Pengantar:Pagi ini, pada harian REPUBLIKA edisi Jum’at 01 Juli 2011, khususnya di rubrik Suarapublika ada sebuah surat pembaca yang ditulis oleh Hari Tanjung (Tanjung Barat, Jakarta Selatan). Intinya, penulis surat pembaca memohon penjelasan Kyai Haji Imam Ghazali tentang pernyataannya di hadapan pejabat Australia.

Sebagaimana diberitakan media massa, pada 3 Juni 2011, Diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia Greg Ralph mengunjungi Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur pimpinan Kyai Haji Imam Ghazali Said. Pada kesempatan itu, Kyai Haji Imam Ghazali Said mengatakan bahwa pondok pesantren yang berafiliasi kepada pesantren Ngruki atau berafiliasi kepada Wahabi di Arab Saudi telah mencetak kader yang radikal. Sedangkan ponpes An-Nur yang dipimpinannya, tidak seperti itu.
Kyai Haji Imam Ghazali Said selain menjabat sebagai Wakil Rais Syuriah PC NU Surabaya dan dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, juga anggota jaringan The Wahid Institute. Ia pendukung Ahmadiyah. Lelaki kelahiran Sampang (Madura), pada 12 Februari 1960 ini pernah mengatakan: “…Ahmadiyah itu kawan saya, ikhwanuna fiddiin…” (Wahid Institute Networks, Senin, 26 Mei 2008 11:19)
Hari Tanjung dari Tanjung Barat juga mempertanyakan sikap Kyai Haji Imam Ghazali Said: “… apakah pantas seornag Muslim menuduh saudaranya di hadapan non-Muslim dengan tuduhan seperti itu, meski dalam rangka membela ponpes yang diipimpinnya?”
Surat pembaca tersebut telah mengingatkan kami akan sebuah tulisan berjudul AWAS KYAI PALSU BENTUKAN AMERIKA sebagaimana pernah dipublikasikan Tabloid SAPUJAGAT Nomor 17 Tahun IV, 10-25 Januari 2004, hal. 5. Selengkapnya kami turunkan di blog ini.
Untuk melengkapi tulisan tersebut, sekaligus untuk memperkaya wawasan pembaca tentang sosok KYAI, kami turunkan tulisan berkenaan dengan kyai, seperti KYAI KOK BERGELIMANG KEMUSYRIKAN, juga tulisan berjudul MACAM-MACAM KYAI. Semoga bermanfaat.(umarabduh and friends)
AWAS KYAI PALSU BENTUKAN AMERIKA

“Konstelasi politik dunia pasca ‘perang dingin’ ternyata suasananya tidak dingin, justru semakin memanas dan memprihatinkan,” ungkap Dr. Hidayat Nur Wahid saat tampil sebagai pembicara dalam seminar Ancaman Neo Kolonialisme Terhadap NKRI di Hotel Kartika Candra Jakarta (5/1). Konvensi-konvensi internasional, regulasi dan penegakan hukum yang diperankan PBB tidak bergigi dan dimandulkan. Kekuasaan adidaya tunggal Amerika Serikat pun muncul dan bergerak tanpa tersentuh hukum (above the law).
Peristiwa 11 Setember 2001 seakan menjadi justifikasi bagi Amerika untuk mengukuhkan diri sebagai ‘polisi dunia’. Negara-negara berdaulat, tambah Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, dilanggar kedaulatannya secara semena-mena. Afghanistan dihancurkan, Iraq diacak-acak dan dijajah, Syuriah dan Iran pun diancam. Bahkan menurut sumber penting petinggi Amerika, ekspedisi militer ala Amerika ini akan berlangsung lama dan mencakup 60 negara dengan slogan “war against terrorism” (perang terhadap terorisme). “Dunia pun kini dibagi-bagi dalam dua kubu, with them (terroris, Red) or with us (Amerika, Red). Siapa yang menjamin Indonesia tidak akan masuk sasaran bidik,” tegas Hidayat Nur Wahid.

Masih menurut Hidayat Nur Wahid, kebijakan politik iuar negeri (LN) Amerika yang dinilai banyak kalangan amat ekstrem ini tak lepas dari para perancang politik di sekitar Presiden George W. Bush. Para perancang kebijakan yang lazim disebut neo conservative (neo-cons) terlibat aktif dalam formulasi politik LN Amerika dan bekerja keras untuk menceburkan Amerika dalam one world government (satu pemerintahan dunia).

Dick Cheney
“Wapres Dick Cheney yang merupakan pentolan neo-cons pun sukses mengimplementasikan cetak biru yang telah dirancang sejak Juni 1997 dengan Projects for New American Century (PNAC),” kata Hidayat Nur Wahid. Pada September 2000 PNAC berhasil menelurkan rujukan politik LN Amerika, yang dikenal dengan Rebuilding America’s Defenses (RAD). Strategi pertahanan ini kental dengan doktrin pre-emptive war (serangan mendahului/serang dulu urusan belakangan, Red) dan upaya pengembangan senjata nuklir baru.
Guna menjamin kesuksesan RAD, Amerika dalam rancangan pertahanan baru itu diminta untuk mengembangkan nuklir generasi baru, memulai program pertahanan missile dan keluar dari Anti Ballistic Missile Treaty. Amerika juga menambah anggaran belanja militer, serta menempatkan pasukan secara besar-besaran di 140 negara dengan 40 negara sebagai basis permanen.
“Hebatnya visi membangun imperium baru Amerika ini bukan hanya di atas kertas, namun betul-betul diwujudkan setelah mendapat momentum yang tepat pasca 11 September,” kata Nur Wahid. Sebagai bukti realisasi visi tersebut, Senate Amerika menyetujui permintaan Presiden Bush untuk mencabut larangan riset, pengembangan dan produksi senjata nuklir (5 kiloton), padahal 10 tahun belakangan semua itu dilarang. Menurut analis anggaran pertahanan Bill Donahue, lanjut Hidayat Nur Wahid, Amerika pada tahun 2003 telah menghabiskan dana 5,8 milyar dollar untuk laboratorium nuklir. Bahkan, Los Alamos National Laboratories telah diperintahkan memulai pengembangan senjata nuklir mini jauh sebelum meminta izin kepada Kongres.
Fakta-fakta tersebut, menurut Capres favorit versi SMS ini, menunjukkan Amerika secara serius tengah mempraktekkan neo kolonialisme secara sistematis. Ambisi membentuk imperium baru ini ditunjang pula dengan globalisasi yang merupakan jurus lain dalam melakukan kolonialisme. Ini secara jelas dinyatakan oleh mantan Menlu Amerika Henry Kissinger yang mengatakan globalisasi adalah nama lain dari dominasi Amerika Serikat. Demikian pula diungkap Thomas Friedman dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree mengatakan globalisasi telah mengarah pada proses penyebaran Amerikanisasi. Pula dikatakan oleh Joseph Stiglitz, pemenang Nobel bidang ekonomi 2001. Ia mengemukakan bahwa Amerika memang berniat menguasai dunia dengan menjadikan IMF, Bank Dunia dan WTO sebagai kuda tunggangan.
“Indonesia telah masuk era ini. Akibatnya muncul ketergantungan terhadap hutang luar negeri, dominannya budaya hedonistik, materialistik dan permisif yang sama sekali bertentangan dengan moral dan etos orang Timur. Kedaulatan ekonomi dan moral bangsa pun tergadaikan akibat dampak buruk globalisasi,” tegas Dr. Hidayat Nur Wahid.
Ulama Palsu

Dari fakta-fakta yang dibeberkan, ada kenyataan menarik yang diungkapkan Dr. Hidayat Nur Wahid. Ia mewanti-wanti agar mewaspadai ulama-ulama atau kyai-kyai palsu bentukan Amerika. Memang dalam rangka meredam aksi-aksi dan sentimen negatif Amerika di Indonesia, negeri Paman Sam ini banyak menguras koceknya untuk membeli ulama, menciptakan ulama palsu. Hal ini terungkap dari buku The CIA at War yang menguak program membeli ulama dan pemimpin Islam dalam menghadapi sentimen-sentimen anti Amerika di dunia Islam dan Arab. Dalam wawancara pengarang buku tersebut dengan George Tenet (Direktur CIA), ditegaskan bahwa Amerika menemukan ruang untuk melawan gelombang anti Amerika dengan cara menyuap para ulama atau kyai, menciptakan kyai palsu dan merekrut tokoh-tokoh agama Islam sebagai agen.

George Tenet
Amerika juga melakukan politik stick and carrot terhadap pesantren-pesantren. Pada 18-28 September 2002 lalu, Institute for Training and Development (ITD) sebuah lembaga Amerika mengundang 13 pesantren ‘pilihan’ (Dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) untuk berkunjung ke Amerika. Masing-masing juga mendapat bantuan USD 2000.
Amerika dan Australia juga membantu USD 250 juta dengan dalih mengembangkan pendidikan Indonesia. Padahal menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir ‘madrasah-madrasah’ yang menghasilkan terorisme dan ulama yang membenci Barat.
“Memang ada sebagian pemimpin pesantren yang menganggap bahwa semua bantuan tersebut layak diterima asal kita tidak terpengaruh dengan kepentingan-kepentingan Amerika. Tapi yang saya lihat di kita masih ada budaya ewuh pakewuh dan sungkan. Jadi sulit bila kita menerima bantuan tanpa memberi imbalan balik sesuai kepentingan pemberi,” tandas Nur Wahid.
Maka pada 2003 lalu, 1000 ulama dan kyai berkumpul di Jakarta untuk menolak program bantuan tersebut, apalagi yang mensyaratkan perubahan kurikulum pesantren. “Semua sepakat untuk mewaspadai ulama atau kyai-kyai yang merupakan boneka-boneka Amerika untuk melemahkan tradisi pendidikan Islam dan nilai-nilai moral bangsa,” kata Hidayat Nur Wahid.

Alex Manuputty
Apalagi, secara jelas Amerika telah ikut campur tangan dalam berbagai persoalan dalam negeri Indonesia. Sebagai contoh, desakan kepada TNI untuk menghentikan operasi militer dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka yang separatis. Begitu pula dalam kasus Organisasi Papua Meredeka. AS tampak getol mendesak Indonesia untuk menggelar referendum untuk rakyat Papua seperti modus di Timor Timur. Yang terakhir adalah kasus kaburnya Alex Manuputy (terpidana 4 tahun penjara karena terbukti makar) ke Amerika. Kejanggalan dalam proses kaburnya pentolan Republik Maluku Selatan (RMS) ini, menguatkan indikasi adanya keterlibatan pihak Amerika.
“Menghadapi semua ini, integritas nasional merupakan harga final yang tak dapat ditawar. Harus dipertahankan berapa pun harga yang harus dibayar,” tegas Hidayat Nur Wahid. Ia pun menyerukan agar umat Islam menyatukan barisan, memperkokoh ketahanan nasional dan menyusun strategi jitu sebelum semuanya terlambat. • (arh)
Sumber:
Tabloid SAPUJAGAT Nomor 17 Tahun IV, 10-25 Januari 2004, hal. 5