Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin
Makalah ini disadur dan disusun dengan rujukan utama Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, yang disyarah oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafizhahullah-. Ditambah beberapa referensi lain yang akan dijelaskan pada catatan kaki insya Allah. Silahkan menyimak.
_____________________________________________________
AL-QUR`AN KALAM ALLAH, BUKAN MAKHLUK
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab al-'Aqidah al-Wasithiyah:
Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak
semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpu huruf.[1]
Senada dengan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu perkataan Imam Thahawi rahimahullah. Beliau berkata: "Sesungguhnya al-Qur`an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya. Allah telah turunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Kaum Mukminin mempercayai al Qur`an benar-benar demikian keadaannya, dan mereka meyakini bahwa al-Qur`an kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sebenarnya; ia bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barangsiapa yang mendengar al-Qur`an, lalu ia beranggapan bahwa al-Qur`an adalah perkataan manusia, maka ia kafir; Allah mencelanya, mencacatnya dan mengancamnya dengan Neraka Saqar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"(Orang kafir itu berkata): "Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia". [al-Muddatstsir/74:25]. Kita memahami dan kita meyakini bahwa, al-Qur'an itu adalah perkataan Pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.[2]
Pensyarah kitab al-'Aqidah ath-Thahawiyah, yaitu Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah, terhadap apa yang dikatakan Imam Thahawi rahimahullah, ia mengatakan: "Ini merupakan kaidah dan pokok yang mulia dan agung di antara pokok-pokok agama. Banyak kelompok manusia yang tersesat dalam masalah ini. Apa yang dikatakan oleh Imam Thahawi rahimahullah ini merupakan kebenaran yang telah dibuktikan oleh dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah bagi siapa saja yang merenungkannya. Juga telah disaksikan oleh fitrah-fitrah sehat, fitrah yang belum mengalami perubahan akibat syubhat-syubhat, keragu-raguan dan pendapat-pendapat batil"[3]
Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal jama'ah.
PANDANGAN KELOMPOK AHLI BID'AH ENTANG AL-QUR`AN DAN KALAM ALLAH
Di bawah ini pemaparan Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- secara garis besar (diterjemah secara ringkas dan bebas, Pen.) tentang beberapa perkataan kelompok ahli bid'ah mengenai al-Qur`an dan kalam Allah. Beliau menyebutkan sebagai berikut.[4]
Pertama : Perkataan Jahmiyah.
Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkannya suatu perkataan sebagai perkataan Allah menurut mereka adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah-lah yang menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya
Perkataan Jahmiyah ini batil, bertentangan dengan dalil-dalil sam'i (al-Qur`an dan as-Sunnah) maupun dalil-dalil akal. Juga bertentangan dengan perkataan para salaf dan imam-imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya tidaklah masuk akal seseorang disebut sebagai orang yang berkata, kecuali jika perkataan itu benar-benar ada pada dirinya. Bagaimana mungkin Allah disebut telah berkata, padahal yang berkata adalah selain Allah? Bagaimana mungkin disebut perkataan Allah, padahal ia adalah perkataan selain-Nya?
Perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di atas, bahwa "dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya".
Maksud Syaikhul-Islam dengan perkataannya ini adalah, untuk membantah orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa al-Qur`an bermula dari selain Allah, dan bahwa Allah tidak berbicara dengan al-Qur`an itu secara hakiki, tetapi majaz. Al-Qur`an (menurut mereka) adalah perkataan selain Allah yang disandarkan sebagai perkataan Allah karena Dialah Penciptanya.
Kedua : Perkataan Kullabiyah, para pengikut 'Abdullah bin Sa'id bin Kullab.
Mereka beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan hikayat dari kalam Allah. Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma'na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah. Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah. Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk. Tetapi lafazh-lafazh yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk. Lafazh-lafazh ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.
Ketiga : Perkataan kaum Asy'ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari rahimahullah.
Mereka mengatakan bahwa al-Qur`an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma'na yang ada pada dzat Allah. Ma'na ini bukan makhluk. Adapun lafazh-lafazh yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah. Lafazh-lafazh ini adalah makhluk. Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.
Sebagian ulama mengatakan, perselisihan pendapat antara Asy'ariyah dengan Kullabiyah hanyalah perselisihan secara redaksional saja. Sebenarnya tidak ada perselisihan di dalamnya. Sebab, baik Asy'ariyah maupun Kullabiyah sama-sama mengatakan bahwa al-Qur`an terdiri dari dua macam. Yaitu, terdiri dari lafazh dan makna. Lafazhnya adalah makhluk, yakni lafazh-lafazh yang ada dan dibaca ini. Sedangkan maknanya bersifat qadim (sejak dahulu); ia ada pada Dzat Allah. Ia merupakan makna yang satu, tidak dapat terbagi-bagi dan tidak dapat berbilang. Ini bukan makhluk.
Inti perkataan Asy'ariyah dan perkataan Kullabiyah, andaikata tidak dapat dikatakan sama, maka paling tidak saling berdekatan.
Kedua pendapat itu sama-sama batil. Sebab al-Qur`an tidak dapat dikatakan hikayat dari kalam Allah seperti perkataan Kullabiyah, dan tidak dapat pula dikatakan ungkapan dari kalam Allah seperti perkataan Asy'ariyah. Bahkan al-Qur`an adalah kalam Allah itu sendiri, baik lafazh maupun maknanya, di manapun didapatkan, baik dihafal dalam dada-dada manusia maupun ditulis dalam mushaf-mushaf. Al-Qur`an tetap merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan makhluk.
Keempat : Perkataan Mu'tazilah.
Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafazh saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.
Pendapat Mu'tazilah ini merupakan kebalikan dari pendapat Asy'ariyah dan Kullabiyah yang mengatakan, bahwa kalam Allah adalah makna saja tanpa huruf.
Demikian secara ringkas pemaparan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
KESIMPULAN
Semua pernyataan kelompok di atas adalah batil. Yang benar ialah pernyataan Ahlu Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Thahawi di atas. Salah satu dalilnya, ialah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, yaitu firman Allah lSubhanahu wa Ta'ala:
"Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah". [at-Taubah/9:6].
Maksud mendengar pada ayat ini, yaitu mendengar melalui bacaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang kedudukannya sebagai penyampai. Sedangkan bacaan al-Qur`an dari Rasulullah yang didengar itu tetap disebut kalam Allah. Maka hal ini membuktikan bahwa perkataan hanyalah diakukan kepada yang sejak semula mengatakannya. Bukan diakukan kepada penyampainya.[5]
Imam Syafi`i rahimahullah juga mengatakan bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al-Qur`an makhluk, maka ia kafir [6]. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal yang sama dalam Ushulus-Sunnah[7].
Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah tentang al-Qur`an dan tentang kalam Allah. Wallahu Waliyyut-Taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05//Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, halaman 136.
[2]. Lihat Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja'ah: Jama'ah minal-'Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Penerbit al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan IX, Tahun 1408 H/1998 M, halaman 168.
[3]. Lihat Lihat Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja'ah: Jama'ah minal-'Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[4]. Lihat Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 136-139.
[5]. Lihat Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 138.
[6]. Lihat catatan kaki dari kitab Ushulus-Sunnah, Imam Ahmad dari riwayat 'Abdus bin Malik al-Aththar, Syarh dan Ta'liq: al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif an-Nashr. Taqdim dan Ta'liq: Syaikh Muhammad bin 'Id al-Abbasi. Penerbit Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, distribusi Maktabah al-'Ilmu, Jeddah, Cetakan I, 1416 H./1996 M, halaman 50.
[7]. Lihat kitab yang sama pada ashl yang ke 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar