’lamu al muwaaqi’in” Hal: ( 2 / 390-391 ). “jika
ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa Rasulullah tidak
melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti perbuatan tersebut
tidak ada”.
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut
tidak mengetahui petunjuk dan sunnah Rasulullah saw serta apa yang beliau
sampaikan, kalau pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang
berpendapat dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama,
dan datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang
sama juga, dan seterusnya ….maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang
yang melakukan bid’ah akan berkata: dimana anda mengetahui bahwa hal ini tidak
dilakukan Rasulullah…”.
- Jawaban Al hafizh Abu
zur’ah al ‘iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulit
apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?,
atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia
menjawab: “memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu,
apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia
ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama
yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi
makan orang yang kelaparan”. Lihat “tasyniiful Azan” hal: 136.
- Fatwa Abu fahdal Ibnu
Hajar al ‘asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As
suyuthy dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid” di
situ Ia katakan: “asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari
generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. Lihat
“Al hawy lil fatawa” hal: (1 / 196).
- Fatwa Syehk Zhohiruddin
Ja’far al tizmanty tentang hukum maulid: “melakukan maulid tidak
pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari salafus sholih,
sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati dan mencintai
nabi saw, yang mana kecintaan dan penghormatan salah seorang diantara
mereka terhadap nabi saw, tidak terjangkau oleh kita sekarang ini, walau
hanya secuil”. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At thobaahk dan Al
tizmanty oleh pengarang kitab “Subulul huda war rosyad Fi sirah khairil
‘ibad” hal: (1 / 441-442).
- Di antara dalil bahwa
salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi saw. Yaitu
perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam menentukan hari
lahirnya nabi saw. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu abdillah al
hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab “Al
mi’yaar” hal: (7 / 100). Yang berbunyi “Dalil yang menunjukkan bahwa
orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama ) tidak pernah membedakan
antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan mereka
dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan Ramadhan
dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul awal, kemudian
mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat pendapat,
kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari lahirnya nabi
Muhammad saw, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur dan tidak akan
terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut”.
- Ditambah lagi di balik itu
semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad saw adalah bertepatan dengan hari
kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama dari bersedih pada hari itu,
sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian ulama diantara mereka Ibnul
Hajj dan Al Fakihaany.
Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal”
hal: (2/ 15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: “yang sangat mengherankan
kenapa mereka bergembiraria untuk kelahiran nabi saw! sedangkan kematiannya
bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar,
yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya
menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena
Rasulullah saw bersabda: “hendaklah kaum muslimn itu teguh dalam segala
musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku”.
Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa
musibah yang sebenarnya adalah kematian beliau, menjadi hilang segala musibah
yang menimpa seseorang dalam kondisi apa pun, tampa meninggalkan kesedihan.
Sangat indah kata-kata sajak yang
dituturkan oleh Hassaan (حسان) dalam kematian Rasulullah: “Hitam kelam pandanganku
Hitam atas kepergian mu
Ku relakan kematian selain mu
Kecemasanku hanya atas kepergian mu”.
Kalau kita perhatikan apa yang
dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut (Rab’iul awal) jusru mereka
bergebiraria dan berjoget-joget, bukanya menangis dan bersedih kalau ini yang
mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya terhapus dosa-dosa
mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi Muhammad saw, akan
menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya. Sedangkan kalau
seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan bid’ah, sekalipun
bersedih atas kepergian nabi saw wajib bagi setiap muslim, tetapi bukanlah
dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun meneteskan
air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih hati
saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan
kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan,
gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat
jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahawat dan
kesenangannya.
Jika ada yang berpendapat: saya
melakukan malid karena merasa bahagia dan gembira atas kelahiran nabi Muhammmad
saw, kemudian pada hari yang lain saya khususkan untuk upacara kesedihan atas
kematiannya.
Jawabannya adalah: telah kita sebutkan
di atas seseorang yang mengadakan jamuan makan saja dengan niat maulid dan
mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap bid’ah, yaitu suatu pebuatan
yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka bagaimana lagi dengan orang
yang mengumpulkan berbagai macam bid’ah dalam sekaligus, terlebih lagi yang
melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali yang lain untuk
bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid’ah, dan semakin banyak ia
mendapat celaan dalam agama. Wallahu a’lam”.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya
“Al maurid fi ‘amalil maulid”: “sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad saw,
bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari
pada bersedih pada bulan tersebut”.
Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi
kita bahwa salafus sholeh tidak pernah melakuakan maulid nabi, tetapi mereka
meninggalkannya, tidak mungkin mereka meninggalkannya kecuali karena hal
tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya().
Karena itu dinilai suatu perbuatan
terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa yang telah berusaha melarang
bid’ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang yang melakukannya.
Sebagaimana dalam kitab “tarikh Al Islam”, hal: (4 / 181). “Al Afdhal –semoga
Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam memperbaiki keadaan
kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid nabi saw, upacara
maulid fathimah, upacara maulud Ali, dan upacara maulid khalifah Al qoim
biamrillah”.
Sebagaimana yang disebutkan oleh
pengarang -asy syaukany- dalam kitab ini hal: (50). Ketika ia memuji
khalifah Al mahdy lidinillah bin ‘Abbas Al mashur, dan menganjurkan
khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.
Barang siapa yang dijadikan Allah
sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendak jangan sampai melaksanakan bid’ah
yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah arab, yang telah bangkit para
penegak kebenaran –yang diberi taufik oleh Allah swt- untuk memberantas
berbagai bentuk kesyirikan dan bid’ah yang tersebar di sana yang telah berlangsung
lebih dari dua abat setengah.
Bilamana pemberantasan bid’ah dinilai
sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja, sebaliknya membiarkan bid’ah
tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya dinilai sebagai kejelekkan
yang dimiliki penguasa.
Semoga Alla memberi taufik dan
kebaikan kepada kita semua terhadap segala hal yang Ia cintai dan diredhaiNya,
salam sejahtera buat nabi kita Muhammad saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar