Fariz Salman Alfarisi: Penjelasan Asy-Syaikh 'Abdul-Qadiir Al-Jaelaniy rahimahullah tentang Ciri-Ciri 'Aqidah Jahmiyyah

Laman

16/02/12

Penjelasan Asy-Syaikh 'Abdul-Qadiir Al-Jaelaniy rahimahullah tentang Ciri-Ciri 'Aqidah Jahmiyyah




Prolog : Dalam artikel ini, insya Allah akan dibahas secara ringkas ‘aqidah Jahmiyyah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah. Sebagaimana diketahui bersama, beliau ini seorang ulama yang banyak diikuti dan diagung-agungkan oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Sayangnya, banyak di antara mereka yang menukil perkataan-perkataan dusta yang kemudian dinisbatkan kepada beliau, padahal beliau berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Di sini akan kita lihat, bagaimana ciri-ciri kelompok sesat Jahmiyyah sebagaimana dikatakan oleh beliau (yang justru ada pada sebagian mereka yang mengagung-agungkan beliau).
Saya berikan penjelasan seperlunya pada catatan kaki dengan harapan akan menambah faedah bagi ikhwan Pembaca semua. Jika ada kekeliruan, mohon kiranya diberikan kritikan konstruktif yang insya Allah - jika memang itu benar – akan segera saya tindaklanjuti (untuk perbaikannya).

Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah (wafat 561 H) berkata dalam kitab Al-Ghun-yah li-Thaalibiy Thariiqil-Haqq (1/128; Daar Ihyaa At-Turaats, Cet. 1/1416) :

“Pasal : Adapun Jahmiyyah, maka ia dinisbatkan pada Jahm bin Shafwaan dimana ia berkata :
1. Iman adalah hanyalah ma’rifah kepada Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh apa yang datang di sisinya[1];
       2. Al-Qur’an adalah makhluq[2];
       3. Allah tidak pernah berbicara kepada Musa (secara langsung)[3];
       4. Allah ta’ala tidak pernah berfirman (= menafikkan sifat kalaam – Abu Al-Jauzaa’)[4];
       5.    Allah tidak bisa dilihat[5];
       6. Allah tidak diketahui mempunyai tempat tertentu[6];
       7. Allah tidak mempunyai ‘Arsy dan Kursiy, dan Ia tidak berada di atas ‘Arsy[7];
       8. Mengingkari adanya mawaaziin (timbangan-timbangan) amal (di akhirat)[8];
       9. Mengingkari adzab qubur[9];
10.   Surga dan neraka telah diciptakan yang memiliki sifat fana (tidak kekal)[10];
11.    Allah ‘azza wa jalla tidak akan berbicara kepada makhluk-Nya[11] dan tidak akan melihat mereka di hari kiamat[12];
12.   Penduduk surga tidak akan (bisa) melihat Allah ta’ala dan tidak pula melihat-Nya di surga[13];
13.   Iman itu cukup dengan ma’rifatul-qalb tanpa pengikraran dengan lisan[14]; dan
14.   Mengingkari seluruh sifat-sifat Al-Haqq (Allah) ‘azza wa jallaa[15] [selesai].
Catatan kaki/Penjelasan :


[1] Ini adalah paham khas Jahmiyyah dalam masalah iman yang kemudian dipopulerkan oleh ghullatul-Murji’ah. Mereka tidak memasukkan perkataan dan perbuatan dalam cakupan iman. Oleh karena itu, iman tidak akan hilang (dan bahkan tetap dalam kesempurnannya) walau dikotori oleh kekufuran dalam perkataan dan amal perbuatan. Mereka tidak mengenal bertambah dan/atau berkurangnya iman.
Ahlus-Sunnah telah berijma’ bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan; bisa naik dengan ketaatan, dan turun (bahkan hilang sama sekali) dengan kemaksiatan.
عن عبد الرزاق، قال : سمعتُ معمراً وسفيان الثوري ومالك بن أنس وابن چريج وسفيان بن عيينة يقولون : الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص.
Dari ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Aku mendengar Ma’mar, Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, Ibnu Juraij, dan Sufyaan bin ‘Uyainah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 1/272, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad An-Nashr; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 – dengan sanad shahih].
عن الربيع بن سليمان قال : سمعتُ الشافعي رضي الله عنه يقول : الإيمان قول وعمل، ويزيد وينقص.
Dari Ar-Rabii’ bin Sulaimaan ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Manaaqibusy-Syaafi’iy, 1/385, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr; Maktabah Daar At-Turaats].
عن أبي داود، قال : سمعتُ أحمد بن حنبل يقول : الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص.
Dari Abu Daawud, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 1/272; shahih].
Al-Imaam Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
اتفقت الصحابة والتابعين، فمن بعدهم من علماء السنة على أن الأعمال من الإيمان، لقوله سبحانه وتعالى : (إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ.....) إلى قوله (وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ) [الأنفال : ٢،٣]، فجعل الأعمال كلها إيماناً، وكما نطقَ به حديث أبي هريرة.
وقالوا : إن الإيمان قولٌ وعملٌ وعقيدةٌ، يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية.......
“Para shahabat, tabi’in, dan para ulama Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa perbuatan termasuk bagian dari iman, berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3). Allah telah menjadikan seluruh perbuatan sebagai iman, sebagaimana juga dijelaskan oleh hadits Abu Hurairah.
Dan mereka pun berkata : ‘Sesungguhnya iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan ‘aqidah. Bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan….” [Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy, 1/38-39, tahqiq & takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth & Zuhair Syaawisy; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403].
Al-Imaam Muhammad bin Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata :
اعلموا رحمنا الله وإياكم : أن الذي عليه علماء المسلمين : أن الإيمان واجب على جميع الخلق، وهو تصديق بالقلب، وإقرار باللسان، وعمل بالجوارح.
ثم اعلموا : أنه لا تجزيء المعرفة بالقلب والتصديق، إلا أن يكون معه الإيمان باللسان نطقاًَ، ولا تجزيء معرفة بالقلب، ونطق باللسان، حتى يكون عمل بالجوارح، فإذا كملت فيه هذه الثلاث الخصال : كان مؤمناً.
دلّ على ذلك القرآن والسنة وقول علماء المسلمين.
“Ketahuilah – semoga Allah merahmati kami dan juga kalian – bahwasannya apa yang diyakini oleh ulama kaum muslimin adalah : Iman adalah wajib bagi seluruh makhluk, dan ia adalah tashdiiq dengan hati, iqraar dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan. Apabila lengkap tiga hal ini, maka ia seorang mukmin.
Kemudian ketahuilah bahwasannya tidaklah mencukupi (dalam iman) ma’rifah dengan hati dan tashdiiq (membenarkan), kecuali disertai ucapan dengan lisan. Dan tidaklah mencukupi ma’rifah dengan hati dan ucapan dengan lisan kecuali diwujudkan dalam perbuatan anggota badan” [Asy-Syarii’ah, 1/274].
Adapun dalil yang diisyaratkan oleh para ulama di atas tentang iman terdiri dari perkataan dan perbuatan serta bisa bertambah dan berkurang; antara lain :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [QS. Al-Fat-h : 4].
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung" [QS. Aali ‘Imraan : 173].
عن عبدالله بن عمر، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال : "..... وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي لب منكن" قالت: يا رسول الله! وما نقصان العقل والدين؟ قال "أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل. فهذا نقصان العقل. وتمكث الليالي ما تصلي. وتفطر في رمضان. فهذا نقصان الدين".
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “….Dan aku tidak melihat ada yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan seseorang yang mempunyai keteguhan akal daripada kalian (para wanita)”. Mereka (para wanita) berkata : “Wahai Rasulullah, apa kekurangan akal dan agama itu ?”. Beliau menjawab : “Adapun kekurangan akal, persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah maksud kekurangan akal. Kalian berhenti selama beberapa malam (hari) tidak melakukan shalat dan berbuka di bulan Ramadlan. Inilah maksud kekurangan agama” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 79 – dan beliau memasukkannya dalam Baab : Bayaani Nuqshaanil-Iimaan bi-Naqshith-Thaa’aat…].
عن أبي هريرة؛ قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "الإيمان بضع وستون شعبة. فأفضلها قول لا إله إلا الله. وأدناها إماطة الأذى عن الطريق. والحياء شعبة من الإيمان".
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaha illallaah (= tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Rasa malu termasuk bagian dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35, Ahmad 2/414, Abu Dawud no. 4676, Ibnu Maajah no. 147, Ibnu Hibbaan no. 166, Al-Baghawiy no. 17, dan yang lainnya].
[2]   Ini adalah ‘aqidah sesat, yang kemudian lebih dipopulerkan oleh Mu’tazillah, yang merupakan derivate firqah Jahmiyyah. Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” [QS. At-Taubah : 6].
Kalimat ‘supaya ia sempat mendengar kalaamullah’ maksudnya adalah Al-Qur’an.
عن جابر بن عبد اللّه قال : قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ..... فإِن قريشاً قد منعوني أن أبلغ كلام ربي".
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “….Sesungguhnya kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. no. 4734, At-Tirmidziy no. 2925, Ibnu Majah no. 197, Ad-Daarimi no. 3354, Ahmad no. 15229, dan Al-Haakim no. 4220; shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 1947].
Maksud dari perkataan ‘kalaam Rabb-ku’ adalah Al-Qur’an.
Mari kita simak debat menarik dari Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy :
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ، قال : أخبرني أبو عبد الله محمد بن إبراهيم المؤذن، عن عبد الواحد بن محمد الأرغياني، عن أبي محمد الزبيري، قال : قال رجل للشافعي : أخبرني عن القرآن، خالق هو ؟. قال الشافعي : اللهم لا. قال : فمخلوق ؟. قال الشافعي : اللهم لا. قال : فغير مخلوق ؟. قال الشافعي : اللهم نعم. قال : فما الدليل على أنه غير مخلوق ؟. فرفع الشافعي رأسه وقال : تقرّ بإن القرآن كلام الله ؟. قال : نعم. قال الشافعي : سبقْت في هذه الكلمة؛ قال الله تعالى ذكره : (وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ) وقال : (وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا). قال الشافعي : فَتُقِرُّ بأن الله كان وكان كلامه ؟ أو كان الله ولم يكن كلامه ؟. فقال الرجل : بل كان الله، وكان كلامه. قال : فتبسَّم الشافعي وقال : يا كوفيون، إنكم لتأتوني بعظيم من القول، إذا كنتم تقرون بأن الله كان قبل القَبْل، وكان كلامه، فمن أين لكم الكلام : إن الكلام الله، أو سوى الله، أو غير الله، أو دون الله ؟. قال : فسكت الرجل وخرج.
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibraahiim Al-Muadzdzin, dari ‘Abdul-Waahid bin Muhammad Al-Arghiyaaniy, dari Abu Muhammad Az-Zubairiy, ia berkata : Berkata seorang laki-laki kepada Asy-Syaafi’iy : “Beritahukan kepadaku tentang Al-Qur’an, apakah ia Khaaliq (Allah) ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Allaahumma, bukan !”. Laki-laki itu berkata : “Kalau begitu, ia makhluk ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Allaahumma, bukan !”. Laki-laki itu berkata : “Bukan makhluk (maksudmu) ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Allaahumma, benar !”. Laki-laki itu berkata : “Apa dalil yang melandasinya bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk ?”. Asy-Syaafi’iy pun mengangkat kepalanya lalu berkata : “Apakah engkau mengakui bahwa Al-Qur’an itu Kalaamullah ?”. Laki-laki itu berkata : “Ya”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Engkau telah mendahului dalam kalimat ini (maksudnya, laki-laki itu telah mengetahui jawabannya – Abul-Jauzaa). Allah ta’ala telah berfirman : ‘Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah)’ – QS. At-Taubah : 6 – dan juga : ‘Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung’ – QS. An-Nisaa’ : 164”. Asy-Syaafi’iy melanjutkan : “Apakah engkau mengakui bahwa Allah itu telah ada dan begitu juga kalam-Nya; ataukah Allah itu telah ada namun tidak demikian halnya dengan kalam-Nya ?”. Laki-laki itu berkata : “Allah itu telah ada dan begitu juga kalam-Nya”. Asy-Syaafi’iy pun tersenyum dan berkata : “Wahai orang-orang Kufah, sungguh kalian telah mendatangiku dengan satu perkataan yang besar. Jika kalian mengakui bahwasannya Allah itu telah ada sebelum segala sesuatu ada, begitu juga dengan kalaam-Nya; lantas dari mana asalnya perkataan kalian : Kalaam itu adalah Allah, atau kalaam itu selain dari Allah (= makhluk) ?”. Maka laki-laki itu terdiam dan lantas pergi” [Manaaqibusy-Syaafi’iy oleh Al-Baihaqiy, 1/407-408, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr; Maktabah Daar At-Turaats].
Maksud perkataan Asy-Syaafi’iy adalah jika saja orang tersebut mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah Kalaamullah yang termasuk bagian dari sifat-sifat-Nya, dan bahwa tidak ada permulaan baginya sebagaimana tidak ada permulaan bagi Allah sebagai pemilik sifat, maka tidak boleh dikatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
عن معاوية بن عمار، قال : سئل جعفر بن محمد - رضي الله عنهما - عن القرآن : أخالق أو مخلوق ؟ قال : ليس خالق ولا مخلوق، ولكنه كلام الله تعالى.
Dari Mu’aawiyyah bin ‘Ammaar, ia berkata : Ja’far bin Muhammad radliyallaahu ‘anhumaa pernah ditanya tentang Al-Qur’an : Apakah ia termasuk Khaaliq (= Allah) ataukah makhluk. Ia pun menjawab : “Bukan Khaaliq, bukan pula makhluk. Akan tetapi ia (Al-Qur’an) adalah Kalaamullah ta’ala” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/217, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 132 & 134, Abu Nu’aim 3/188, dan yang lainnya; hasan lighairihi].
Para ulama Ahlus-Sunnah dengan tegas menolak paham Jahmiyyah ini, bahkan mengkafirkan siapa saja yang mengatakan/berpendapat Al-Qur’an itu makhluk.
عن هارون القزويني يقول : لم أسمع أحدا من أهل العلم بالمدينة وأهل السنن إلا وهم ينكرون على من قال : القرآن مخلوق، ويكفرونه.
Dari Haaruun Al-Qazwiiniy, ia berkata : “Aku tidak pernah mendengar seorang pun ulama di Madinah, begitu pula para ahli hadits, melainkan mereka semua mengingkari orang yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk dan mengkafirkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy 1/219; shahih].
عن غياث بن جعفر قال : سمعتُ سفيان بن عيينة يقول : القرآن كلام الله عزوجل من قال مخلوق فهو كافر ومن شك في كفره فهو كافر
Dari Ghiyaats bin Ja’far ia berkata : Aku mendengar Sufyaan bin ‘Uyainah berkata : ”Al-Qur’an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia juga kafir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 25; hasan].
عن وكيع يقول : من قال القرآن مخلوق فهو كافر.
Dari Wakii’, ia berkata : “Barangsiapa yang berkata Al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/222; shahih].
عن الربيع قال : سمعت الشافعي رحمه الله تعالى يقول : القرآن كلام الله عز وجل غير مخلوق ، ومن قال مخلوق فهو كافر
Dari Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syafi’iy rahimahullah ta’ala berkata : ”Al-Qur’an itu adalah Kalamullah ’azza wa jalla. Bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya ia adalah makhluk, maka ia telah kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 1/224; shahih].
Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahumallah berkata tentang ‘aqidah Al-Imam Asy-Syaafi’iy :
وقد ذكر الشافعي رحمه الله ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونسمعه بآذاننا ونكتبه في مصاحفنا يسمى كلام الله عز وجل وأن الله عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى الله عليه وسلم
“Dan telah disebutkan oleh Asy-Syafi’iy rahimahullah keterangan yang menunjukkannya bahwa apa yang kita baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushhaf-mushhaf kita; semua itu dinamakan Kalamullah ‘azza wa jalla (bukan makhluk – Abul-Jauzaa’). Dan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad oleh Al-Baihaqiy, hal. 108, tahqiq : Ahmad bin ‘Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. Thn. 1401, Beirut].
Adapun suara hamba beserta gerakan-gerakan mereka dengan Al-Qur’an, kertas mushhaf, kulitnya, dan tintanya; maka itu semua makhluk.
Silakan baca juga artikel terkait di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/paham-asyariyyah-adalah-cucu-paham.html. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa ‘aqidah Asyaa’irah/Asy’ariyyah merupakan anak cucu ‘aqidah Jahmiyyah.
[3]    Ini satu pengingkaran yang sangat jelas terhadap firman Allah ta’ala :
وَرُسُلا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” [QS. An-Nisaa’ : 164].
Untuk melegalkan keyakinan mereka, mereka pun merubah firman Allah dengan menashabkan kata Allah (yang seharusnya rafa’), sehingga Allah yang seharusnya berperan sebagai subjek menjadi objek. Ayat tersebut (setelah mereka ubah) berbunyi :
وَرُسُلا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهَ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Musa telah berbicara kepada Allah dengan langsung [QS. An-Nisaa’ : 164].
[perhatikan yang diwarnai merah].
[4]   Penetapan sifat kalam bagi Allah ta’ala merupakan salah satu bagian ‘aqidah Ahlus-Sunnah sangat penting. Penetapan ‘aqidah inilah yang membuat garis pemisah yang sangat kentara antara barisan Ahlus-Sunnah dengan Ahlul-Bid’ah dimana Jahm bin Shafwan berdiri di gerbong paling depan – dalam permasalahan sifat Allah ta’ala.
Banyak dalil yang menunjukkan sifat kalam bagi Allah, diantaranya :
Allah ta’ala berfirman :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat…” [QS. Al-Baqarah : 253].
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الأيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Qashshsash : 30].
عن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله إذا تكلم بالوحي سمع أهل السماء للسماء صلصلة كجر السلسلة على الصفا فيصعقون فلا يزالون كذلك حتى يأتيهم جبريل فإذا جاءهم فزع عن قلوبهم فيقولون يا جبريل ماذا قال ربك فيقول الحق فينادون الحق الحق
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah jika akan berbicara melalui wahyu, para penduduk langit mendengar di langit suara seperti gemerincing rantai yang ditarik di atas batu rata. Merekapun pingsan dan terus menerus dalam keadaan seperti itu hingga Jibriil tiba. Ketika Jibriil mendatangi mereka, hilanglah rasa takut dalam diri mereka lalu berkata : ‘Wahai Jibriil, apa gerangan yang difirmankan oleh Rabb-mu ?’. Jibril menjawab : ‘Al-haq (kebenaran)’. Mereka pun lantas berseru : ‘Al-haq, al-haq” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4738, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat hal. 201, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 145, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 11/392; shahih].
[5]   Silakan lihat penjelasannya pada catatan kaki no. 13.
[6] Ini ‘aqidah baathil Jahmiyyah yang diikuti oleh sebagian Asy’ariyyah !! ‘Aqidah Jahmiyyah ini mengkonsekuensikan bahwa Allah ada dimana-mana/setiap tempat.
Al-Imaam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya :
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah, hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
Bandingkan dengan golongan Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa Allah ta’ala tidak di dalam alam dan tidak pula di luar alam ! (lantas dimanakah Allah ?).
Sebagai seorang muslim ketika muncul pertanyaan dimana Allah, maka dengan tegas harus kita jawab : “Di langit, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya”. Ini sebagai wujud ittiba’ kita terhadap hadits :
عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال : .....وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku kea rah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain].
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-A’raaf : 54].
Catatan kecil :
Hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam di atas telah didla’ifkan oleh Muhammad Zaahid Al-Kautsariy – lokomotif paham Jahmiyyah abad 14 H – . Ia mendla’ifkan karena bertentangan dengan ‘aqidahnya. Oleh karena itu, dibuatlah alasan yang bermacam-macam untuk mendla’ifkannya dari sisi sanad (dan matannya – sehingga ia simpulkan sebagai hadits mudltharib). Namun ia gagal, karena hadits itu memang shahih dan disepakati keshahihannya oleh para imam ahli hadits. Silakan baca bantahan ringkas As-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 82-83.
[7]   ‘Aqidah ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah ta’ala :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-A’raaf : 54].
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” [QS. Al-Mulk : 16-17].
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَلا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [QS. Al-Baqarah : 255 – ayat kursiy].
Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ما السماوات السبع في الكرسي إلا كحلقة بأرض فلاة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti lingkaran yang dilemparkan di padang sahara yang luas. Dan keunggulan ‘Arsy atau Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas lingkaran tersebut” [lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 1/223-227 no. 109].
[8]    Ahlus-Sunnah beriman akan adanya miizaan (timbangan) di hari akhirat, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Allah ta’ala berfirman :
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 8-9].
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi (dzarrah) pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan” [QS. Al-Anbiyaa’ : 47].
عن أبي الدرداء قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (ما من شيء يوضع في الميزان أثقل من حسن الخلق
Dari Abud-Dardaa’, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada sesuatupun yang diletakkan pada miizaan (timbangan) yang lebih berat daripada akhlaq yang baik” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2002-2003, Ath-Thayaalisiy no. 978, ‘Abdurrazzaaq no. 20157, Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 270 & 464, Abu Dawud no. 4799, dan yang lainnya; shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 876].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم: (كلمتان حبيبتان إلى الرحمن، خفيفتان على اللسان، ثقيلتان في الميزان: سبحان الله وبحمده، سبحان الله العظيم).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahmaan (Allah), ringan di lisan namun berat di timbangan yaitu : Subhaanallaahi wa bihamdihi subhaanallaahil-‘adhiim” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6406 & 6682 & 7563 dan Muslim no. 2694, Ahmad 2/232, At-Tirmidziy no. 3463, Ibnu Maajah no. 1264, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1264, dan yang lainnya].
Timbangan (miizaan) tersebut adalah timbangan hakiki yang mempunyai dua daun timbangan. Berbeda halnya dengan Mu’tazillah yang berpendapat bahwa timbangan tersebut adalah kinaayah pada penegakan keadilan. Namun kita tidak mengetahui kaifiyah timbangan karena hal itu termasuk perkara-perkara akhirat. Kebaikan akan diletakkan pada satu daun timbangan, dan kejelekan akan diletakkan di daun timbangan lainnya [lihat Syarh Lum’atil-I’tiqaad li-Ibni Qudaamah oleh Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 209-210].
Umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah umat pertama yang akan diperhitungkan (dihisab) dan ditimbang amal perbuatannya.
عن ابن عباس؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((نحن آخر الأمم، وأول من يحاسب. يقال: أين الأمة الأمية ونبيها؟ فنحن الآخرون الأولون)).
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kita adalah umat yang paling akhir, namun paling awal diperhitungkan (amal perbuatannya (di hari kiamat)”. Dikatakan : “Dimanakah umat-umat lain beserta nabinya ?”. (Beliau menjawab) : “Kita adalah umat yang paling akhir sekaligus paling awal” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4290; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 2374].
Para ulama meenjelaskan bahwa yang akan ditimbang pada hari kiamat adalah amal perbuatan, manusia itu sendiri (shaahibul-‘amal), dan lembaran-lembaran catatan amal [Diambil dari penjelasan Asy-Syaikh Shaalih bin ‘Abdil-‘Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah terhadap kitab Lum’atul-I’tiqaad karya Ibnu Qudaamah rahimahullah yang disampaikan di Masjid Hamzah bin ‘Abdil-Muthallib, Dammam, 1413 H. Lihat juga Ushuulus-Sunnah oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 54, syarh & tahqiq Al-Waliid bin Muhammad An-Nashr; Maktabah Ibn Taimiyyah, Cet. 1/1416].
[9]    Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata saat menjelaskan prinsip-prinsip ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah :
والإيمان بعذاب القبر، وأن هذه الأمة تفتن في قبورها وتُسألُ عن الإيمان والإسلام، ومن ربُّهُ ؟ ومن نبيه؟ ويأتيه منكر ونكير كيف شاء الله عز وجل وكيف أراد، والإيمان به والتصديق به.
“Dan beriman terhadap ‘adzab kubur. Bahwasannya umat ini akan diuji dalam kuburnya dan akan ditanya tentang iman, Islam, siapa Rabb-nya ? dan siapa Nabinya ? Malaikat Munkar dan Nakiir akan mendatanginya sebagaimana yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki dan inginkan. Beriman dan membenarkannya [Ushuulus-Sunnah, hal. 56. Lihat juga Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Ibnu Abi Ya’laa, 1/59, tahqiq Dr. ‘Abdurrahmaan bin Sulaimaan Al-‘Utsaimiin; Universitas Ummul-Qurra’].
Banyak dalil yang menjadi dasar adanya ‘adzab qubur. Diantaranya :
Allah ta’ala berfirman :
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيـمَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta” [QS. Thaahaa : 124].
Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah saat menjelaskan ayat tersebut membawakan riwayat Al-Bazzar :
حدثنا أبو زُرْعَة، حدثنا أبو الوليد، حدثنا حماد بن سلمة، عن محمد بن عمرو، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم: { فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا } قال: "عذاب القبر". إسناد جيد
Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ’Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam tentang ayat ”Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” (QS. Thaha : 124), beliau bersabda : “Yaitu adzab qubur” ; sanad hadits ini jayyid [Tafsir Ibnu Katsiir, 5/324, tahqiq Saamiy bin Muhammad Salamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420].
عن أبي أيوب قال : خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما غربت الشمس. فسمع صوتا. فقال "يهود تعذب في قبورها".
Dari Abu Ayyuub, ia berkata : ”(Satu saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar setelah tenggelam matahari; lalu beliau mendengar suara, lalu bersabda : “(Mereka itu adalah orang-orang) Yahudi yang disiksa di dalam kubur mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2869].
عن أم مبشر قالت دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وانا في حائط من حوائط بني النجار فيه قبور مهم وهم يقول استعيذوا بالله من عذاب القبر فقلت يا رسول الله وللقبر عذاب قال نعم وإنهم ليعذبون في قبورهم تسمعه البهائم
Dari Ummu Mubasysyir, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda : ”Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur”. Aku (Ummu Mubasyir) berkata : “Wahai Rasulullah, apakah kubur itu terdapat adzab ?”. Beliau menjawab : “Ya, mereka diadzab dengan adzab yang dapat didengar oleh binatang-binatang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 3125, Ibnu Abi Syaibah 3/362, Ath-Thabaraaniy 25/268, Al-Baihaqiy dalam Itsbaatu ’Adzzabil-Qabr no. 95, dan yang lainnya; shahih sesuai persyaratan Muslim sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahih Ibni Hibbaan 7/396].
عن أنس رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (العبد إذا وضع في قبره وتولي وذهب أصحابه، حتى إنه ليسمع قرع نعالهم، أتاه ملكان فأقعداه، فيقولان له: ما كنت تقول في هذا الرجل محمد صلى الله عليه وسلم؟ فيقول: أشهد أنه عبد الله ورسوله، فيقال: انظر إلى مقعدك في النار، أبدلك الله به مقعدا من الجنة).
Dari Anas radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda : ”Seorang hamba apabila telah diletakkan dalam kuburnya serta para shahabatnya (yang mengantar) telah berpaling dan pergi, maka ia benar-benar mendengar suara sandal-sandal mereka. Lalu, datanglah dua malaikat yang mendudukinya. Dua malaikat itu bertanya : ’Apa yang dulu engkau katakan tentang laki-laki ini, yaitu Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam ?’. Ia menjawab : ’Aku bersaksi bahwasannya ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya’. Maka dikatakan padanya : ’Lihatlah tempat dudukmu di neraka. Allah telah menggantikannya untukmu tempat duduk di surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1338 dan Muslim no. 2870].
عن البراء بن عازب، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال "{يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت} [14 /إبراهيم /27]" قال "نزلت في عذاب القبر. فيقال له: من ربك؟ فيقول: ربي الله ونبيي محمد صلى الله عليه وسلم فذلك قوله عز وجل: {يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة}".
Dari Al-Barraa’ bin ’Aazib, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam belaiu bersabda : ”Firman Allah : ’Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh’ (QS. Ibraahiim : 27); turun tentang adzab kubur. Maka dikatakan padanya (penghuni kubur) : ’Siapakah Rabb-mu ?’, ia pun menjawab : ’Rabb-ku adalah Allah dan Nabiku adalah Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam’. Itulah makna firman-Nya ’azza wa jalla : ’Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat’ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1369 dan Muslim no. 2871].
Ibnu Abdil-Barr rahimahullah berkata : “Tidak ada perselisihan antara ahlus-sunnah tentang iman akan adanya adzab kubur” [At-Tamhiid 9/230].
‘Aqidah Jahmiyyah dalam pengingkaran adzab kubur di era kontemporer dihidupkan kembali oleh kelompok Hizbut-Tahrir. Penolakan/pengingkaran terhadap ‘aqidah adzab kubur merupakan ciri yang sangat kentara dari kelompok ini. Bahkan, untuk mengokohkannya, mereka harus rela bersusah payah menulis buku tak bermanfaat yang berjudul : Absahkah ? Berdalil dengan Hadits Ahad dalam Masalah ‘Aqidah dan Siksa Kubur, karangan Syamsuddin Ramadlan, Hanifah Press, Jakarta. Buku ini sarat dengan kedustaan dan kebodohan.
       [10] Surga dan neraka adalah dua makhluk Allah yang telah diciptakan. Allah ta’ala berfirman :
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 89].
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
“Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” [QS. Al-Kahfiy : 29].
عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ....إني رأيت الجنة . قتناولت منها عنقودا. ولو أخذته لأكلتم منه ما بقيت الدنيا. ورأيت النار. فلم أر كاليوم منظرا قط. ورأيت أكثر أهلها النساء
Dari Ibnu ’Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”....Sesunguhnya aku telah melihat surga. Kemudian aku mencoba meraih darinya satu tandan. Seandainya aku mampu meraihnya, sungguh kalian akan memakannya selama dunia ini masih ada. Dan aku juga telah melihat neraka. Aku belum pernah melihat seperti hari itu satu pemandangan pun (yang lebih mengerikan darinya). Dan aku melihat kebanyakan penduduknya adalah para wanita” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1052, Muslim no. 907, Ibnu Khuzaimah no. 1377, Ibnu Hibbaan no. 2832 & 2853, dan yang lainnya].
Keduanya (surga dan neraka) adalah kekal, tidak akan pernah binasa.
Allah ta’ala berfirman :
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
”Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah : 25].
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
”Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah : 257].
Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
ونؤمن بالبعث، وجزاء الأعمال يوم القيامة، والعرض، والحساب، وقراءة الكتاب، والثواب، والعقاب، والصراط، والميزان، والجنة والنار مخلوقتان، لا تفنيان أبدا ولا تبيدان.
”Kita (Ahlus-Sunnah) beriman kepada kebangkitan, pembalasan amal perbuatan di hari kiamat, pemeriksaan, hisab, pembacaan tulisan, pahala, siksaan, ash-shiraath, miizaan, surga dan neraka yang keduanya telah diciptakan yang tidak akan musnah selama-lamanya dan tidak akan hancur” [Al-’Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 26; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1416].
    [11] Ini adalah konsekuensi pengingkaran mereka terhadap sifat kalam sebagaimana telah lalu pembahasannya. Padahal telah tetap dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa Allah akan mengajak bicara orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلا النَّارَ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih” [QS. Al-Baqarah : 174].
Apabila ada segolongan kaum yang tidak akan diajak bicara oleh Allah, maka mafhum-nya ada segolongan lain akan diajak bicara oleh Allah kelak di hari kiamat.
وَيَوْمَ نَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ نَقُولُ لِلَّذِينَ أَشْرَكُوا أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu Kami)?" [QS. Al-An’aam : 22].
ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُخْزِيهِمْ وَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ فِيهِمْ قَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ إِنَّ الْخِزْيَ الْيَوْمَ وَالسُّوءَ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman: "Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mukmin)?" Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu): "Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir" [QS. Al-Hijr : 27].
عن ‏ ‏عدي بن حاتم ‏ ‏قال : ‏قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم :‏ ‏ما منكم من أحد إلا سيكلمه ربه ليس بينه وبينه ترجمان ولا حجاب يحجبه ))
Dari ‘Adiy bin Haatim ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah ada seorangpun di antara kalian kecuali ia akan diajak bicara oleh Rabb-nya. Tidak ada antara keduanya penerjemah dan penghalang yang menghalanginya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 6889].
عن أبي برزة الأسلمي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تزول قدما عبد حتى يسأل عن عمره فيما أفناه، وعن علمه فيما فعل وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن جسمه فيما أبلاه
Dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanyakan tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2417, Abu Ya’laa no. 7434, dan Abu Nu’aim 1/232; shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 946].
      [12] Ar-Ru’yah (melihat) adalah salah satu sifat Allah yang shahih dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di hari kiamat nanti, Allah akan melihat sebagian hamba-hamba-Nya dan tidak akan melihat sebagian yang lain (karena kemaksiatan yang mereka lakukan).
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ لا خَلاقَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih” [QS. Aali ‘Imraan : 77].
عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu Dzar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 106, Abu Dawud no. 4087, At-Tirmidziy no. 1211, dan yang lainnya].
        [13] Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
أجمعوا على أن المؤمنين يرون الله عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan mata kepala mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237 – melalui perantaraan kitab Shifatullaahi ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah oleh ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 170; Ad-Durarus-Saniyyah, Cet. 3/1426].
Allah ta’ala berfirman :
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” [QS. Yunus : 26].
Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وقد روي تفسير الزيادة بالنظر إلى وجه الله الكريم، عن أبي بكر الصديق، وحذيفة بن اليمان، وعبد الله بن عباس [قال البغوي وأبو موسى وعبادة بن الصامت] وسعيد بن المسيب، وعبد الرحمن بن أبي ليلى، وعبد الرحمن بن سابط، ومجاهد، وعكرمة، وعامر بن سعد، وعطاء، والضحاك، والحسن، وقتادة، والسدي، ومحمد بن إسحاق، وغيرهم من السلف والخلف.
وقد وردت في ذلك أحاديثُ كثيرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فمن ذلك ما رواه الإمام أحمد:
حدثنا عفان، أخبرنا حماد بن سلمة، عن ثابت البُناني، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى، عن صهيب؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تلا هذه الآية: { لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ } وقال: "إذا دخل أهل الجنة الجنة، وأهل النار النار، نادى مناد: يا أهل الجنة، إن لكم عند الله موعدًا يريد أن يُنْجِزَكُمُوه. فيقولون: وما هو؟ ألم يُثقِّل موازيننا، ويبيض وجوهنا، ويدخلنا الجنة، ويزحزحنا من النار؟". قال: "فيكشف لهم الحجاب، فينظرون إليه، فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم من النظر إليه، ولا أقر لأعينهم".
“Telah diriwayatkan penafsiran kata az-ziyaadah (tambahan) dengan melihat wajah Allah Yang Mulia dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Al-‘Abbaas, [Al-Baghawiy berkata : Abu Musa, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit], Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, ‘Abdurrahman bin Saabith, Mujaahid, ‘Ikrimah, ‘Aamir bin Sa’d, ‘Atha’, Adl-Dlahhaak, Al-Hasan, Qataadah, As-Suddiy, Muhammad bin Ishaaq, dan yang lainnya dari kalangan salaf dan khalaf. Dan telah banyak hadits yang membicarakan hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan: Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, dari Shuhaib : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’, beliau bersabda : “Bila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah memasuki neraka, maka ada seorang penyeru yang memanggil : ‘Wahai penduduk surga, sesungguhnya kalian mempunyai apa yang telah dijanjikan di sisi Allah, Allah ingin memenuhinya untuk kalian. Maka mereka berkata : ‘Apakah itu ? bukankah Allah telah memberatkan timbangan (amal baik) kami, memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Maka dibukalah hijab untuk mereka, lalu mereka melihat kepada wajah-Nya. Maka demi Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang lebih dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada wajah-Nya” [Tafsir Ibnu Katsir, 4/262, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa yang masyru’ dibaca setelah tasyahud akhir sebelum salam :
اللهم بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق أحيني ما علمت الحياة خيراً لي وتوفني ما علمت الوفاة خيراً لي ، اللهم إني وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة ، وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب ، وأسألك القصد في الغنى والفقر ، وأسألك نعيماً لا ينفد ، وأسألك قرة عين لا تنقطع ، وأسألك الرضا بعد القضاء ، وأسألك برد العيش بعد الموت ، وأسألك لذة النظر إلى وجهك والشوق إلى لقائك من غير ضرَّاء مضرة ولا فتنة مضلة ، اللهم زينا بزينة الإيمان ، واجعلنا هداة مهتدين
“Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas yang ghaib dan dengan ke-Mahakuasaan-Mu atas seluruh makhluk, perpanjanglah hidupku, bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan selanjutnya lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku dengan segera, bila Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar takut kepada-Mu dalam keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku mohon kepada-Mu agar dapat berpegang dengan kalimat hak di waktu rela atau marah. Aku mohon kepada-Mu agar aku bisa melaksanakan kesederhanaan dalam keadaan kaya atau faqir, aku mohon kepada-Mu agar diberikan nikmat yang tidak habis, dan aku mohon kepada-Mu agar diberikan penyejuk mata yang tidak putus. Aku mohon kepada-Mu agar aku dapat rela setelah qadla-Mu (turun pada kehidupanku). Aku mohon kepada-Mu kehidupan yang menyenangkan setelah aku mati. Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah kami sebagai penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh bimbingan dari-Mu” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Haakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 120; shahih].
Tidak mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kalimat : “Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga)” jika hal itu tidak akan terwujud (mustahil terjadi) kelak di akhirat.
Selengkapnya, silakan baca artikel kami di :
         [14] Lihat kembali catatan kaki no. 1.
       [15] Ini adalah inti ‘aqidah Jahmiyyah yang mengingkari seluruh sifat Allah ta’ala. Pada hakekatnya, mereka seperti menyembah sesuatu yang tidak ada (karena tidak mempunyai sifat). Maha Suci Allah dari yang mereka katakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar